Wednesday, August 17, 2005

independence day

Hari ini Indonesia genap 60 tahun. Enam puluh tahun. Fiuh. Belum cukup dewasa kalau dilihat dari apa yang sudah dicapai Indonesia.

Jujur saja. Hari ini bukan salah satu hari yang kutunggu-tungu. Well, I got holiday, as a matter of fact. But, so what? Aku dapat tugas memimpin lomba-lomba di gereja. Yang menurutku, agak sia-sia mengadakannya. Meaningless. Selain untuk rame-rame saja.

Ke gereja pagi tadi naik motor. Masih seperti biasa. Cuaca panas. Masih seperti biasa juga. Ini Surabaya, mengertilah. Yang tidak biasa adalah aku merasa kehilangan sesuatu. Something missing. Dan aku mengerti apa itu. Hari ini aku tak lagi merasakan semangat yang dulu-dulunya dimiliki oleh masyarakat ketika menyambut hari kemerdekaan. Mereka memang menancapkan dan mengibarkan bendera di depan rumah mereka masing-masing. Sekolah-sekolah mungkin saja mengadakan upacara bendera lengkap dengan mengheningkan cipta untuk para pahlawan yang sudah mati mendahului kita. Bahkan kampusku pun mengadakan upacara bendera. Kampung-kampung mungkin juga mengadakan lomba-lomba klasik yang populer sejak jaman dahulu kala macam lomba makan krupuk, lomba panjat pinang, dsb. Untuk anak-anak diadakan lomba membawa kelereng, lomba memindahkan bendera, lomba balap karung, dsb. Semua seperti tidak rela melepas apa yang sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, meskipun lomba-lomba itu selalu diulang dengan format sama setiap tahun, entah bagaimana selalu orang-orang merespon positif. Tapi, entahlah. Aku tetap merasakan sesuatu yang hilang itu. Aku pernah melihat seorang bapak-bapak memasang bendera di depan rumah mewah yang well, itu jelas bukan rumahnya dan tentu ia hanya menerima perintah dari majikannya saja untuk mengibarkan merah putih itu. Dan karena ia masih butuh uang dari majikannya, maka dilakukannya pengibaran itu tanpa tahu dengan jelas untuk apa. Aku juga sempat melihat latihan upacara yang diadakan oleh resimen mahasiswa di kampus tempat aku bekerja. Yah, memang tugas mereka kan? Petra masih merupakan institusi pendidikan yang bisa dituntut Negara kalau pada tanggal 17 Agustus tidak mengadakan upacara bendera. Dan jadilah para mahasiswa baru itu yang dijadikan korban sebagai peserta upacara, yang terus menggerutu karena panas, mengeluh karena malu akan status mereka sebagai mahasiswa tapi masih harus mengikuti upacara dan berdiri diam pasrah karena kalau tidak mengikuti, mereka tidak bisa lulus dan diwisuda. Apa hubungannya sih mengikuti upacara bendera dan wisuda?

Kembali ke persoalan perasaan berlebihanku tentang sesuatu yang hilang pada peringatan hari kemerdekaan tahun ini. Yap. Tak bisa kupungkiri bahwa persiapan-persiapan yang aku lihat sebelum hari ini tidak muncul realisasinya. Memang sih aku sibuk di gereja dengan lomba-lomba yang kedengarannya juga dipaksakan sehingga mungkin aku tak melihat kegiatan-kegiatan dramatis itu, tapi kalau kubilang ada sesuatu yang hilang, dengan terpaksa aku tak mampu menjelaskannya secara verbal. Aku sendiri bisa mengerti mengapa independence day kali ini tidak terlalu dibumbui banyak khidmad, kegembiraan dan rasa terharu karena sampailah kita pada umur enam puluh tahun tapi jalan kami masih tertatih-tatih seperti anak yang baru berumur kurang dari satu tahun. Masyarakat sendiri mungkin sedang dalam masa dilema panjang yang belum tahu dimana ujung pangkalnya. Sekarang coba pikir, seandainya kau jadi salah satu masyarakat Indonesia, yang merasakan bahwa semakin tua, Negara ini bukannya semakin maju, tapi malah berlari di tempat dan tanpa disadari melangkah mundur. Dan kalau sudah seperti itu, apanya yang perlu dirayakan? Apa yang perlu dirasa terharu? Mengapa kita harus khidmad pada waktu mengikuti upacara sementara hati kita giris jika mengingat keadaan Indonesia saat ini? Oh, tolong. Sebenarnya aku ingin jawaban, tapi aku ragu apa saat ini ada yang masih berpikir seperti aku? Berlebihan kan?

Sejujurnya aku tak tahu aku musti berbuat apa untuk negeri yang kucintai ini. Jangan tertawa, Stitch, karena aku tidak bohong. Aku sungguh mencintai negeri ini, hanya kadang-kadang aku berpikir, cintaku mungkin bertepuk sebelah tangan. Sungguh. Tiap malam aku berdoa untuk Indonesia. Tiap minggu pendeta yang berkhotbah juga seperti tak bosan-bosan mendoakan Ibu pertiwi yang sedang dirundung sendu ini. Dan jangan bilang doa itu tidak keluar dari hati kami terdalam. Karena bagaimana mungkin kau tahu ketulusan hati kami sementara kau tak percaya akan cinta kami, wahai Indonesia.

Meskipun aku tak mengerti mengapa aku harus melakukannya, aku tetap ingin melakukannya. Dan inilah yang harus kulakukan.
“Selamat hari kemerdekaan! Semoga Indonesia tetap jaya!”
Stitch pun menundukkan kepala, mengheningkan cipta dan berdoa.


-jc-
Wednesday, 17 August 2005
It is a quite tiring day, anyway.

1 komentar ajah:

Anonymous said...

Merdeka, Stitch!