Sunday, August 21, 2005

ketika nurani protes

Mondar-mandir dalam kamar. Duduk di tepi tempat tidur sejenak. Kembali mondar-mandir. Entah bagaimana mata ini tidak bisa diajak kompromi untuk mengistirahatkan tubuh yang sudah berteriak-teriak kecapekan. Stitch pun ikut mondar-mandir. Kenapa harus tidak bisa tidur? Hah. Tahulah ia mengapa ia tak bisa memerintahkan mata ini untuk merem. Nurani sedang mengusiknya. Mengganggunya. Dan sampai ketika ia akhirnya menyerah dan duduk di depan komputer untuk curhat seperti biasa, barulah nurani itu angkat bicara.

Baru saja aku datang ke sebuah konser. Konser temanku yang ikut menyanyi. Sejujurnya, aku tidak berencana datang. Karena yah… alasan klise. Tempat yang jauh dan aku bukan pengingat jalan yang baik. Tak ada teman yang mau kesana juga. Malas mengemudi motor malam-malam. Dan berbagai alasan norak lainnya. Tapi dapat diterima kan? Temanku ini merupakan salah satu teman dekatku di kantor. Tempat berbagi cerita juga. Dia berharap aku datang. Waktu itu kutantang dia, baiklah, aku datang, tapi kalau aku datang kau juga harus datang pada waktu aku pentas ya. Dia cuma membelalakkan matanya yang lebar. Aku usahakan, jawabnya. Yah, sahutku, kok cuma diusahakan? Dipastiin dong. Akhirnya janji dua sahabat itu terucapkan kemudian. Ketika tadi akhirnya aku memutuskan untuk berangkat juga ke konser itu, ada sesuatu yang nongol dalam pikiranku. Pertanyaan yang cukup mengganggu dan itu yang membuat aku tak bisa tidur hingga detik ini.

Pertanyaannya adalah: tuluskah aku datang ke konser ini? Sederhana kan? Sederhana. Hanya aku tak bisa menjawabnya. Kalau kau bertanya padaku mengapa kau datang ke konser ini? Mengapa kau membolos persekutuan pemuda di gerejamu dimana kau ditempatkan menjadi ketua demi menonton konser ini? Mengapa kau mau saja jauh-jauh naik motor untuk melihat konser? Mengapa kau mesti menghabiskan pulsa hanya untuk mencari seseorang untuk menemanimu sekaligus menunjukkan jalan ke tempat itu? Itu konser biasa. Dengan penyanyi-penyanyi biasa. Yah well… meskipun ada Michael Indonesian Idol itu. Mengapa??? Oh. Ingin aku menutup kupingku. Karena pertanyaan-pertanyaan itu terus mendengung di kepalaku. Berputar-putar dan tak mengizinkan aku menggeletakkan tubuhku. Aku mengaku. Aku mengaku!! BAIKLAH!! Aku MENGAKU!!!! Aku ingin temanku itu datang ke pementasan dimana aku bermain minggu depan. Agar kami punya skor yang sama. 1-1. Aku nonton dia nyanyi dan dia nonton aku main.

Ini tentang ketulusan. Harus aku beritahukan padamu bahwa motivasiku datang ke konser itu begitu tidak tulus. Ada pamrih di balik itu semua. Pamrih yang tertawa terkikik-kikik karena ia berhasil mempengaruhiku begitu rupa, yang kemudian berdiri di belakangku bukan sebagai bayangan mati yang selalu mengikuti tapi sebagai bayangan hidup yang berisik. Malam ini potret diri seorang Jessie dipertanyakan. Ia harus belajar sesuatu. Ia tak bisa membiarkan dirinya dipermainkan begitu saja. Karena itu akhirnya ia memutuskan untuk menantang nuraninya. Ok, katanya. Akan kukatakan pada temanku itu bahwa aku tak lagi memaksanya untuk datang ke pementasan minggu depan. Semua terserah padanya. Ia datang atau tak datang, aku tetap akan bermain semaksimal mungkin. Aku bermain toh bukan untuk dia seorang. Terlebih lagi, yang akan menjadi penonton istimewaku malam itu tak lain tak bukan my DAD. Dad in Heaven. Ia sudah berjanji padaku untuk datang, dan aku tahu Ia tak akan mengingkari janjiNya.

Nurani itu bersendawa. Tanda bahwa ia puas dengan tantanganku. Kemudian ia duduk santai. Menanti. Kutanya padanya, apa yang kau nanti. Kemudian jawabnya, tantanganmu. Aku menunggu kau menyampaikan itu pada temanmu. Jadi kau tak percaya padaku, sahutku dingin. Aku percaya padamu, nurani itu lagi-lagi bersendawa. Aku hanya ingin tahu bagaimana kau melakukannya. Baiklah, kataku kemudian. Tunggu saja saatnya.



-jc-
Saturday, 20 August 2005

Apa yang diketahui jiwa sering tidak diketahui oleh pribadi yang memiliki jiwa. Karena jiwa, jauh melampaui apa yang kita pikirkan.

0 komentar ajah: