Thursday, September 08, 2005

muka penuh lumpur

Pengen tahu rasanya dipermalukan di depan umum? Ditolak terang-terangan bahkan sampai kau harus memohon? Rasanya seperti dilempar lumpur. Percayalah padaku, lebih baik kau masuk ke lumpur itu atas kemauanmu sendiri daripada orang lain yang melakukannya untukmu.

Kenapa sih jessie selalu dikelilingi masalah? Supaya kehidupannya tidak monoton. Dan dalam minggu ini, hidup sudah menjungkirbalikannya berkali-kali. Membuatnya menangis dan marah berkali-kali. Aku jadi bertanya-tanya dan menyesali diri. Seumur-umur, jessie jarang menyesal, tapi untuk kejadian macam ini, aku harus akui kalau aku menyesal. Mengapa jumlah orang yang mendengar suara hati, lebih sedikit lagi yang mengikutinya? Yeah, that's me! Tadi sore, aku mendengar suara hati yang mana menyuruhku untuk tetap tinggal di kost dan tidak ikut farewell party-nya temanku. Teman lawan bertengkarku minggu lalu. Teman yang sentimentil dan jarang kumengerti jalan pikirannya. Sungguh. Aku mendengarnya berseru-seru untuk tetap tinggal di kost. Aku bahkan sudah ijin pada inge dan nita. Dan aku juga tidak mengerti mengapa akhirnya aku memutuskan untuk berangkat. Kupikir karena ia yang menjemput dan aku mau buktikan kalau aku sudah tidak punya masalah apa-apa lagi dengannya.

Well, I guess I was wrong!!! Really! Dan aku menyesal kenapa tubuhku ini mau saja dibawa kesana. Tadi ia minta didoakan dan diberkati. Kemudian kamu bersamal-salaman. Tiba giliranku, uluran tanganku memang disambutnya, tapi aku ditatapnya pun tidak. Aku menahan tanganku sambil menunggu dia memandangku dan mengatakan sesuatu. Tapi bahkan sampai dia berusaha melepaskan tangannya yang kutahan itu pun, matanya tidak kunjung menatapku, sampai aku harus berteriak, "Kamu gak mandang aku!" Dan saat itulah mukaku penuh dengan lumpur. Ia yang melempar. Jangan pernah bermimpi untuk menggantikan posisiku saat itu. Detik itu, aku tahu bahwa sekat diantar kami belum terbabat dengan baik.

Berada dalam mobilnya sepanjang perjalanan pulang membuatku seperti berkubang dalam lumpur. Jijik, bahkan terhadap diriku sendiri yang mau-maunya saja dilempar lumpur di depan teman-temanku. Tapi Tuhan maha adil, tidak dibiarkannya aku sendiri (karena kalau aku sendiri, aku tidak tahu bagaimana jadinya diriku). Dalam kubangan lumpur itu, air mata yang sudah kutahan akhirnya menetes. Meninggalkan hangat di pelupuk mata. Aku tak tahan. Aku muak. Aku ingin dia pergi, jujur saja. Dia sudah mulai mengganggu kehidupanku. Dengan kata-katanya yang setinggi-tingginya langit tapi hampir tak satupun yang aku lihat pernah dilakukannya. Aku jarang mengerti jalan pikirannya dan kalau dulu aku ingin menyelami pikirannya itu, kali ini tidak, terima kasih! Aku bahkan masih bisa hidup, masih bisa bertumbuh, tanpa dia. Aku marah. Dan akhirnya aku menangis. Ingin sekali aku lari ke Melbourne dan menangis di dada San, supaya lega hati ini. Sempat terbersit dalam pikiran untuk meminjam bahu yosua, karena aku butuh seseorang dimana aku bisa bersandar. Aku tahu, dia ada disitu untukku.

Bahkan ketika aku telah menjejakkan kakiku di kamarku, di zona nyamanku, aku masih merasakan sisa-sisa lumpur melekat pada tubuhku. Aku menggapai-gapai, berharap dapat menemukan seseorang yang bisa menolong aku membersihkan lumpur ini. Tapi aku sendirian. Dan..., jessie akhirnya hanya berdua dengan Tuhan.


Thursday, 8 September 2005
12.08 am
after the terrible night

0 komentar ajah: