Saturday, October 01, 2005

pekalonganku tercinta

Ada satu hal yang selalu kurasakan tiap kali pulang ke Pekalongan. Perubahan. Yah…, aku tahu hidup selalu berubah. Things change a lot. Tapi kupikir aku tetap merasakan diriku masih menjadi bagian di kota ini. Banyak hal yang berubah disini. Yang memaksa diriku untuk beradaptasi dengan cepat, karena diberinya aku waktu hanya empat hari untuk beradaptasi.

Kepulanganku kali ini benar-benar membuatku seperti orang asing di negeri sendiri. Aneh kedengarannya, tapi itulah yang kurasakan. Ada beberapa jalan yang ketika aku masih tinggal di Pekalongan boleh dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat, tapi sekarang hanya roda dua yang boleh lewat, dan roda empat tersingkirkan. Di beberapa traffic light, ketika aku berkendara motor aku sempat bingung apa aku boleh tetap menjalankan motorku untuk belok kiri. Tak ada tanda sama sekali. Akhirnya aku hanya menunggu kalau ada kendaraan motor lainnya langsung belok kiri meskipun lampu merah menyala, barulah aku mengikutinya. Tragis. Seperti tersesat di hutan saja layaknya. Pasar kumuh yang ada di dekat rumahku sekarang berubah menjadi bangunan tiga lantai bernamakan mall Pekalongan. SD tempat aku belajar dulu, sudah di-upgrading jadi bangunan yang lebih tinggi, lebih mewah, dan lebih dingin karena ber-AC. Entah berapa banyak uang gedung yang harus disumbangkan orang tua murid untuk bangunan baru seperti itu. Tak kalah dengan sekolah dasar-ku itu, rumah sakit yang terletak di sebelahnya pun ikutan di-upgrading. Diperluas dan dipertinggi. Seolah mengharap semakin banyak orang-orang sakit di kota ini, berdatangan dan memeriksa diri disitu. SMA temanku juga memperbarui gedungnya. Pagarnya dipertinggi seolah-olah dipasang sebagai perisai, takut-takut terjadi kerusuhan seperti dulu. Pekalongan anti cina. Itu dulu. Dan sampai sekarang aku masih berdoa semoga sekarang semuanya hidup rukun dan damai. Apapun ras-nya. Kalau dulu, masa-masa aku anak-anak dan remaja hanya ada dua mall kecil di kotaku ini. Sekarang ada empat. Rumah-rumah makan yang menyediakan makanan ala barat dan asia macam fried chicken, steak dan mie hotplate mulai menggeser warung-warung tradisional yang ada. Bahkan ketika aku datang berkunjung ke gerejaku pun, ada banyak wajah-wajah yang tak kukenal berseliweran. Aku, yang dulu seorang aktifis di gereja itu, bahkan tak banyak tahu perkembangan apa yang sudah terjadi di gerejaku. Selain bangunannya yang sudah direnovasi, maksudku. Gereja tempatku melayani dulu gereja berstruktur bangunan kuno khas belanda dengan lima tiang besar sebagai penyangganya. Banyak tembok-tembok yang sudah bocel. Bangkunya pun bangku lawas ditempatkan ruangan kuno dengan langit-langit yang tinggi yang membuat kami, para anggota paduan suara harus bernyanyi keras-keras karena kejelekan akustiknya. Dan sekarang gerejaku itu menjadi salah satu bangunan termewah di Pekalongan. Tiang-tiang besar itu tetap menyangga, tapi tembok-temboknya tak lagi bocel dan para anggota paduan suara telah kehilangan power untuk bersuara keras yang wajib dimiliki saat gereja belum direnovasi karena gedung yang baru didisain dengan akustik yang bagus. Sudah ada fasilitas AC di ruang kebaktian utama dan satu set LCD beserta komputernya. Kalau dulu, anak-anak remaja kadang-kadang berebut ruangan dengan orang-orang dewasa, sekarang tidak lagi, karena ada banyak ruangan disediakan disana. Tiga lantai. Kurang apa coba? Papi bangga sekali karenanya. Katanya pernah suatu kali sepasang pengantin sengaja mampir kesitu untuk berfoto.

Kadang-kadang aku berharap akan tetap menemukan kota dan atmosfir yang sama tiap kali aku pulang. Karena itulah, ada beberapa hal yang wajib kulakukan kalau aku pulang ke kampung halamanku itu. Yang pertama adalah makan soto tauco khas Pekalongan, yang mana takkan kutemukan makanan segurih itu di Surabaya dan di kota besar lainnya. Orang-orang Surabaya selalu merasa aneh kalau aku bilang aku kangen soto tauco-nya Pekalongan. Soto kok pakai tauco, begitu kata mereka sambil mengerutkan kening dan mencibir. Tapi aku selalu menyempatkan diri untuk makan di warung soto dekat terminal dan menikmati suap demi suap semangkuk kuah panas berwarna coklat kemerahan itu. Yang kedua adalah makan bakso dekat sekolahku dulu. Kalau yang ini, malah orang-orang Pekalongan yang bertanya-tanya padaku apa Surabaya tidak ada yang jualan bakso. Kubilang, banyak yang berjualan bakso di Surabaya tapi tak ada yang rasanya seperti ini. Yang ketiga adalah makan sambal cucut-nya pembantu rumah! Meski pembantu rumah sering datang dan pergi (berganti-ganti, maksudku), tetap saja buatan mereka memberikan rasa sedap bagi lidahku yang memang pecinta berat sambal. Yang keempat adalah makan nasi megono* yang dijual dekat rumahku di gang pesing. Dibilang gang pesing karena kadang-kadang ada orang-orang tak tahu aturan doyan kencing disitu. Dan jadilah bau yang mereka tinggalkan semerbak di ujung gang tersebut. Aku suka makan nasi megono yang jual disitu bukan karena aku sentimen atau sedang melakukan diskriminasi atau semerbaknya bau ujung gang tersebut. Tapi sungguh mati, tak ada nasi megono seenak yang dijual dekat rumahku itu. Dan kenapa semuanya makanan? Aku tak tahu. Kadangkala teman-temanku titip kain batik atau daster Pekalongan. Selain harganya jauh lebih murah daripada yang dijual di kota besar, mereka juga percaya bahwa batik yang asli diambil dari sumbernya jauh lebih baik daripada yang mereka temui di Surabaya. Tapi entah kenapa, delapan belas tahun aku hidup di Pekalongan, tak pernah bisa aku membedakan kain batik yang bagus dan yang biasa saja. Jadi tiap kali aku dititipi oleh teman-temanku batik Pekalongan, aku selalu mengajak mami dan emak untuk menemaniku. Jadilah aku tetap bodoh, tak bisa tahu kain batik mana yang berkualitas bagus.

Itulah. Buatku, sesuatu yang khas, yang lama, yang meskipun dicap kuno dan tradisional, adalah sesuatu yang harus dilestarikan. Bukannya digeser secara perlahan dan akhirnya diusir jauh-jauh karena dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman. Aku tak pernah setuju dengan pendapat ‘sudah waktunya ekologi berubah menjadi teknologi’. Sori saja. Teknologi bisa membantu, tapi tanpa ekologi, aku tak pernah bisa bayangkan apa jadinya bumi kita yang sebagian besar sudah ditutupi bangunan-bangunan tinggi ini. Dan kukatakan sekali lagi padamu, jangan pernah bergantung dengan teknologi, karena sekali kau bergantung dan kecanduan, akibatnya bisa fatal untuk dirimu sendiri. Yah… berilah contoh saat ini. Sekarang kau dan aku sama-sama bergantung dengan mesin, dengan motor, dengan kendaraan bermotor roda dua, roda empat atau lebih. Dan kendaraan-kendaraan yang kau dan aku pakai itu memerlukan bensin, solar dan bahan bakar minyak lainnya. Marilah sekarang kita berdoa keras-keras karena ketar-ketir menanti hari esok dimana harga BBM akan naik. Ini baru BBM. Belum listrik, air dan lain-lainnya. Aku sendiri sangat bergantung pada komputer dan microsoft word, apalagi di saat-saat ide mengalir dengan derasnya untuk menulis. Menulis dengan tangan bisa putus jariku. Jadilah aku hanya bisa marah-marah kalau komputerku sudah kemasukan virus atau nge-hang­.

Sekarang aku hanya bisa menanti. Menanti perubahan apa lagi yang akan terjadi kelak kalau aku kembali ke Pekalongan lagi waktu berikutnya. Hanya sedikit berharap, tak banyak perubahan yang kutemui. Agar aku tak lagi merasa sebagai orang asing, agar aku tak lagi merasa tersesat di hutan amazon.


Friday, 30 September 2005
10:40 pm

… setelah berkeliling-keliling, menghirup udara perubahan dan memperpanjang perjalanan dua kali lipat jauhnya gara-gara tak yakin dengan peraturan rambu-rambu yang tak jelas

0 komentar ajah: