Wednesday, September 28, 2005

perempuan dan sinetron

Satu jam membiarkan mata ini melotot pada layar televisi yang menayangkan (lagi-lagi!) sinetron yang kuanggap sampah itu, sehingga beberapa kali harus mengedip-ngedipkan mata karena panas. Alasan yang kumiliki untuk terus berada duduk manis di depan televisi itu ada dua. Dan dua-duanya tidak ada hubungannya dengan alur cerita sinetron tersebut. Menemani dan menanti. Menemani seseorang yang sudah cukup berumur tapi tinggal sendirian di rumahnya. Menanti koko yang berjanji akan memberi kabar kalau ia sudah sampai rumah supaya aku bisa segera meluncur ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan rumah dimana aku memelototi layar televisi sekarang ini.

Dan lagi-lagi, lewat sinetron yang baru saja kutonton ini, aku jadi mengerti mengapa para perempuan di negara ini masih dianggap sebagai masyarakat nomor dua.

Ada tiga karakter perempuan yang sering dimunculkan di sinetron-sinetron Indonesia. Tiga karakter ini begitu kuatnya, sehingga rumah-rumah produksi seperti menjadikannya syarat yang harus ada pada tiap cerita yang tentu tak bisa dilawan para penulis naskah dan sutradara. Siapa yang menggaji kalian wahai para penulis naskah dan sutradara sinetron?

Tiga karakter. Hmm. Here they are:
Perempuan A : lemah, baik banget, suka mengalah, taat pada aturan yang berlaku, sering dituduh, biasanya pemeran utama, tapi yahh… karena lemah, baik banget dan suka mengalah itulah, dia akan terus menderita dan menangis sepanjang perjalanan sinetron (biasanya setelah tiga episode pertama sampai episode terakhir). Kesimpulan dari Perempuan A: berkarakter lemah tapi dibela dan dicintai oleh pemirsa di rumah.
Perempuan B : ambisius, kejam, judes, suka marah-marah (dengan atau tanpa alasan), bisa melakukan apa saja asal tujuannya tercapai, ingin menang sendiri, jahat banget, biasanya pemeran antagonis yang pada episode-episode terakhir kalau nggak mati ya masuk penjara. Kesimpulan dari Perempuan B: berkarakter kuat tapi dibenci setengah mati oleh pemirsa di rumah.
Perempuan C : netral, baik (tapi tidak terlalu diperlihatkan), bisa membalas si jahat, maksudnya kalau dia dimaki-maki kemungkinan besar dia akan membalas memaki-maki, biasanya di pihak perempuan A alias pemeran pembantu. Kesimpulan dari Perempuan C: berkarakter cukup kuat tapi tidak terlalu diperhatikan oleh pemirsa di rumah.

Kalau sudah begini, aku hanya bisa menggigit bibir. Aku ini perempuan. Dan aku tidak terima kalau media yang disebut televisi, yang jelas-jelas bisa menancapkan konsep-konsep tertentu yang mengubah masyarakat tidak menjadi lebih baik. Menonton tayangan sampah macam sinetron itu membuatku berpikir pantas saja tidak terlalu banyak perempuan-perempuan berkarakter kuat yang lahir di bangsa ini, karena perempuan-perempuan berkarakter kuat itu selalu digambarkan sebagai makhluk yang jahat, yang haus akan kekuasaan, yang selalu menyelewengkan aturan-aturan yang berlaku dan yang dibenci oleh semua orang. Seolah-olah, kita ditancapi konsep bahwa perempuan yang baik, perempuan yang dicintai oleh semua orang adalah ia yang membiarkan dirinya diinjak-injak, yang cuma bisa berharap dan berdoa semua kejahatan akan minggat daripadanya tanpa ia perlu melakukan sesuatu. Dan karena itulah Perempuan C lahir.

Oh, tidak, para kapitalis yang budiman. Perempuan lebih kompleks daripada itu. Ia bisa saja kuat sekaligus baik. Ia bisa saja ambisius tapi tahu aturan yang ada. Ia bisa saja suka marah-marah tetapi bisa sekaligus lembut hatinya. Bahwa yang kuat tak selalu berarti jahat. Bahwa ketika perempuan unjuk gigi dan mulai menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya, mereka tidak selalu antagonis. Bahwa kadang-kadang perempuan tidak harus selalu nrimo, mengalah dan tidak berbuat apa-apa sampai ada orang lain yang membela dirinya.

Wahai, para perempuan, marilah berjuang bersama-sama denganku, bahwa kita bukan lagi makhluk lemah nan cengeng yang harus dielus-elus dan yang bahkan tidak bisa melakukan pembelaan atas dirinya sendiri.


Tuesday, 27 September 2005
10.19 pm

0 komentar ajah: