Saturday, September 03, 2005

stitch dalam blacklist

Dee pernah bilang: “… bahwa akan tiba saatnya orang akan berhenti menilaimu dari wujud fisik, melainkan dari apa yang kamu lakukan.” Dan sekarang ini aku pengen bilang sama dia, “Dee, kapan saat itu tiba untukku?”

Pertanyaan yang lucu. Pertanyaan yang berbau keputusasaan. Tertawalah. Sekencang-kencangnya. Mumpung aku belum ngomong sebabnya aku mengatakan hal itu. Yah, kupikir-pikir, kadang-kadang hidup ini tidak adil. Dibiarkannya aku bekerja begitu keras, tapi tetap saja aku harus kalah. Stitch kemaren maen di atas pentas. Pertama kalinya ia dipercaya untuk menjadi pemeran utama. Dan ia begitu sukacita. Tapi ia juga agak tertekan. Mengapa? Karena naskah yang dipakai dulu pernah dimainkan oleh orang-orang yang ia anggap very expert dalam berakting diatas panggung. Generasi teater imaji terdahulu. Dan karena naskah yang ia pegang dulu pernah dimainkan, ia siap dibandingkan – lebih jelek atau lebih bagus. Maksudku dalam hal akting. Biar bagaimanapun, kalau kau suruh aku membandingkan diriku dengan orang yang dulu memainkan peranku sekarang secara fisik, aku kalah jauh. Tapi kupikir, aku masih punya yang namanya akting.

Tiga bulan aku berlatih. Bahkan ketika tubuh sudah berteriak-teriak letih, aku tetap berangkat dan berlatih. Kenapa? Karena ketika aku mencoba berperan sebagai orang lain, ada sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sesuatu yang hidup. Sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang ternyata Tuhan berikan padaku dan baru kusadari ketika aku hidup di Surabaya dan ngendon di GKI Jemursari. Tak pernah lagi kupikirkan soal pembanding. Aku hanya ingin main. Jangan lihat fisikku, karena meskipun aku memerankan seorang wanita cantik, aku sadar aku tidak secantik itu. Tapi, kukatakan sekali lagi padamu, aku punya akting dan itu yang mau aku persembahkan.

Tuhan menerimaku. Kak Lisa sebagai sutradara menerimaku. Teman-temanku satu teater menerimaku. Kebanyakan para penonton menerimaku. Menerima bahwa bermain drama bukan sekedar sesuatu yang hanya boleh dinikmati orang-orang berwajah ayu nan rupawan, tapi juga orang-orang yang mau sungguh-sungguh berlatih. Mungkin, hanya dua yang tidak menerimanya. Dan dua-duanya adalah orang-orang yang sudah kuanggap sebagai partnerku. Yang satu mengatakan naskah drama ini enteng, mudah sehingga para pemain dapat memerankan peran masing-masing dengan gampang, dan yah… that’s it, so what gitu loh…. Yang satunya lagi, tanpa berkomentar apa-apa tentang aktingku, dengan entengnya ia mengumbar, ‘yang jelas lebih ayu yang dulu.’ Dan oh, Stitch, berkali-kali aku menghibur diriku sendiri bahwa ia mungkin cuma bercanda, tapi itu sungguh menyakitkan. Sungguh. Bahwa aku baru menyadari di jaman sekarang ini, penampilan luar masih lebih penting daripada apa yang dilakukan. Dan sampailah aku pada satu pemahaman, bahwa mungkin panggung pementasan memang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang cantik dan rupawan. Dan aku… masuk dalam blacklist. Thanks.

Saturday, 3 September 2005
12.12 am
“… walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku sampai kedalaman hatiku.”

0 komentar ajah: