Thursday, September 29, 2005

tanah

Pekalongan. Empat setengah jam perjalanan dengan kereta api menuju kampung halamanku itu. Duduk disamping jendela, memandang keluar. Salah satu bagian yang paling kusukai pulang naik kereta api adalah aku bisa melihat sawah-sawah, hehijauan yang jarang bisa kulihat di kota besar macam Surabaya. Selama perjalanan itu pula aku berpikir dan menemukan sesuatu. Tanah itu luar biasa. Tanah mengandung banyak kehidupan, melahirkan banyak kehidupan dan memelihara banyak kehidupan. Di dalam tanah ada begitu banyak makhluk hidup tak bernama yang berkeriapan. Diatas tanah ada tetumbuhan, rimbunan semak, segala sesuatu yang berwarna hijau yang merupakan benih makanan untuk hewan dan manusia. Karena itulah kubilang, tanah juga memelihara banyak kehidupan. Dan, jangan pernah lupakan ini, manusia dibuat dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Entah mengapa, hari ini hidup membiarkan aku memikirkan tentang tanah. Dan kalau aku berpikir tentang tanah, mau tak mau aku juga berpikir soal petani. Sosok yang sangat berjasa (menurutku), sosok yang mampu mengolah tanah sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernama padi, yang mana padi itu akan menjadi beras, kemudian dimasak oleh orang-orang kota seperti kita-kita ini menjadi nasi yang bisa dimakan. Ketika kita makan nasi, memprihatinkan sekali, kita jarang memikirkan darimana asal mula nasi yang kita makan itu. Kita melupakan sosok-sosok pejuang bernama petani itu, peluh mereka, kerja keras mereka, kelelahan mereka. Kita, yang sudah tersedot ke dalam mesin kapitalis, dengan tertegun harus mengakui berhektar-hektar tanah yang sekiranya menjadi tempat benih padi, sayur-sayuran dan buah-buahan yang kita makan sehari-hari itu dimakan rakus oleh mesin itu. Dibangunnya real estate, perumahan, mall, yang kadang-kadang membuat aku merasa bersalah kalau aku enak-enakan berjalan-jalan di mall yang tanahnya mungkin sekali dulunya dipakai untuk menumbuhkan padi.

Baru saja aku menonton televisi. Mata yang tidak bisa diajak merem untuk tidur, membuat otakku memerintahkan tanganku untuk meraih remote control dan menyalakan televisi. Disitulah aku, menonton sebuah realita yang membuatku giris. Sengketa tanah di Lombok. Tanah-tanah yang sekiranya diolah para petani di Lombok menjadi sawah, akan dibeli sebesar dua puluh juta rupiah per hektar untuk dijadikan bandara internasional. Kalau sudah begini, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Nasi itu kebutuhan pokok masyarakat Iindonesia. Darimana kita akan dapatkan nasi kalau sisa-sisa tanah yang sudah segelintir itu masih juga diraup para pengusaha kapitalis?

Bertahun-tahun lagi, mungkin, kalau aku harus pulang ke Pekalongan lagi dengan kereta api, aku takkan lagi melihat sawah-sawah, ladang-ladang, pepohonan yang rimbun dengan beberapa rumah kecil milik penduduk di sekitarnya. Mungkin, sejauh mata memandang, kulihat bangunan-bangunan tinggi, lapangan-lapangan udara, dan para penduduk yang selalu kulihat tertawa ceria dari dalam kereta api hilang entah kemana. Hanya mungkin, tawa mereka saja yang tertinggal, menjadi tawa giris, memantul di tembok bangunan-bangunan itu.

Mungkin. Dan dari hatiku yang paling dalam, aku berharap itu hanya mungkin. Yang takkan terjadi. Aku sungguh berharap itu.


Wednesday, 28 September 2005
11.17 pm

0 komentar ajah: