Wednesday, October 05, 2005

aku, orang tuaku, dan charlie

Dua hari yang lalu aku nonton Charlie and the Chocolate Factory. Alasan aku menonton… yah… karena aku ingin nonton. Dan sepupuku, Aris dan istrinya bilang ini film bagus. Jadilah kemarin aku berdua dengan temanku menonton film itu. Film itu… bagus! Aku tidak menemukan kata lain selain itu. Maksudku, so much lessons can be taken from that film. Dan ini merupakan must-see movie buat orang tua dan anak-anak. Film ini bisa jadi a different way to learn parenting. Cara yang unik untuk belajar bagaimana menjadi orang tua. Karena orang tua yang baik akan melahirkan anak-anak yang baik pula.

Ijinkanlah aku mengatakan sesuatu. Ada satu hal yang mengganjalku setelah melihat film itu. Temanku tidak menyadarinya. Tapi sesuatu yang mengganjal itu terus berputar dan berputar di benakku. Agak menggangguku. Dan sekarang aku tahu apa itu. Sepenggal cerita dari masa laluku. Tapi, yakinlah cerita ini hanyalah bagian dari masa laluku, dan menjadi salah satu sendi yang membentukku sampai menjadi seperti sekarang ini.

Aku lahir di tengah keluarga yang bahagia. Ayah ibuku mencintaiku. Karena aku anak pertama, terlihat sekali bahwa aku mendatangkan sukacita tersendiri buat mereka. Masa kecilku kulalui dengan indah. Semua orang bilang aku ini lucu, menggemaskan dan sedikit nakal. Adikku lahir empat tahun kemudian. Laki-laki. Lebih pendiam daripada aku, dan semua bilang aku lebih jahil, usil, nakal daripada adikku itu. Masuk sekolah dasar membuatku sadar bahwa dunia ini lebih daripada sekedar aku, adikku, orang tuaku dan sepupu-sepupuku. Ada manusia-manusia mungil lainnya yang disebut teman-teman. Ketika itulah aku baru menyadarinya, ayah ibuku memberikan cinta mereka tapi dari mulut mereka, tak pernah keluar kata pujian yang sering aku dengar dari ayah ibu teman-temanku. Kadang-kadang aku mendengar seorang ibu berkata pada anaknya, “Kamu sudah cantik.” Tak pernah sekalipun ibuku bilang aku cantik. Pernah kutanya pada ibuku itu, apakah aku cantik. Ia tidak menjawab. Hanya menyahut, “Yah… yang jelas tidak jelek.” Sampai setengah mati aku berpikir, apa itu sinonim dari kata tidak cantik? Seburuk itukah aku? Pernah juga sekali dua, aku memuji diri sendiri. Ingin melihat bagaimana reaksi ibuku. Seperti yang kuduga, ia menegurku keras. Katanya, tak baik memuji diri sendiri. Rupanya prinsip kekristenan yang ia anut dari alkitab bahwa orang yang direndahkan akan ditinggikan sangat dipegang teguh. Bahwa ia berpendapat kita tak boleh sombong. Dan jadilah, semasa aku remaja, aku tak pernah menganggap diriku istimewa. Aku hanyalah cewek biasa. Yang tidak menarik, baik secara fisik maupun karakter. Tak pernah aku belajar bagaimana menjadi cantik luar dan dalam dari orang tuaku. Ayahku sangat bangga denganku, anak perempuan satu-satunya, yang kulitnya putih ketika lahir hingga sekarang padahal kulit ayahnya coklat gosong meskipun cina. Tapi, ayahku juga tak pernah memujiku. Tanyalah pada guru-guru SMP-ku, tak banyak yang mengenal aku. Saat itu aku merasa seperti kerikil di jalan, yang tak bisa dibedakan satu dengan yang lainnya, yang tak ada istimewanya dan tak dihiraukan. Mereka mengenalku karena kebetulan aku keponakan guru matematika di sekolahku itu. Jarang ada yang mengenalku dengan namaku. Mereka mengenalku dengan keponakannya ibu A, guru matematika itu. Menginjak bangku SMA, tidak lantas membuat aku lebih percaya diri. Aku tetap menganggap diriku ini cewek biasa. Yang mana tidak akan bisa membuat kaum Adam naksir pada pandangan pertama dan kemudian melakukan pedekate. Maklumlah, masa-masa SMA adalah masa-masa para gadis bersaing memperebutkan hati lawan jenis mereka. Aku mulai percaya diri ketika kelas dua ada dua orang cowok yang mengatakan suka padaku. Satunya kutolak mentah-mentah, satunya lagi sempat kuterima tapi kemudian kutolak juga. Saat itu aku sadar, aku ternyata punya daya tarik. Setitik kepercayaan diri mulai tumbuh. Suatu sore aku menonton televisi dan mengomentari seorang artis. Kubilang, bagaimana mungkin dia jadi artis, wajahnya jeleknya minta ampun. Eh, ibuku membentak dan berkata, memangnya kamu cantik sampai kamu harus menjelek-jelekkan dia, jangan sombong. Aku terdiam. Seperti kembali disadarkan bahwa aku ini hanyalah gadis biasa yang tidak menarik. Pedih sekali hati ini. Aku membawa pemahaman bahwa aku gadis biasa yang tidak menarik sampai aku keluar dari rumah dan kampung halamanku untuk kuliah di Surabaya. Bertahun-tahun, aku berusaha menyingkirkan konsep yang sudah telanjur ngendon tertanam dalam diriku bahwa aku ini ordinary dan tidak spesial. Bahkan ketika akhirnya aku punya pacar pun, aku harus menerima dengan pasrah untuk dibandingkan dengan mantan kekasihnya yang pertama, yang lebih cantik, lebih tinggi, lebih putih, lebih cewek. Semakin sakit hati ini. Tapi di Surabaya ini aku mulai belajar sesuatu. Bahwa ternyata aku bukan gadis biasa. Aku gadis yang diberi oleh Yang Di Atas banyak talenta untuk dikembangkan. Disinilah aku tahu, bahwa aku bisa menulis sesuatu yang layak untuk dibaca, aku bisa mendisain acara-acara yang unik, aku bisa memimpin suatu organisasi, aku bisa berakting menjadi orang lain. Dan bertemulah aku dengan seseorang yang kupikir dikirim oleh Tuhan untuk memberiku rahasia kecantikan yang berasal dari hati dan bukan dari apa yang tampak di luar. Bahwa ketika kau bahagia, kau berpikir kau cantik dan menarik, kau percaya diri, kau tahu Tuhan mengasihimu dan selalu menganggapmu seorang yang spesial, kecantikan itu akan terpancar dengan sendirinya dari wajahmu. Saat ini, kalau kau bertemu denganku, kau takkan melihat an ordinary girl tapi kau akan melihat an extraordinary girl. Aku… yang tak pernah mendapat pujian dari orang tuaku.

Huff… aku tak mengerti mengapa aku harus menggali sedalam ini masa laluku setelah menonton film Charlie and the Chocolate Factory itu. Betapa orang tua berperan penting dalam kehidupan si anak. Orang tua yang mengajarkan anaknya makan apapun yang ia inginkan tanpa kompensasi apapun akan membuat si anak rakus. Orang tua yang mengajarkan tentang ambisi, kewajiban untuk menang dan jadi juara, membuat si anak jadi ambisius, egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Orang tua yang selalu mengabulkan keinginan anaknya, akan membuat anaknya manja, kurang ajar dan tak pernah puas dengan apa yang sudah ia miliki. Orang tua yang membiarkan anaknya duduk di depan televisi, hanya bermain dengan mesin-mesin yang memisahkannya dengan teman-temannya akan membuat si anak meremehkan anak-anak lain karena ia berpikir intelejensinya lebih tinggi daripada siapapun di dunia ini. Orang tua yang tak pernah memuji anaknya, akan membuat anaknya tak percaya diri dan menganggap semua orang jauh lebih baik daripada dirinya (sebuah kalimat lain untuk satu frase: rendah diri).

Aku tidak membenci orang tuaku. Aku mencintai mereka seperti mereka mencintai aku. Mereka sudah berbuat banyak untukku. Hanya, aku berpikir, sudah waktunya aku mulai belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Supaya aku tidak akan melahirkan generasi-generasi yang egois, serakah, tak pernah puas, tak percaya diri, manja, apatis, tak memikirkan orang lain selain dirinya. Tidak. Karena kepada generasi-generasi berikutlah, kita akan titipkan bumi ini.

Wednesday, 5 October 2005
12:15 am

… dedicated to all parents in the world, especially my parents, I always love you.

2 komentar ajah:

Anonymous said...

Beauty is not something that you see from someone, but something that you know and understand from him/her.
You are extraordinary as each of us is supposed to be extraordinary.

~ jessie ~ said...

Yeah... I absolutely agree with you.. but somehow I think people (read: men) awfully think that beauty is something they see, something related to physical appearance.