Monday, October 03, 2005

emotionless creature

Tepuk tangan untuk makhluk-makhluk yang sudah kembali mengingatkan kembali Indonesia pada kejadian tragis di tahun 2002 yang lalu. Wahai para peledak bom yang budiman, kuucapkan selamat pada kalian semua karena sudah berhasil menyelamatkan pemerintah yang kemarin baru saja mengubah (kubilang, mengubah dan bukan menaikkan) harga BBM dari caci maki dan kutukan rakyat, karena sekarang kalianlah yang justru sedang dicaci, dimaki dan dikutuk. Terima kasih atas pengorbanan kalian buat pemerintah negeri ini.

Berkali-kali aku berpikir, berkali-kali aku mengelus dada, berkali-kali aku merasa seperti orang terbodoh di seluruh dunia karena tidak pernah paham dengan apa yang ada di isi otak makhluk-makhluk yang (lagi-lagi) menggemparkan dunia dengan peledak-peledak itu. Kenapa kubilang mereka makhluk dan bukan manusia? Karena menurutku, manusia punya emosi, punya hati, punya perasaan, dan juga nurani. Sementara makhluk belum tentu punya emosi, belum tentu punya hati, belum tentu punya perasaan, apalagi nurani. Bisakah kau bayangkan seseorang yang punya hati nurani melakukan perbuatan bangsat macam itu?

Aku jadi ingat film War of the World yang dibintangi Tom Cruise. Menurut sepupuku, Justin, film ini hanyalah another stupid movie. Aku menontonnya bersama San. Film-nya sendiri biasa saja, maksudku, jauh lebih keren The Lord of the Ring: trilogy dan Independence Day. Kami berdua, aku dan San kemudian membahas tentang film itu sehabis menontonnya. Di film itu diceritakan bahwa ketika manusia dalam keadaan terlemah dan tidak siap, ada makhluk-makhluk di luar sana yang sedang bersiap-siap menyerang bumi. Makhluk-makhluk tanpa emosi. Ketika makhluk-makhluk itu menyerang bumi, bisa dipastikan dan ditebak, manusia-manusia itu tak dapat berbuat apa-apa. Makhluk-makhluk tanpa emosi itu membantai manusia-manusia semudah manusia membantai semut. Darah manusia jadi sumber energi para makhluk itu. Sementara manusia tak bisa berbuat apa-apa selain lari dan bersembunyi, para makhluk itu terus mencari manusia-manusia itu untuk disedot darahnya supaya mereka tambah kuat. Tragisnya, yang membuat makhluk-makhluk itu mati, bukan perlawanan manusia. Steven Spielberg dengan jelas menggambarkan bahwa manusia sebenarnya makhluk lemah yang bergantung pada siklus alam semesta. Makhluk-makhluk itu mati karena darah yang mereka sedot itu menjadi racun atas tubuh mereka. Darah manusia tak lagi segar kalau diambil dalam keadaan mati. Dan itulah yang merobohkan mereka. Bahwa manusia sebenarnya hanyalah sosok-sosok yang atas kemurahan Yang Di Atas bisa hidup di bumi. San mengatakan satu hal yang membuat aku berpikir, yah… dalam film ini, Steven Spielberg seperti hendak menunjukkan realitas dunia. Perang itu dimulai oleh makhluk-makhluk yang tak beremosi. Dan kalau saat ini, di dunia nyata, terjadi peperangan, maka manusia-manusia yang memulainya itu tak bisa lagi dikatakan sebagai manusia. Mereka lebih cocok dibilang sebagai makhluk-makhluk tak beremosi itu tadi.

Kupikir, para peledak-peledak dan teroris itu tepat menyandang gelar emotionless creature. Jadi kalau misalnya namanya Bara (hanya nama karangan), di ijazahnya akan tertulis seperti ini:

This certificate is rewarded to:
Bara, EC
for his participation in bombing the Kuta square, Bali on October 1, 2005

Kemana lagi aku harus berseru? Kemana lagi aku bertanya: mau dibawa kemana bangsa ini? Kemana lagi harus kusalurkan cinta di hati ini?

Sunday, 2 October 2005
10:15 pm

Ada tanah untuk yang hidup. Ada tanah untuk yang mati. Dan cinta (seharusnya - jc) adalah jembatannya.
­- Thornton Wilder -

0 komentar ajah: