Sunday, November 13, 2005

kemenangan

Wahai orang-orang Indonesia, mungkin bisa kutebak sedikit reaksi kalian bila membaca judul tulisanku kali ini. Hm. Mungkin kau sedang berpikir bahwa aku ini… yah katakanlah, sedikit congkak? Haha. Mungkin. Itu mungkin saja. Lalu? Memangnya kenapa? Kalau aku punya sesuatu, memangnya aku tak boleh merasa sedikit berbangga? Dan kalian semua tahu, bahwa di kalangan masyarakat Indonesia, kata ‘bangga’ itu bersanding tipis dengan kata ‘congkak’ atau ‘sombong’. Tapi tenanglah, aku tidak akan buang-buang tenaga dan pikiranku hanya untuk membahas perbedaan dari dua kata itu.

Nah, pertanyaannya sekarang: mengapa tulisanku ini kuberi judul ‘kemenangan’? Kali ini, biarkanlah aku bercerita sedikit. Kau tentu masih ingat aku pernah menulis tentang tante kost-ku dan pembantunya. Kalau kau baca sekilas, maka kau akan mendapatkan kesan bahwa aku tidak menyukai baik tante kost-ku maupun pembantunya yang itu. Yah, well, aku tidak menyalahkanmu. Pernah dalam beberapa waktu aku tidak menyukai keduanya. Tapi entah kenapa, Yang Di Atas beranggapan aku tak perlu punya perasaan seperti itu. Setelah beberapa waktu berlalu, lambat laun, aku lebih tepat dibilang bersikap apatis terhadap mereka berdua. Tidak peduli. Sampai kira-kira bulan lalu, tante kost-ku itu sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula aku masih beranggapan bahwa penyakit yang menyerang tante kost-ku itu bukan termasuk golongan penyakit berat karena kulihat selama ini tante kost-ku itu sehat-sehat saja, masih bisa menagihku untuk membayar uang kost. Tapi setelah beberapa hari dan sayap rumahnya tampak sepi karena tidak terlihat ia berjalan mondar-mandir dan anak-anaknya bersuara, ternyata ia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi. Penyakit berat rupanya, pikirku. Entah bagaimana, ada dorongan dalam diriku untuk menengoknya di rumah sakit. Setengah hidup aku berusaha berpikir mengapa aku bisa dengan tiba-tiba mempunyai inisiatif untuk menunjukkan pada tante kostku itu bahwa aku peduli. Dan jadilah aku kesana bersama salah satu temanku menengok tante kost yang tergeletak tak berdaya namun masih bisa mengoceh sana-sini meski habis dioperasi. Setelah itu aku berpikir bahwa ia hanya butuh istirahat cukup. Biasanya orang yang tak pernah sakit berat dan masuk rumah sakit, sekalinya harus sakit memang harus minggat ke dokter dan divonis rawat inap di rumah sakit. Jadi yah, bisa kautebak, setelah ia akhirnya bisa pulang alias rawat jalan, aku hanya berpikir bahwa ia sudah sembuh. Beberapa hari kemudian, tepatnya minggu lalu, tak dinyana di suatu hari minggu kesunyian di sayap rumahnya itu menyergapku. Muncul perasaan tak enak dalam hati dan entahlah, aku tiba-tiba saja menanyakan kabarnya pada pembantu kost-ku yang tak kusukai itu. Ia bercerita panjang lebar tentang tante kost yang ternyata harus masuk rumah sakit lagi karena pendarahan yang dideritanya tatkala dirawat di rumah. Dan untuk diketahui, baru sekali itulah aku mendengarkannya panjang lebar bercerita. Tak sebersitpun rasa tidak suka dan benci membungkus diri. Sejak hari itu, tiap kali aku bertemu dengannya, aku selalu menanyakan kabar yang sama. Tante kost yang di rumah sakit. Dan tiap kali aku bertanya, aku harus mengakui, bahwa ternyata ia, pembantu kost-ku itu masih punya hati sebagai manusia. Paling tidak, ia ikut peduli dengan keadaan tante kost. Ia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari cuci baju anak-anak kost dan keluarga tante kost sampai menguras semua bak mandi yang ada. Kupikir, tak adil baginya kalau aku masih tetap berpikir bahwa ia itu salah satu manusia yang tak punya hati.

Dua hari yang lalu, ketika sekali lagi kutanyakan kabar tante kost, aku memutuskan untuk menengok ke rumah sakit. Kutanya padanya, pembantu kostku itu, kalau-kalau hari sabtu ia juga mau ke rumah sakit. Ia bilang ia memang mau ke rumah sakit jam sembilan pagi. Kutanya lagi, dia kesana naik apa. Dia jawab naik bis. Dan entah bagaimana, mulutku ini rupanya diperintah oleh hatiku dan bukan otakku untuk mengajaknya pergi ke rumah sakit bersama denganku naik motor. Bayangkan!! Perjalanan setengah jam bermotor harus bersama-sama dengan dia, orang yang pernah kubenci karena sudah ngomong yang tidak-tidak di belakangku, yang sering mengganggu tidur nyenyakku di pagi hari karena ia sudah mengoceh dengan volume maximal, yang sering bersikap kasar pada anak-anak kost. Aku pasti sudah gila kan? Ketika kuceritakan pada teman-teman gerejaku, mereka menepuk punggungku, tersenyum senang dan berkata bahwa aku sudah menang. Tak sadar dengan apa yang mereka katakan, aku berpikir. Menang? Aku? Kenapa? Semalaman aku berpikir dan akhirnya kudapatkan bahwa seperti inilah rasanya kalau kau berhasil menghapus rasa bencimu, rasa tidak sukamu pada seseorang. Ada rasa lega, bercampur senang dan mendapatkan sesuatu yang asyik yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yah. Aku sudah menang melawan rasa benciku padanya. Pun dengan tante kost. Aku sudah melupakan pertengkaran-pertengkaranku dengannya, mengenyahkan kenangan-kenangan buruk dengannya selama enam tahun hidup seatap dan mengusir banyak hal yang membuatku tidak menyukainya. Yang tertinggal hanyalah rasa kasihan dan rasa sayang. Sungguh! Aku tidak bohong. Apalagi setelah permintaan maafnya padaku tadi pagi ketika aku menjenguknya di rumah sakit. Ia mungkin mengira sudah tak punya banyak waktu lagi. Saat ini aku hanya bisa berdoa, memohon pada Dad in Heaven sesuatu yang baik untuknya dan keluarganya. Apapun itu.

Hei, percayalah padaku. Mengasyikkan sekali perasaan yang kau miliki setelah kau memaafkan orang-orang yang tak kau sukai atau kau benci dan kemudian bersahabat dengan mereka. Well, tak mudah, kau tahu itu. Tapi begitu kau berhasil menaklukkan nafsu membencimu itu, tak ada yang bisa menggantikannya. Rasanya… hmmm… so yummy!!!

Saturday, 12 November 2005
10:31 pm

1 komentar ajah:

Anonymous said...

Hiks..hiks.... terharu....
Congratulation, JC!