Monday, November 28, 2005

upacara kematian

Ambulans. Bendera putih dengan tanda palang merah. Mayat terbujur. Kerumunan orang. Peti mati.

Semua itu yang aku lihat setelah aku bersenang-senang dengan teman-teman gerejaku pada suatu sarasehan pemuda. Tentu saja aku shock. Meskipun mayat itu, ketika ia masih hidup pernah jadi orang yang tak kusukai.

Aku berbicara tentang tante kostku. Ia akhirnya pergi. Meninggalkan keluarganya. Dan mengapa aku musti menulis tentang orang yang tidak terlalu meninggalkan jejak yang cukup jelas dalam jalan hidup seorang jessie?

Kuikuti tadi upacara tutup peti-nya. Harus segera ditutup, atau rumah akan semakin banjir air mata. Ditambah lagi, ia memang harus segera dikubur atau dikremasi. Penyakitnya bisa bikin tubuhnya cepat bau. Dan bau orang mati, meskipun ia adalah orang yang kau sayangi, kau tentu tak berharap hidungmu terus mengendusnya kan?

Upacara yang panjang dan melelahkan. Lebih dari sekedar mengikuti upacara bendera. Belum lagi kerumunan orang-orang yang entahlah, aku tak tahu apa tujuan mereka ikut dalam upacara yang panjang dan membosankan ini. Betul-betul ikut berdukacita? Menemani keluarga yang berduka? Atau hanya menontoni mereka menangis? Daripada menangis karena lihat sinetron di rumah, yang pemain-pemainnya tidak mereka kenal sama sekali? Hanya ketika barang-barang tante kostku yang sudah terbujur kaku di dalam peti itu dimasukkan, dan seseorang membenahi tubuhnya sementara keluarganya menangisi kepergiannya, aku malah berpikir. Aku tertarik mengamati ekspresi sebagian ibu-ibu yang hadir. Dengungan doa terdengar dari mulut mereka. Juga banjir lagu simpati. Tapi hanya mulut mereka yang bernyanyi. Mata mereka merajalela kemana-mana. Rasa ingin tahu yang tinggi mendorong mereka memanjang-manjangkan leher demi melihat apa yang dilakukan petugas dan keluarganya itu dengan sang mayat. Supaya mereka punya sesuatu untuk diceritakan kepada orang-orang yang akan mereka temui sekembalinya mereka dari upacara tersebut.

Aku sendiri hanya tersenyum maklum. Mau bagaimana lagi? Mungkin itu yang dibilang tuntutan sosial. Galilah cerita dan berita sebanyak-banyaknya. Semakin menarik, semakin aneh, semakin didengar pula berita itu. Tidak peduli lagi dengan kebenarannya. Dan gusarlah aku. Yang kemudian memilih untuk menyingkir daripada bikin dosa lagi karena sudah berpikir yang bukan-bukan.

Atau mungkin juga mereka ingin tahu seperti apa warna kulit orang yang sudah mati dan pendapat mereka bisa jadi sama denganku. Tak pernah aku melihat kulit sepucat itu. Dan tahulah aku, bahwa secantik apapun dirimu, selangsat apapun kulitmu, ketika kau mati dan terbujur kaku di dalam peti, kulitmu sama sekali takkan bercahaya dan dirimu jadi tak menarik lagi.

Gonggongan anjing tante kost di dalam malahan lebih mengusikku ketimbang kerumunan orang-orang yang tidak jelas tujuan kedatangannya itu. Anjing itu terus mengonggong sebelum peti ditutup. Seperti menangis. Seolah menuntut penjelasan mengapa orang yang biasa memberi mereka makan, berbicara pada mereka, memelihara mereka, harus terkurung dalam sebuah kotak kayu yang terkunci. Kupikir, anjing itu lebih tulus menyatakan kepedihan hatinya ketimbang ibu-ibu yang sibuk bernyanyi dan berdoa sambil memanjangkan leher mereka ingin tahu seperti apa mayat tante kost-ku itu. Ah, well….

Tapi, tak adil rasanya kalau aku berpikiran negatif tentang mereka. Aku sadar itu. Karena aku toh tidak betul-betul kenal mereka dan mungkin mereka juga tak sadar melakukannya.

Tante, jangan pedulikan kerumunan orang-orang itu. Anggaplah itu sekelumit kepedulian yang memang patut kau terima atas hubungan sosialmu dengan mereka. Jangan juga pedulikan kami, anak-anak kost yang hanya bisa mengikuti upacara saat kau mati, tapi ketika kau hidup, tidak banyak yang kami lakukan untukmu. Hanya suka marah-marah saja. Maafkan kami. Seringkali sulit sekali bagi kami untuk memahami jalan pikiran orang setua tante. Jangan juga terlalu pedulikan anak-anak tante, karena mereka akan terus menjalani hidup, dengan atau tanpa tante. Dan tante sudah menjalankan tugas tante sebagai ibu. Karena mereka punya kehidupan sendiri yang tak mungkin bisa tante ikuti sepanjang usia.

Selamat jalan, tante.


Sunday, 27 November 2005
09.48 pm

ps: Seharusnya malam ini aku mandi. Bau ukup itu menusuk sekali. Terus mampir ke hidung meskipun aku sudah menukar pakaianku. Hanya saja, tubuhku terlalu lelah untuk itu.



Sunday, November 13, 2005

kemenangan

Wahai orang-orang Indonesia, mungkin bisa kutebak sedikit reaksi kalian bila membaca judul tulisanku kali ini. Hm. Mungkin kau sedang berpikir bahwa aku ini… yah katakanlah, sedikit congkak? Haha. Mungkin. Itu mungkin saja. Lalu? Memangnya kenapa? Kalau aku punya sesuatu, memangnya aku tak boleh merasa sedikit berbangga? Dan kalian semua tahu, bahwa di kalangan masyarakat Indonesia, kata ‘bangga’ itu bersanding tipis dengan kata ‘congkak’ atau ‘sombong’. Tapi tenanglah, aku tidak akan buang-buang tenaga dan pikiranku hanya untuk membahas perbedaan dari dua kata itu.

Nah, pertanyaannya sekarang: mengapa tulisanku ini kuberi judul ‘kemenangan’? Kali ini, biarkanlah aku bercerita sedikit. Kau tentu masih ingat aku pernah menulis tentang tante kost-ku dan pembantunya. Kalau kau baca sekilas, maka kau akan mendapatkan kesan bahwa aku tidak menyukai baik tante kost-ku maupun pembantunya yang itu. Yah, well, aku tidak menyalahkanmu. Pernah dalam beberapa waktu aku tidak menyukai keduanya. Tapi entah kenapa, Yang Di Atas beranggapan aku tak perlu punya perasaan seperti itu. Setelah beberapa waktu berlalu, lambat laun, aku lebih tepat dibilang bersikap apatis terhadap mereka berdua. Tidak peduli. Sampai kira-kira bulan lalu, tante kost-ku itu sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula aku masih beranggapan bahwa penyakit yang menyerang tante kost-ku itu bukan termasuk golongan penyakit berat karena kulihat selama ini tante kost-ku itu sehat-sehat saja, masih bisa menagihku untuk membayar uang kost. Tapi setelah beberapa hari dan sayap rumahnya tampak sepi karena tidak terlihat ia berjalan mondar-mandir dan anak-anaknya bersuara, ternyata ia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi. Penyakit berat rupanya, pikirku. Entah bagaimana, ada dorongan dalam diriku untuk menengoknya di rumah sakit. Setengah hidup aku berusaha berpikir mengapa aku bisa dengan tiba-tiba mempunyai inisiatif untuk menunjukkan pada tante kostku itu bahwa aku peduli. Dan jadilah aku kesana bersama salah satu temanku menengok tante kost yang tergeletak tak berdaya namun masih bisa mengoceh sana-sini meski habis dioperasi. Setelah itu aku berpikir bahwa ia hanya butuh istirahat cukup. Biasanya orang yang tak pernah sakit berat dan masuk rumah sakit, sekalinya harus sakit memang harus minggat ke dokter dan divonis rawat inap di rumah sakit. Jadi yah, bisa kautebak, setelah ia akhirnya bisa pulang alias rawat jalan, aku hanya berpikir bahwa ia sudah sembuh. Beberapa hari kemudian, tepatnya minggu lalu, tak dinyana di suatu hari minggu kesunyian di sayap rumahnya itu menyergapku. Muncul perasaan tak enak dalam hati dan entahlah, aku tiba-tiba saja menanyakan kabarnya pada pembantu kost-ku yang tak kusukai itu. Ia bercerita panjang lebar tentang tante kost yang ternyata harus masuk rumah sakit lagi karena pendarahan yang dideritanya tatkala dirawat di rumah. Dan untuk diketahui, baru sekali itulah aku mendengarkannya panjang lebar bercerita. Tak sebersitpun rasa tidak suka dan benci membungkus diri. Sejak hari itu, tiap kali aku bertemu dengannya, aku selalu menanyakan kabar yang sama. Tante kost yang di rumah sakit. Dan tiap kali aku bertanya, aku harus mengakui, bahwa ternyata ia, pembantu kost-ku itu masih punya hati sebagai manusia. Paling tidak, ia ikut peduli dengan keadaan tante kost. Ia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari cuci baju anak-anak kost dan keluarga tante kost sampai menguras semua bak mandi yang ada. Kupikir, tak adil baginya kalau aku masih tetap berpikir bahwa ia itu salah satu manusia yang tak punya hati.

Dua hari yang lalu, ketika sekali lagi kutanyakan kabar tante kost, aku memutuskan untuk menengok ke rumah sakit. Kutanya padanya, pembantu kostku itu, kalau-kalau hari sabtu ia juga mau ke rumah sakit. Ia bilang ia memang mau ke rumah sakit jam sembilan pagi. Kutanya lagi, dia kesana naik apa. Dia jawab naik bis. Dan entah bagaimana, mulutku ini rupanya diperintah oleh hatiku dan bukan otakku untuk mengajaknya pergi ke rumah sakit bersama denganku naik motor. Bayangkan!! Perjalanan setengah jam bermotor harus bersama-sama dengan dia, orang yang pernah kubenci karena sudah ngomong yang tidak-tidak di belakangku, yang sering mengganggu tidur nyenyakku di pagi hari karena ia sudah mengoceh dengan volume maximal, yang sering bersikap kasar pada anak-anak kost. Aku pasti sudah gila kan? Ketika kuceritakan pada teman-teman gerejaku, mereka menepuk punggungku, tersenyum senang dan berkata bahwa aku sudah menang. Tak sadar dengan apa yang mereka katakan, aku berpikir. Menang? Aku? Kenapa? Semalaman aku berpikir dan akhirnya kudapatkan bahwa seperti inilah rasanya kalau kau berhasil menghapus rasa bencimu, rasa tidak sukamu pada seseorang. Ada rasa lega, bercampur senang dan mendapatkan sesuatu yang asyik yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yah. Aku sudah menang melawan rasa benciku padanya. Pun dengan tante kost. Aku sudah melupakan pertengkaran-pertengkaranku dengannya, mengenyahkan kenangan-kenangan buruk dengannya selama enam tahun hidup seatap dan mengusir banyak hal yang membuatku tidak menyukainya. Yang tertinggal hanyalah rasa kasihan dan rasa sayang. Sungguh! Aku tidak bohong. Apalagi setelah permintaan maafnya padaku tadi pagi ketika aku menjenguknya di rumah sakit. Ia mungkin mengira sudah tak punya banyak waktu lagi. Saat ini aku hanya bisa berdoa, memohon pada Dad in Heaven sesuatu yang baik untuknya dan keluarganya. Apapun itu.

Hei, percayalah padaku. Mengasyikkan sekali perasaan yang kau miliki setelah kau memaafkan orang-orang yang tak kau sukai atau kau benci dan kemudian bersahabat dengan mereka. Well, tak mudah, kau tahu itu. Tapi begitu kau berhasil menaklukkan nafsu membencimu itu, tak ada yang bisa menggantikannya. Rasanya… hmmm… so yummy!!!

Saturday, 12 November 2005
10:31 pm

Wednesday, November 09, 2005

tuhan menjitakku

Bulan November sudah hampir menyentuh tengahnya. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Masa lajangku tinggal beberapa minggu. Tapi entah mengapa aku justru menikmatinya. Maksudku, setelah liburan yang agak membosankan lebaran kemarin. Enam hari musti di kost-kostan, sendirian karena teman-teman lain pada minggat ke kampung halaman masing-masing, menikmati liburan bersama keluarga. Sesuatu yang juga kurindukan tapi tak bisa kulakukan karena harus duduk manis bersama calon-calon pasangan suami istri lainnya dalam suatu acara bertitel bina pra nikah dalam satu hari di tengah-tengah liburan itu.

Meskipun terlihat membosankan, setelah kupikir-pikir, liburanku tidak semembosankan itu. Maksudku, kalau waktu itu aku tidak merasa sendiri di kost, aku tidak akan cabut dari situ dan menginap di rumah tanteku. Yang berarti tidak pernah mengenal lebih dekat kedua keponakan dari sepupuku yang di Surabaya. Mengenal keduanya sama seperti mengamati sesuatu yang menarik. Dua gadis kecil kakak beradik. Sama-sama manis. Yang satu begitu lincah, banyak bicara, dan rame. Satu lagi begitu pendiam, misterius, dan hanya mengamati orang ketika sedang berbicara. Hanya saja, yang lincah malam itu sedang rewel. Merindukan mamanya yang tak kunjung datang. Cara apapun ternyata tidak dapat membuatnya berhenti menangis dan berteriak-teriak. Padahal jarum jam pendek hampir menunjuk angka sembilan, yang berarti sudah waktunya gadis kecil seperti mereka untuk tidur. Adiknya, hanya diam saja melihat kakaknya menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai. Seolah-olah sudah terbiasa dan menikmatinya selagi bisa. Malam itu juga aku belajar bahwa menjadi seorang ibu tidak semudah yang kubayangkan. Ketika kau hamil dan punya anak, kau mungkin hampir-hampir tak punya waktu untuk dirimu sendiri. Atau kalau kau mau tetap memiliki waktu untuk dirimu sendiri, kau harus merelakan anak-anakmu kehilangan dirimu sepanjang hari dan mungkin ketika mereka dewasa dan kau sudah tua, mereka akan memperlakukanmu persis seperti apa yang sudah kau lakukan semasa mereka kecil.

Haha. Tapi jangan pikir aku stres karena keponakan-keponakanku itu. Aku bahkan menikmati waktu-waktuku bersama dengan mereka. Membacakan cerita yang kukarang sendiri untuk salah satu keponakanku sebelum tidur dan yang lain ditangani oleh neneknya. Tak kuduga, si bungsu mendengarkan ceritaku sampai akhir dengan mata terbelalak. Senang sekali melihat ekspresi wajahnya ketika mendengarkan ceritaku. Aku berharap, ketika aku menjadi seorang mama nanti, aku tetap punya waktu setiap malam menemani anakku sebelum tidur dan menceritakan banyak cerita buatnya. Tapi, hei, aku tak menyangka aku bisa punya perasaan ingin memiliki anak waktu membacakan cerita karanganku sendiri pada keponakanku itu. Sudahlah. Aku sendiri tak pernah membayangkan diriku dengan perut membuncit dan akhirnya menggendong bayi mungil yang akan diamat-amati oleh keluarga dan teman-teman sambil menebak-nebak mirip siapa bayi itu. Ah, well….

Hari berikutnya kubiarkan diriku berkelana bersama kawanku. Bahkan sampai menginap di rumahnya. Ohya! Semasa liburan ini, aku juga ternyata harus menengok bekas pengasuh San yang tergeletak sakit di rumah sakit. Tapi yah… karena aku sendiri tidak terlalu punya ikatan emosional yang dekat dengannya, maka kedatanganku tak lebih tak kurang adalah sebagai pengganti San. Jadi biarkanlah aku melanjutkan cerita petualanganku bersama kawanku. Namanya Nita. Dan ketika aku menginap di rumahnya, kami sama-sama belajar tentang pria, wanita dan keluarga dalam film A Story of Us. Two thumbs up for that movie. Begitu real, begitu nyata. Tidak dibuat-buat dan aku menganjurkan film ini untuk ditonton para pasangan (calon) suami istri, baik yang akan menikah, baru saja menikah ataupun sudah menikah bertahun-tahun. Sungguh. Ada satu kalimat yang menggelitik hatiku. Michelle Pfeiffer bilang, perkawinan itu layak untuk diperjuangkan, karena ketika kita menikah dan membangun keluarga, kita sedang menulis sejarah dan sejarah tidak dibangun dalam waktu sehari. Kalimat itu sedikit menghapus ketakutanku soal perkawinan dan keluarga. Banyak hal yang harus dikorbankan untuk membangun perkawinan dan keluarga, tapi akan banyak pula yang akan didapat. Harus memaksa San untuk menonton film ini, haha. Sekarang ia sedang berkutat dengan test akhirnya. Semoga ia bisa mengerjakan test-testnya dengan baik.

Baiklah. Aku harus mengakui satu hal disini. Selama liburan, dan bahkan berhari-hari sebelum itu, aku agak meninggalkan saat teduh. Entahlah. Mungkin merasa tugasku sebagai ketua komisi pemuda hampir selesai dan kerajinanku itu menjadi kendor. Jangan meniruku. Sungguh. Aku tahu merupakan kesalahan besar aku tidak membangun persekutuan yang intim dengan Dad in Heaven ketika aku merasa tidak memiliki tanggungan apa-apa. Akibatnya, karena rasa sayang-Nya yang terlalu besar padaku, maka dengan keras Dad memukulku untuk segera kembali padanya. Entah bagaimana datangnya, tiba-tiba timbul masalah yang harus segera diselesaikan. Dan masalah ini betul-betul memaksaku untuk kembali ke pelukan Dad setelah lama bermain-main tanpa ingat Dia. Aku tahu mungkin Ia sakit hati, tapi yah. Aku mengaku salah. Banyak cara yang Ia lakukan untuk menyeretku kembali padaNya. Dan sampailah aku pada hari ini. Sudah kukatakan, jika Tuhan mau mengatakan sesuatu padamu, Ia bisa mengatakannya dengan cara apapun. Dan kali ini, Ia justru bekerja lewat mulutku sendiri. Sungguh malu aku. Betapa nakalnya aku, tapi betapa sayangnya Ia padaku. Betul-betul aku bersyukur masalah ini ada untukku. Seolah-olah kepala ini dijitak oleh tangan Dad dengan sayang. Karena rupanya hanya dengan masalah-lah, aku menjaga persekutuan intimku dengan Dad. Tapi kupikir, akan tiba waktunya, Ia tak perlu menjejaliku dengan masalah bertumpuk-tumpuk gara-gara aku menjauh karena aku sendiri yang akan terus membangun persahabatan dan cinta itu pada-Nya. Sulit memang. Karena aku masih hidup dalam daging.

Saat ini aku hanya berharap tidak akan menyia-nyiakan masa lajangku yang tinggal beberapa minggu ini. Sungguh-sungguh berharap demikian.

Wednesday, 9 November 2005
10:22 pm

“Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.”
- Ibrani 10:39 -

Friday, October 28, 2005

jalan laki-laki dan perempuan

Well, buat teman-teman cewekku yang masih jomblo, biarlah kali ini aku yang mengumbar iri melihat kalian. Karena kalian tidak perlu memusingkan makhluk yang bernama pria dengan segala keunikan dan keanehan mereka yang membuat kita benci sekaligus cinta. Terlebih lagi, kalian juga tidak perlu lebih pusing lagi karena kalian tetap mempertahankan pria itu meskipun mereka membuat kalian tidak bisa tidur berhari-hari, jengkel sepanjang hari, marah-marah bahkan ketika mereka baru mengucapkan satu patah kata saja dan protes ketika mereka tidak punya cukup waktu untuk kalian. Dan kalian jadi sama anehnya dengan mereka.

Satu yang ingin kutandaskan disini, aku menulis sekarang ini bukan sebagai cewek materialistis yang melihat segala sesuatu hanya dari satu dimensi saja, yaitu uang dan sejenisnya. Berubahnya harga BBM diikuti oleh naiknya harga barang-barang yang dibutuhkan membuat aku berpikir. Kepala kantorku pernah berkata, keadaan seperti ini membawa dampak psikologis bagi keluarga dan pasangan suami istri. Istri akan mengeluh dan marah-marah karena uang yang disediakan sang suami tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan karena keluhan istrinya itu, suaminya berinisiatif untuk mencari kerja tambahan yang tentu saja merampas sisa waktu yang dimiliki suami untuk keluarga. Si suami akan pulang kerja malam-malam dalam keadaan capek dan tidak menyenangkan untuk diajak mengobrol dan sekedar bertukar pikiran. Kalau itu terjadi, si istri akan kembali mengeluh dan marah-marah karena suaminya sudah tidak punya cukup waktu untuknya dan keluarganya. Kemudian itu semua menjadi lingkaran setan yang terus merongrong, membuat semakin terperosok dan kalau sudah terlalu dalam akan sulit menarik diri keluar dari lingkaran itu. Dan mengapa aku harus berpikir sejauh itu? Aku, yang belum resmi menjadi seorang istri.

Baiklah, ini daerah teritorialku menyingkirkan topeng. Kau akan melihat aku yang sejujurnya disini. Jessie tanpa topeng. Karena itulah aku takkan ragu-ragu menceritakan apa yang kurasakan disini. Well, ketika aku merencanakan untuk menikah, aku sama sekali tidak menyangka memerlukan uang sebanyak itu. Maksudku, kenapa sih harus merepotkan diri sendiri untuk menyewa gaun pengantin seberat dan semahal itu? Menyewa orang untuk melukis wajahmu yang akan membuat wajahmu terasa lebih tebal berlapis-lapis? Membuat tuxedo semahal itu padahal dipakai hanya untuk sehari? Memesan makanan sebanyak itu untuk menjamu sebagian tamu yang belum tentu kau kenal dengan baik? Membayar orang untuk mendekorasi gedung yang kau sewa dan pusing mencari-cari dekor macam apa yang harus dipasang supaya tamu-tamu berdecak kagum? Itu semua membutuhkan biaya besar, aku sadar itu. Dan kalau bisa, aku ingin lari dari itu semua. Menurutku, pernikahan lebih dari sekedar pesta. Lebih dari sekedar mengeluarkan uang sebanyak itu. Dan kau tahu? Demi melaksanakan suatu rangkaian acara yang durasinya tidak lebih dari dua puluh empat jam, diperlukan berlembar-lembar rupiah, berliter-liter keringat dan air mata, dan berjuta-juta pasir waktu yang ada yang mestinya bisa dipakai untuk berbincang-bincang santai, saling mencurahkan hati jadi lebur ditengah kesibukan-kesibukan yang dipaksa.

Aku merasakannya. Itu betul. Dalam beberapa bulan ini, San sulit dijangkau. Emailnya jarang muncul di inbox-ku. SMS-nya apalagi. Ia sendiri juga jarang hadir di area messenger. Dan kalau aku tidak meminta, mungkin dia tidak akan meneleponku sama sekali. Kalau aku mengirim email padanya, aku harus menunggu berhari-hari untuk mendapat balasan atau respon darinya. Kalau aku mengirim SMS, aku juga harus menunggu berjam-jam atau berhari-hari mendapat balasan. Bahkan mungkin aku harus menggigit jari karena tidak ada tanggapan sama sekali. Ketika dia muncul di area messenger itu pun, aku harus menerima untuk diduakan karena kalau sampai ia muncul di area itu, berarti ada satu atau dua tugas kuliahnya yang harus dikerjakan dan memerlukan komputer lab kampusnya. Dan diduakan sama sekali tak enak. Kau mengoceh panjang lebar dan tak ada tanggapan seolah-olah yang hadir disana itu hantunya yang sedang menggodamu. Berkali-kali harus mengetik: “u there?” atau “kamu masih disitu?” atau “halooo???” hanya untuk memastikan dia benar-benar masih ada. Menjengkelkan. Kadang-kadang. Kemudian sering. Aku tahu ia sibuk. Ia kerja. Banting tulang. Demi mengumpulkan dolar untuk ditukarkan dengan rupiah, untuk satu acara yang akan berlangsung kurang dari dua puluh empat jam. Kadang-kadang aku berpikir, lebih baik tidak usah pesta sama sekali, daripada aku harus kehilangan dia berbulan-bulan. Sungguh. Aku merasakan lingkaran setan itu. Yang menelanku tanpa ampun dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan kata-kata cinta dan kangen sudah tidak mempan membakar apa yang ada di hati ini. Seperti pemantik yang kehabisan gas.

Jadi kalian tahu kan mengapa kali ini aku yang berkata iri pada kalian, para high quality jomblo? Hubungan pria dan wanita itu rumit. Dan jauh di luar pikiran kalian. Aku menganggap San itu aneh dan menjengkelkan. Kemudian aku sadar, aku juga jadi aneh dan menjengkelkan. Yang membuat San lebih aneh dan lebih menjengkelkan. Terus menerus, seperti cincin yang tidak ada ujung pangkalnya. Membuat kecanduan. Dan kalau lama-lama dibiarkan, mungkin kami akan mati lemas.

Thursday, 27 October 2005
11:12 pm

“Ada tiga hal yang mengherankan aku, bahkan, ada empat hal yang tidak kumengerti: jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah laut, dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.”
- Amsal 30 : 18-19 -

Tuesday, October 25, 2005

siapkan tempat untuk inspirasi

Hampir seminggu kejenuhan, kebosanan, kesepian menyerang jessie habis-habisan. Dan hampir seminggu itu, jessie seperti makhluk tak bertenaga. Yang seperti robot. Hanya mampu mengerjakan tugas-tugas rutin, tanpa bisa berpikir layaknya manusia normal.

Setelah otak ini dapat berpikir dengan normal, aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Hampir seminggu itu aku bersikap seolah-olah aku ini pesakitan dengan hakim-hakim bernamakan kejenuhan, kebosanan dan kesepian itu. Dan tentu saja jessie tidak akan membiarkan itu berlangsung lama.

Pekerjaan yang menumpuk membangunkan jessie ke dunia nyata. Welcome back, Jes. This is your real world. Never avoid it. Tentu. Aku takkan menghindarinya. Maksudku, aku sebenarnya tidak ingin menyalahkan teman-temanku karena aku kesepian. Aku yang menghilang dari peredaran mereka dan bukan sebaliknya. Jadi, tak patut aku berpikir yang bukan-bukan tentang mereka.

Hari minggu kemarin, banyak orang menyapaku. Mereka tersenyum padaku, menanyakan kabar. Bahkan ada yang langsung memelukku begitu melihatku. Perasaan terkejut, senang dan terharu campur aduk di dalam sini. Dan aku tahu, aku tak pernah kehilangan mereka. Jessie mungkin tak memiliki sahabat, tapi ia punya banyak teman-teman yang siap membantu.

Beberapa hari ini, seorang teman banyak bercerita tentang masalahnya. Masalah keluarganya. Masalah pasangan hidupnya. Masalah pekerjaannya. Masalah masa depannya. Sambil berkali-kali mengatakan bahwa aku salah satu orang terberuntung di seluruh dunia karena aku tak perlu dirubung masalah sebegitu banyak dalam satu waktu. Melihat itu, aku jadi berpikir kembali, benarkah aku ini seberuntung itu. Seperti kembali disadarkan bahwa aku tidak cukup bersyukur terhadap apa yang aku punya sekarang. Maafkan aku, Tuhan.

Hari ini, semangat itu kembali meletup. Adanya masalah dalam pekerjaan justru memunculkan apa yang hilang selama seminggu. Dalam waktu yang bersamaan datanglah inspirasi untuk menulis. Natal yang kian dekat membuat aku kangen menulis naskah. Pembaca yang budiman, jujur saja, aku tak pernah percaya diri dalam hal menulis naskah. Aku tak pernah yakin aku bisa. Aku bisa menulis, itu betul. Tapi tidak menulis naskah. Tapi entah bagaimana, inspirasi itu tiba-tiba menclok, membuat aku bersemangat untuk pulang dari kantor, cepat-cepat mandi biarpun udara dingin, ngopi sejenak dan duduk manis dihadapan komputer pentium 1 kebanggaanku sambil menuangkan semua ide imajinatif yang ada di kepala. Sesuatu yang membuat hidup jadi lebih hidup, menyingkirkan kepenatan yang ada.

Mungkin aku masih tetap perlu berlibur. Membunuh waktu dengan menulis, bercanda dengan karakter-karakter yang sedang kuciptakan dan membiarkan jessie melahirkan sesuatu. Untuk mengubahnya. Mengubah orang-orang disekitarnya. Mengubah sesuatu menjadi lebih baik.

Monday, 24 October 2005
09:34 pm

Menulis adalah perjalanan menuju suatu kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran. Ia dapat bertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada dapat yang menghitung berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan disana. Ia hanya akan mengalir … sebisanya.”
- Dee, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, 2001-

Friday, October 21, 2005

tanpa sahabat

Ok! Aku mengaku! Aku lelah. Aku capek. Aku kesal. Aku marah. Everything sucks. Life sucks. Kenapa? Karena meskipun banyak orang lalu-lalang di sekitarku, aku tetap merasa kesepian. Tak ada seorangpun yang bisa kujadikan pegangan.

Baru sekarang kusadari. Ternyata jessie tidak mempunyai sahabat. Kalau teman, iya. Banyak. Tapi, sahabat? Ok, akan kusebutkan satu-persatu orang yang menurutku cukup dekat denganku namun saat ini mereka seperti hilang dari peredaran.

1. NOO
Nun jauh disana, hiduplah ia. Dengan peluh mencucur dan keringat membanjir. Membunuh waktu dengan bekerja dan belajar. Demi masa depan nan cerah ceria. Habis sudah waktunya untukku. Mungkin ia berpikir aku cukup kuat bertahan hidup tanpa ia. Tak pernah bertanya tentang kabarku. Sekali pesannya muncul di inbox-ku, hanya permintaan dan perintahlah yang ia kirimkan. Statistik namanya muncul di dalam email-ku sebagai pengirim kalah jumlah dengan temanku yang bahkan ketemu pun hanya sekali seumur hidup. Dan bagaimana mungkin aku masih menuntut waktunya?

2. IIA
Peristiwa tak enak yang sudah hadir diantara kami menyebabkan aku selalu urung menceritakan banyak hal padanya. Tidak menceritakan masalah-masalahku pun ia sudah menganggapku anak kecil yang merepotkan, apalagi kalau bercerita setumpuk masalah yang mungkin menurutnya hanya membuang-buang waktu dan energinya saja. Kusadari kini, meski pernah dalam beberapa waktu di kehidupanku, aku menganggap dia kakak kandungku, seseorang yang kukagumi, dan sekarang… wush..! ia bertransformasi menjadi seseorang yang menakutkan, yang mana aku harus berhati-hati sekali bersikap dan berkata-kata, yang mana aku harus memakai topeng berlapis-lapis jika berhadapan dengannya. Kau pikir enak mengenakan topeng berlapis-lapis?

3. AI
Aku bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu. Belum selesai aku bercerita, waktu sudah memperingatkan kami. Tak ada waktu. Dua tiga jam tidaklah cukup untuk setumpuk masalah yang ada. Sibuk. Sibuk. Sibuk. Dengan urusan kami sendiri. Waktu bertemu yang sedikit, sekali bertemu mungkin kami tidak bisa duduk berdua karena teman-teman kami yang lain mengalihkan perhatian kami.

4. EIO
Kuharap kalian tak bosan melihat inisial nama ini untuk yang kedua kalinya. Pekerjaan dan keluarga barunya menuntut waktu dan energinya. Dan aku masih harus menuntut sisa waktu yang seharusnya digunakan untuk dirinya sendiri? Jessie tidak seegois itu.

5. SDO
Dekat dengannya dalam beberapa bulan ini. Kuangkat ia seperti kakakku sendiri. Kami hampir mirip dalam beberapa hal. Tapi entah mengapa, begitu hujan masalah menimpaku begitu derasnya, begitu juga ia. Jadilah, aku tak tega menambahi hujan masalah lagi dalam hidupnya. Masalahnya sendiri sudah cukup berat, dan hati ini selalu ragu bercerita, gemetar karena saat ini ia seperti beruang yang siap hibernasi, marah kala diusik, mencakar kala disentuh, menerkam kala diganggu.

Seseorang pernah berkata padaku, jangan pernah memperlihatkan kesedihan, kemarahan dan kejengkelanmu ketika kau sedang berada di tengah-tengah kerumunan orang. Mereka tak suka melihat wajahmu ketika semua perasaan itu tengah bertamu dalam hatimu. Mereka hanya suka melihat senyummu, tawamu, candamu. Sekuat tenaga aku berusaha tersenyum tatkala air mata sudah mengambang di pelupuk. Setengah mati aku berusaha tertawa tatkala hati ini sedang mengembung karena marah. Sebisa mungkin aku berusaha bercanda meskipun tak ada satu joke pun mampir di benakku, dan kemudian joke itu menjadi kering melebur dengan udara.

Ingin kubatalkan semua rencanaku. Ingin kubuang semua yang sudah telanjur kuambil dan sekarang hampir kusesali. Hanya ingin hidup untuk hari ini. Tidak untuk kemarin, apalagi untuk besok. Hanya hari ini.

Friday, 21 October 2005
04:16 pm

Malcolm Forbes bilang: “Kehadiran adalah lebih daripada sekedar berada disana.” Dan aku hanya ingin bilang: “Tak ada yang berada disini, tak ada yang hadir, mereka hanya menuntut topengku yang sebenarnya rapuh.”

theme song of mine

Reflection (OST. Mulan)
by: Coco Lee

Look at me, you may think you'll see who I really am
But you'll never know me
Every day, it's as if I play a part
Now I see, if I wear a mask, I can fool the world
But I cannot fool my heart
Who is that girl I see, starring straight back at me?
When will my reflection show who I am inside?
I am now in a world where I have to hide my heart and what I belive in
But somehow, I will show the world what's inside my heart and beloved for who I am
Who is that girl I see, starring straight back at me?
Why is my reflection someone I don't know?
Must I pretend that I'm someone else for all time?
When will my reflection show who I am inside?
There's a heart that must be free to fly
That burns with a need to know the reason why
Why must we all conceal what we think, how we feel?
Must there be a secret me I'm forced to hide?
I won't pretend that I'm someone else for all time
When will my reflection show who I am inside?

Friday, 21 October 2005
03:28 pm

Wednesday, October 19, 2005

... pecinta hujan yang sedang jenuh

Setelah beberapa hari mengeluh panas, rupanya Tuhan mendengar keluhanku. DibiarkanNya selama dua hari ini, setiap siang Surabaya diguyur air hujan. Mula-mula gerimis, kemudian deras. Seperti baru saja ditumpahkan dari langit.

Aku suka memandang hujan. Tidak peduli dimana aku. Aku suka berada di dekat dimana air hujan menciprat ke sebagian tubuhku. Ke tangan. Ke kaki. Ke wajah. Ke lengan. Belum lagi bau tanah basah yang sedap. Plus udara yang sejuk. Meski ketika hujan turun dan udara menjadi dingin, tubuh ini maunya lari ke kamar kost. Mendengarkan musik, membaca novel atau Donal Bebek yang tebal (biar nggak cepet habis terbaca, maksudnya), minum susu coklat or capuccino hangat, kemudian meletakkan pantat di atas ranjang yang dingin. Bisa betah banget aku ngendon di dalam kamar dan nggak keluar-keluar, kecuali ada bom meledak atau kebakaran, amit-amit deh… jangan sampe.

Tiap kali memandang hujan, ada dua yang kupikirkan. Tuhan sedang menangisi manusia yang (lagi-lagi) jatuh dalam dosa atau alam sedang membersihkan diri. Cuaca dan udara yang panas terus-terusan bisa membuat gerah suasana. Bisa menjadikan tanah kering dan retak. Bisa membuat udara pengap. Bisa menebarkan debu dimana-mana. Bisa membuat manusia-manusia mengeluh dan mengomel, karena mereka harus berkeringat dan keringat menyebabkan tubuh mereka berbau tak sedap.

Tahu tidak, tadi siang, saat hujan tanpa ampun melibas kota tempat tinggalku sekarang ini, aku merasa aku ingin berlari dibawah hujan dan menari. Menikmati air yang pasti akan membasahi sekujur tubuhku. Merasakan nikmatnya air dingin yang menyentuh kulitku. Persetan dengan pandangan dan kata orang. Biar saja mereka memandang aneh, karena ketika mereka mencibir melihatku yang hujan-hujanan seperti itu, bisa jadi sebenarnya mereka kepengen, tapi tidak berani. Sayangnya, bayangan mengasyikan itu hanya ada di benakku.

Aku, yang selama ini ceria, super sibuk, terlihat menikmati hidup, seolah-olah tak pernah mengalami kebosanan akut, saat ini malas melakukan segala sesuatu. Malas ke kantor karena ada kemungkinan bertemu Mr. R. Malas mengajar anak didik karena tubuh ini maunya nggeletak diatas ranjang begitu pulang dari kantor. Malas ke gereja meskipun ada kegiatan dengan alasan yang sama. Malas ketemu teman-teman yang biasanya bikin suasana hati jadi enak dan tak pernah kesepian. Jenuh. Nggak tahu musti ngapain. Nggak tahu juga musti cerita ke siapa. Tidak kuceritakan secara rinci kemalasanku ini pada San karena kebetulan ia sedang menjalani minggu yang berat. Dan aku tak mau ia terganggu untuk sesuatu yang rewel yang disebut aku. Kalau sudah seperti ini, aku jadi seperti seonggok tubuh yang meskipun memiliki tulang dan daging yang lengkap tapi tak berguna. Hanya bisa tidur, makan dan main. Cewek yang kayak gini nih yang bakalan married tahun depan?

Mungkin aku perlu berlibur. Menjauh sejenak dari kerumunan manusia, bercinta dengan kesunyian dan sekedar menghindar dari pemakaian topeng yang berlebihan.

Tuesday, 18 October 2005
08:44 pm

Monday, October 17, 2005

mencintaiku

Ditegur or dikritik orang itu menyakitkan. Bertengkar dengan temen or sahabat itu menyakitkan. Punya masalah dengan orang-orang sekitar itu menyakitkan. Digosipin itu menyakitkan. Ditertawakan itu menyakitkan. Diremehkan itu menyakitkan. Dianggap nggak becus itu menyakitkan.

Kalau dipikir-pikir, kok bisa aku masih hidup sampai saat ini kalau aku pernah mengalami semua yang aku sebutin diatas. Itu belum semuanya lho. Kalau kubeberkan satu persatu, mungkin bisa habis halaman ini bercerita tentang semua penyakit yang pernah kuderita. Memangnya menyenangkan untuk dibaca?

Entah mengapa, setelah aku ditegur (atau dikritik, whatever) dengan tidak menyenangkan (yah… emang ada manusia yang senang ditegur??), sekuat tenaga aku berusaha introspeksi diri. Bertanya kesana kemari apakah aku memang benar-benar seperti apa yang sudah dikatakan orang itu. Setengah mati aku memeriksa diri apakah aku ini memang separah itu. Hasilnya? Entahlah. Tidak seburuk yang kubayangkan, dan tidak seburuk yang ia beberkan. Maksudku, setelah pidatonya yang panjang dan menyakitkan itu, aku berusaha berpikir positif. Dulunya mungkin ia pernah menjadi seseorang yang kukagumi. Seseorang yang mungkin secara tak sengaja kuanggap sebagai manusia yang sempurna dan yang patut diteladani. Kini barulah aku mengerti, kejadian waktu itu menyadarkan aku bahwa tak ada manusia yang terlalu sempurna untuk diteladani. Sekali kau mengagumi seorang manusia, ketika kau sadar bahwa ia sama tak sempurnanya denganmu, kau bisa mencopot kacamata kuda yang sedang kau pakai itu. Dan lihatlah sekelilingmu. Kemudian kau akan mendongakkan kepalamu keatas (sama sepertiku) dan berkata, “Memang tak pernah ada yang seperti Kau, Dad!” Jangan pernah meneladani manusia secara keseluruhan. Jangan pernah menganggap seseorang terlalu sempurna menjadi seorang manusia. Minggu lalu mungkin memang giliranku ditegur oleh Tuhan bahwa aku tidak patut mengaguminya sedemikian rupa. Saat ini aku bisa melihat orang itu dengan lebih baik. Sebagai manusia yang punya kelebihan juga kekurangan.

Datang ke kebaktian hari ini, mendengarkan khotbah pendeta yang bertugas yang entah bagaimana bisa-bisanya ia mengatakan sesuatu tentang teguran yang menyakitkan. Seolah-olah menohok hatiku, menelanjangi jiwaku. Tapi kemudian, kudapatkan satu hal yang bisa membuat aku tersenyum kembali meskipun dengungan-dengungan berisik yang biasa mengganggu setelah sesuatu tak mengenakkan terjadi masih berkeliaran di sekelilingku. Bahwa ketika kau mengalami banyak hal yang mungkin menyakitkan, sesuatu yang tak mengenakkan, berkali-kali musti merasa sakit hati karena ditegur dan dikritik orang, Tuhan tak henti-hentinya membentuk dirimu. Bayangkan! Tuhan tak pernah berhenti menyempurnakan aku. Membuat aku jadi lebih baik. Dan kurasakan, betapa beruntungnya aku begitu banyak ditegur dan dikritik oleh orang-orang disekitarku. Betapa beruntungnya aku sering dengan tiba-tiba mendapat masalah meskipun tidak mencari-carinya dan dibiarkanNya aku menghadapi masalah itu sambil mengirim para malaikatNya menemaniku. Aku jadi merasa betapa sayang Tuhan padaku. Tuhan ingin membuatku jadi lebih baik.

Orang yang menegurku itu… yah well…, aku tidak tahu apakah dia juga sering ditegur dan dikritik. Aku mungkin tak terlalu mengenalnya. Aku hanya melihat ia sebagai sosok yang mungkin tidak pernah terlalu susah untuk apapun. Maksudku, terkadang aku iri betapa mudahnya ia mendapatkan sesuatu yang aku juga inginkan sementara aku harus berjuang keras untuk itu. Terkadang mulut ini maunya protes saja kenapa hidup ini begitu tidak adil. Tapi hari ini aku belajar sesuatu. Justru ketika aku mendapatkan sesuatu dengan susah payah, aku belajar menghargai apa yang aku miliki. Aku tahu Tuhan sedang membentukku. Aku tahu Tuhan sedang menyempurnakan aku.

U know what? He loves me so much…! (Sing it!) Mencintaiku... sepenuh hati-Nya... selamanya... :D

Sunday, 16 October 2005
09:52 pm

Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.
taken from Mazmur 13:24

Saturday, October 15, 2005

attempting to transform...

Siapakah saja diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?
- Matius 6:27 –

Khawatir. Khawatir. Khawatir. Well, aku nggak ngerti kenapa beberapa akhir belakangan ini aku selalu ditegur tentang kekhawatiran. Sampai aku bertanya pada Yang Di Atas, Tuhan apa aku ini selalu khawatir. Bikin orang khawatir iya, tapi khawatir? Mungkin salah satu motto hidupku adalah: kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Jadi, sementara orang-orang disekelilingku sudah mulai khawatir besok bakal ngapain, besok jadinya gimana, minggu depan musti makan apa, dsb, dsb, aku masih memikirkan tentang hari ini.
I’m not a good planner however. Yeah, that’s true, in fact I’m not a planner. And people around me have been frustrated of me about that matter.

Jujur saja, ketika aku menoleh ke belakang, hampir setahun yang lalu, saat kami berdua, aku dan San merencanakan untuk menikah, aku sama sekali tak yakin apakah kami bisa punya uang sebanyak itu untuk sebuah pesta pernikahan. Sebenarnya aku sama sekali tidak terlalu suka pesta. Aku hanya ingin pesta kecil sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan sahabat-sahabat. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Apalagi aku bermimpi membuat pesta yang unik, yang berbeda dari biasanya. Butuh konsep yang matang, butuh uang yang tidak sedikit (kalau tidak bisa dikatakan banyak), butuh rencana!! Aku tahu aku sudah khawatir, padahal sejelas aku melihat tanganku, sejelas itulah Tuhan pelihara aku sampai aku bisa jadi seperti sekarang ini. Dan mengapa aku harus khawatir?

Wahai saudara-saudara dan teman-temanku yang terkasih, jessie memang terbiasa dianggap anak kecil, adek kecil, bukan seorang yang dewasa, yang selalu merepotkan. Maafkan daku. Kadang-kadang aku menikmati saat-saat aku dianggap anak kecil, adek kecil dan bukan orang dewasa, tapi ketahuilah, aku menyadari waktuku untuk menikmati itu sudah hampir habis. Aku sendiri berusaha setengah mati supaya bisa dianggap dewasa. Aku berusaha setengah mati supaya tidak sakit hati dan berpikir negatif ketika seseorang mengatakan padaku bahwa aku dan San memiliki kesamaan yaitu kami berdua adalah orang-orang yang spontan dan tidak punya rencana kedepan seperti apa. Bahwa tidak terlihat dari kami berdua siapa menuntun siapa. Membuatku berpikir beratus-ratus kali apakah itu sinonim dari kalimat bahwa kami ini pasangan yang tak punya masa depan?

Apa hubungannya dengan kekhawatiran yang kusebutkan diatas? Tentu saja ada! Justru tatkala aku berpikir positif bahwa Tuhan pelihara dan aku tak perlu khawatir, orang-orang disekitarku-lah yang mengkhawatirkan aku. Tidak jelas apakah itu karena kepedulian mereka terhadap aku dan San, atau karena mereka sudah frustasi terhadap aku atau kami berdua. Yeah, saat ini aku sedang belajar menjadi perencana yang baik. Pada kenyataannya, menjadi dewasa tidak semudah yang dikira. Butuh transformasi total seperti ulat menjadi kupu-kupu atau kecebong mungil menjadi kodok bermata besar.

Jessie yang pelupa, jessie yang moody, jessie yang cerewet, jessie yang manja, jessie yang sudah membuat khawatir orang sekampung apakah dia punya masa depan atau tidak akan bermetamorfosis menjadi wanita dewasa??? Tidakkkk…!!!! Itu yang bikin khawatir!!! Itu yang bikin orang ragu, apakah dia berhasil atau tidak melalui metamorfosis itu. Akan sangat menyakitkan, kau tahu itu? Dan jessie harus siap-siap menerima tomat busuk dari penonton.

Aku hanya ingin berpikir sederhana. Aku tidak menyangkal kalau aku pernah khawatir akan masa depanku, tapi aku tahu aku bisa. Aku tahu aku bisa bermetamorfosis. Dan kalau aku tidak khawatir, mengapa kau harus?


Saturday, 15 October 2005
04:30 pm

dedicated to… Sister EIO, IIA and Brother S, SAA

Thursday, October 13, 2005

dan topeng itu retaklah

Sudah lama sekali tidak menulis sesuatu. Sekalinya aku harus menulis, ternyata aku harus menulis di saat topengku retak.

Banyak hal terjadi. Dan meskipun kadang-kadang membuat sakit hati ini, aku merasa aku harus berakting menjadi seseorang yang seolah-olah tak pernah punya masalah. Aku tak tahu. Bolehlah kali ini kau anggap aku munafik. Karena sekali aku diam, sekali aku merasa aku punya masalah dan kuperlihatkan pada orang lain, aku dianggap orang yang sangat moody dan selalu bermasalah. Thanks.

Aku tak menyangka dosaku sebesar itu. Dulu seseorang yang pernah kupercaya mengatakan aku orang yang suka omong, pamer, dan bangga akan diri sendiri. Oke. Mungkin ada benarnya. Dan aku juga tidak suka itu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menekan perasaan itu. Menahan lidah yang kadang-kadang mau seenaknya sendiri bergerak. Mengunci rapat-rapat mulut yang siap membuka untuk membanggakan diri sendiri. Itu semua jadi tersimpan rapi. Aku merasa, aku cukup berhasil menekannya.

Sekarang masalahnya lain lagi. Jessie memang orang bermasalah. Selalu saja ia dikelilingi masalah. Seolah-olah tak pernah dibiarkannya tenang dan nyaman barang sejenak. Aku benci. Aku benci diriku sendiri. Barusan ada yang bilang aku terlalu mengagung-agungkan keempat temperamen yang terkenal itu. Yang mana saat aku memutuskan untuk berhenti mengkotak-kotakkan diriku dan orang lain ke dalam empat temperamen itu, aku justru terjerumus di dalamnya. Dan mengapa aku yang harus merasa dibenci? Mengapa bukan orang-orang di sekitarku yang selalu mendengung-dengungkan itu di telingaku dan menyeretku untuk turut memakai empat temperamen tersebut dalam segala situasi yang dibenci? Aku tak menyangka dosaku sebesar itu. Kemana aku harus meminta ampun? Aku yang ternyata menurut sebagian orang tidak mempunyai sisi baik. Orang yang membingungkan. Orang yang tak punya pendirian. Orang yang tidak tahu harus kemana. Orang yang tidak mempunyai planning dalam hidupnya. Well, orang yang nggak punya sisi baik sama sekali. Oh, bisa kubayangkan bagaimana masa depanku. Jessie, manusia yang tak punya masa depan.

Oke! Aku jujur. Aku sakit hati. Dan aku benci. Sungguh. Ijinkanlah aku kali ini, Tuhan. Kali ini saja. Untuk tidak berpura-pura bahwa aku tak ada masalah. Untuk benci pada orang lain - orang lain yang mungkin kuanggap sebagai kakakku sendiri, yang kujadikan contoh dalam beberapa hal, yang terlalu sempurna untuk dicacat. Untuk benci pada diri sendiri karena cuma bisa ngomong dan menulis tapi sulit memerintah otak ini untuk melakukan yang diomongkan dan dituliskan.

Aku benar-benar merasa sendiri. Sakit. Dan tempatku hanya di pojok, menutupi luka dengan tangis. Tak seorangpun tahu. Tidak mereka. Tidak dia. Apalagi kau.


Wednesday, 12 October 2005
11:18 pm

… tak adakah orang disana? Ayo…! Mumpung aku masih memperlihatkan wajah asliku – sesuatu yang jarang terjadi.

Wednesday, October 05, 2005

aku, orang tuaku, dan charlie

Dua hari yang lalu aku nonton Charlie and the Chocolate Factory. Alasan aku menonton… yah… karena aku ingin nonton. Dan sepupuku, Aris dan istrinya bilang ini film bagus. Jadilah kemarin aku berdua dengan temanku menonton film itu. Film itu… bagus! Aku tidak menemukan kata lain selain itu. Maksudku, so much lessons can be taken from that film. Dan ini merupakan must-see movie buat orang tua dan anak-anak. Film ini bisa jadi a different way to learn parenting. Cara yang unik untuk belajar bagaimana menjadi orang tua. Karena orang tua yang baik akan melahirkan anak-anak yang baik pula.

Ijinkanlah aku mengatakan sesuatu. Ada satu hal yang mengganjalku setelah melihat film itu. Temanku tidak menyadarinya. Tapi sesuatu yang mengganjal itu terus berputar dan berputar di benakku. Agak menggangguku. Dan sekarang aku tahu apa itu. Sepenggal cerita dari masa laluku. Tapi, yakinlah cerita ini hanyalah bagian dari masa laluku, dan menjadi salah satu sendi yang membentukku sampai menjadi seperti sekarang ini.

Aku lahir di tengah keluarga yang bahagia. Ayah ibuku mencintaiku. Karena aku anak pertama, terlihat sekali bahwa aku mendatangkan sukacita tersendiri buat mereka. Masa kecilku kulalui dengan indah. Semua orang bilang aku ini lucu, menggemaskan dan sedikit nakal. Adikku lahir empat tahun kemudian. Laki-laki. Lebih pendiam daripada aku, dan semua bilang aku lebih jahil, usil, nakal daripada adikku itu. Masuk sekolah dasar membuatku sadar bahwa dunia ini lebih daripada sekedar aku, adikku, orang tuaku dan sepupu-sepupuku. Ada manusia-manusia mungil lainnya yang disebut teman-teman. Ketika itulah aku baru menyadarinya, ayah ibuku memberikan cinta mereka tapi dari mulut mereka, tak pernah keluar kata pujian yang sering aku dengar dari ayah ibu teman-temanku. Kadang-kadang aku mendengar seorang ibu berkata pada anaknya, “Kamu sudah cantik.” Tak pernah sekalipun ibuku bilang aku cantik. Pernah kutanya pada ibuku itu, apakah aku cantik. Ia tidak menjawab. Hanya menyahut, “Yah… yang jelas tidak jelek.” Sampai setengah mati aku berpikir, apa itu sinonim dari kata tidak cantik? Seburuk itukah aku? Pernah juga sekali dua, aku memuji diri sendiri. Ingin melihat bagaimana reaksi ibuku. Seperti yang kuduga, ia menegurku keras. Katanya, tak baik memuji diri sendiri. Rupanya prinsip kekristenan yang ia anut dari alkitab bahwa orang yang direndahkan akan ditinggikan sangat dipegang teguh. Bahwa ia berpendapat kita tak boleh sombong. Dan jadilah, semasa aku remaja, aku tak pernah menganggap diriku istimewa. Aku hanyalah cewek biasa. Yang tidak menarik, baik secara fisik maupun karakter. Tak pernah aku belajar bagaimana menjadi cantik luar dan dalam dari orang tuaku. Ayahku sangat bangga denganku, anak perempuan satu-satunya, yang kulitnya putih ketika lahir hingga sekarang padahal kulit ayahnya coklat gosong meskipun cina. Tapi, ayahku juga tak pernah memujiku. Tanyalah pada guru-guru SMP-ku, tak banyak yang mengenal aku. Saat itu aku merasa seperti kerikil di jalan, yang tak bisa dibedakan satu dengan yang lainnya, yang tak ada istimewanya dan tak dihiraukan. Mereka mengenalku karena kebetulan aku keponakan guru matematika di sekolahku itu. Jarang ada yang mengenalku dengan namaku. Mereka mengenalku dengan keponakannya ibu A, guru matematika itu. Menginjak bangku SMA, tidak lantas membuat aku lebih percaya diri. Aku tetap menganggap diriku ini cewek biasa. Yang mana tidak akan bisa membuat kaum Adam naksir pada pandangan pertama dan kemudian melakukan pedekate. Maklumlah, masa-masa SMA adalah masa-masa para gadis bersaing memperebutkan hati lawan jenis mereka. Aku mulai percaya diri ketika kelas dua ada dua orang cowok yang mengatakan suka padaku. Satunya kutolak mentah-mentah, satunya lagi sempat kuterima tapi kemudian kutolak juga. Saat itu aku sadar, aku ternyata punya daya tarik. Setitik kepercayaan diri mulai tumbuh. Suatu sore aku menonton televisi dan mengomentari seorang artis. Kubilang, bagaimana mungkin dia jadi artis, wajahnya jeleknya minta ampun. Eh, ibuku membentak dan berkata, memangnya kamu cantik sampai kamu harus menjelek-jelekkan dia, jangan sombong. Aku terdiam. Seperti kembali disadarkan bahwa aku ini hanyalah gadis biasa yang tidak menarik. Pedih sekali hati ini. Aku membawa pemahaman bahwa aku gadis biasa yang tidak menarik sampai aku keluar dari rumah dan kampung halamanku untuk kuliah di Surabaya. Bertahun-tahun, aku berusaha menyingkirkan konsep yang sudah telanjur ngendon tertanam dalam diriku bahwa aku ini ordinary dan tidak spesial. Bahkan ketika akhirnya aku punya pacar pun, aku harus menerima dengan pasrah untuk dibandingkan dengan mantan kekasihnya yang pertama, yang lebih cantik, lebih tinggi, lebih putih, lebih cewek. Semakin sakit hati ini. Tapi di Surabaya ini aku mulai belajar sesuatu. Bahwa ternyata aku bukan gadis biasa. Aku gadis yang diberi oleh Yang Di Atas banyak talenta untuk dikembangkan. Disinilah aku tahu, bahwa aku bisa menulis sesuatu yang layak untuk dibaca, aku bisa mendisain acara-acara yang unik, aku bisa memimpin suatu organisasi, aku bisa berakting menjadi orang lain. Dan bertemulah aku dengan seseorang yang kupikir dikirim oleh Tuhan untuk memberiku rahasia kecantikan yang berasal dari hati dan bukan dari apa yang tampak di luar. Bahwa ketika kau bahagia, kau berpikir kau cantik dan menarik, kau percaya diri, kau tahu Tuhan mengasihimu dan selalu menganggapmu seorang yang spesial, kecantikan itu akan terpancar dengan sendirinya dari wajahmu. Saat ini, kalau kau bertemu denganku, kau takkan melihat an ordinary girl tapi kau akan melihat an extraordinary girl. Aku… yang tak pernah mendapat pujian dari orang tuaku.

Huff… aku tak mengerti mengapa aku harus menggali sedalam ini masa laluku setelah menonton film Charlie and the Chocolate Factory itu. Betapa orang tua berperan penting dalam kehidupan si anak. Orang tua yang mengajarkan anaknya makan apapun yang ia inginkan tanpa kompensasi apapun akan membuat si anak rakus. Orang tua yang mengajarkan tentang ambisi, kewajiban untuk menang dan jadi juara, membuat si anak jadi ambisius, egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Orang tua yang selalu mengabulkan keinginan anaknya, akan membuat anaknya manja, kurang ajar dan tak pernah puas dengan apa yang sudah ia miliki. Orang tua yang membiarkan anaknya duduk di depan televisi, hanya bermain dengan mesin-mesin yang memisahkannya dengan teman-temannya akan membuat si anak meremehkan anak-anak lain karena ia berpikir intelejensinya lebih tinggi daripada siapapun di dunia ini. Orang tua yang tak pernah memuji anaknya, akan membuat anaknya tak percaya diri dan menganggap semua orang jauh lebih baik daripada dirinya (sebuah kalimat lain untuk satu frase: rendah diri).

Aku tidak membenci orang tuaku. Aku mencintai mereka seperti mereka mencintai aku. Mereka sudah berbuat banyak untukku. Hanya, aku berpikir, sudah waktunya aku mulai belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Supaya aku tidak akan melahirkan generasi-generasi yang egois, serakah, tak pernah puas, tak percaya diri, manja, apatis, tak memikirkan orang lain selain dirinya. Tidak. Karena kepada generasi-generasi berikutlah, kita akan titipkan bumi ini.

Wednesday, 5 October 2005
12:15 am

… dedicated to all parents in the world, especially my parents, I always love you.

Monday, October 03, 2005

emotionless creature

Tepuk tangan untuk makhluk-makhluk yang sudah kembali mengingatkan kembali Indonesia pada kejadian tragis di tahun 2002 yang lalu. Wahai para peledak bom yang budiman, kuucapkan selamat pada kalian semua karena sudah berhasil menyelamatkan pemerintah yang kemarin baru saja mengubah (kubilang, mengubah dan bukan menaikkan) harga BBM dari caci maki dan kutukan rakyat, karena sekarang kalianlah yang justru sedang dicaci, dimaki dan dikutuk. Terima kasih atas pengorbanan kalian buat pemerintah negeri ini.

Berkali-kali aku berpikir, berkali-kali aku mengelus dada, berkali-kali aku merasa seperti orang terbodoh di seluruh dunia karena tidak pernah paham dengan apa yang ada di isi otak makhluk-makhluk yang (lagi-lagi) menggemparkan dunia dengan peledak-peledak itu. Kenapa kubilang mereka makhluk dan bukan manusia? Karena menurutku, manusia punya emosi, punya hati, punya perasaan, dan juga nurani. Sementara makhluk belum tentu punya emosi, belum tentu punya hati, belum tentu punya perasaan, apalagi nurani. Bisakah kau bayangkan seseorang yang punya hati nurani melakukan perbuatan bangsat macam itu?

Aku jadi ingat film War of the World yang dibintangi Tom Cruise. Menurut sepupuku, Justin, film ini hanyalah another stupid movie. Aku menontonnya bersama San. Film-nya sendiri biasa saja, maksudku, jauh lebih keren The Lord of the Ring: trilogy dan Independence Day. Kami berdua, aku dan San kemudian membahas tentang film itu sehabis menontonnya. Di film itu diceritakan bahwa ketika manusia dalam keadaan terlemah dan tidak siap, ada makhluk-makhluk di luar sana yang sedang bersiap-siap menyerang bumi. Makhluk-makhluk tanpa emosi. Ketika makhluk-makhluk itu menyerang bumi, bisa dipastikan dan ditebak, manusia-manusia itu tak dapat berbuat apa-apa. Makhluk-makhluk tanpa emosi itu membantai manusia-manusia semudah manusia membantai semut. Darah manusia jadi sumber energi para makhluk itu. Sementara manusia tak bisa berbuat apa-apa selain lari dan bersembunyi, para makhluk itu terus mencari manusia-manusia itu untuk disedot darahnya supaya mereka tambah kuat. Tragisnya, yang membuat makhluk-makhluk itu mati, bukan perlawanan manusia. Steven Spielberg dengan jelas menggambarkan bahwa manusia sebenarnya makhluk lemah yang bergantung pada siklus alam semesta. Makhluk-makhluk itu mati karena darah yang mereka sedot itu menjadi racun atas tubuh mereka. Darah manusia tak lagi segar kalau diambil dalam keadaan mati. Dan itulah yang merobohkan mereka. Bahwa manusia sebenarnya hanyalah sosok-sosok yang atas kemurahan Yang Di Atas bisa hidup di bumi. San mengatakan satu hal yang membuat aku berpikir, yah… dalam film ini, Steven Spielberg seperti hendak menunjukkan realitas dunia. Perang itu dimulai oleh makhluk-makhluk yang tak beremosi. Dan kalau saat ini, di dunia nyata, terjadi peperangan, maka manusia-manusia yang memulainya itu tak bisa lagi dikatakan sebagai manusia. Mereka lebih cocok dibilang sebagai makhluk-makhluk tak beremosi itu tadi.

Kupikir, para peledak-peledak dan teroris itu tepat menyandang gelar emotionless creature. Jadi kalau misalnya namanya Bara (hanya nama karangan), di ijazahnya akan tertulis seperti ini:

This certificate is rewarded to:
Bara, EC
for his participation in bombing the Kuta square, Bali on October 1, 2005

Kemana lagi aku harus berseru? Kemana lagi aku bertanya: mau dibawa kemana bangsa ini? Kemana lagi harus kusalurkan cinta di hati ini?

Sunday, 2 October 2005
10:15 pm

Ada tanah untuk yang hidup. Ada tanah untuk yang mati. Dan cinta (seharusnya - jc) adalah jembatannya.
­- Thornton Wilder -

Saturday, October 01, 2005

pekalonganku tercinta

Ada satu hal yang selalu kurasakan tiap kali pulang ke Pekalongan. Perubahan. Yah…, aku tahu hidup selalu berubah. Things change a lot. Tapi kupikir aku tetap merasakan diriku masih menjadi bagian di kota ini. Banyak hal yang berubah disini. Yang memaksa diriku untuk beradaptasi dengan cepat, karena diberinya aku waktu hanya empat hari untuk beradaptasi.

Kepulanganku kali ini benar-benar membuatku seperti orang asing di negeri sendiri. Aneh kedengarannya, tapi itulah yang kurasakan. Ada beberapa jalan yang ketika aku masih tinggal di Pekalongan boleh dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat, tapi sekarang hanya roda dua yang boleh lewat, dan roda empat tersingkirkan. Di beberapa traffic light, ketika aku berkendara motor aku sempat bingung apa aku boleh tetap menjalankan motorku untuk belok kiri. Tak ada tanda sama sekali. Akhirnya aku hanya menunggu kalau ada kendaraan motor lainnya langsung belok kiri meskipun lampu merah menyala, barulah aku mengikutinya. Tragis. Seperti tersesat di hutan saja layaknya. Pasar kumuh yang ada di dekat rumahku sekarang berubah menjadi bangunan tiga lantai bernamakan mall Pekalongan. SD tempat aku belajar dulu, sudah di-upgrading jadi bangunan yang lebih tinggi, lebih mewah, dan lebih dingin karena ber-AC. Entah berapa banyak uang gedung yang harus disumbangkan orang tua murid untuk bangunan baru seperti itu. Tak kalah dengan sekolah dasar-ku itu, rumah sakit yang terletak di sebelahnya pun ikutan di-upgrading. Diperluas dan dipertinggi. Seolah mengharap semakin banyak orang-orang sakit di kota ini, berdatangan dan memeriksa diri disitu. SMA temanku juga memperbarui gedungnya. Pagarnya dipertinggi seolah-olah dipasang sebagai perisai, takut-takut terjadi kerusuhan seperti dulu. Pekalongan anti cina. Itu dulu. Dan sampai sekarang aku masih berdoa semoga sekarang semuanya hidup rukun dan damai. Apapun ras-nya. Kalau dulu, masa-masa aku anak-anak dan remaja hanya ada dua mall kecil di kotaku ini. Sekarang ada empat. Rumah-rumah makan yang menyediakan makanan ala barat dan asia macam fried chicken, steak dan mie hotplate mulai menggeser warung-warung tradisional yang ada. Bahkan ketika aku datang berkunjung ke gerejaku pun, ada banyak wajah-wajah yang tak kukenal berseliweran. Aku, yang dulu seorang aktifis di gereja itu, bahkan tak banyak tahu perkembangan apa yang sudah terjadi di gerejaku. Selain bangunannya yang sudah direnovasi, maksudku. Gereja tempatku melayani dulu gereja berstruktur bangunan kuno khas belanda dengan lima tiang besar sebagai penyangganya. Banyak tembok-tembok yang sudah bocel. Bangkunya pun bangku lawas ditempatkan ruangan kuno dengan langit-langit yang tinggi yang membuat kami, para anggota paduan suara harus bernyanyi keras-keras karena kejelekan akustiknya. Dan sekarang gerejaku itu menjadi salah satu bangunan termewah di Pekalongan. Tiang-tiang besar itu tetap menyangga, tapi tembok-temboknya tak lagi bocel dan para anggota paduan suara telah kehilangan power untuk bersuara keras yang wajib dimiliki saat gereja belum direnovasi karena gedung yang baru didisain dengan akustik yang bagus. Sudah ada fasilitas AC di ruang kebaktian utama dan satu set LCD beserta komputernya. Kalau dulu, anak-anak remaja kadang-kadang berebut ruangan dengan orang-orang dewasa, sekarang tidak lagi, karena ada banyak ruangan disediakan disana. Tiga lantai. Kurang apa coba? Papi bangga sekali karenanya. Katanya pernah suatu kali sepasang pengantin sengaja mampir kesitu untuk berfoto.

Kadang-kadang aku berharap akan tetap menemukan kota dan atmosfir yang sama tiap kali aku pulang. Karena itulah, ada beberapa hal yang wajib kulakukan kalau aku pulang ke kampung halamanku itu. Yang pertama adalah makan soto tauco khas Pekalongan, yang mana takkan kutemukan makanan segurih itu di Surabaya dan di kota besar lainnya. Orang-orang Surabaya selalu merasa aneh kalau aku bilang aku kangen soto tauco-nya Pekalongan. Soto kok pakai tauco, begitu kata mereka sambil mengerutkan kening dan mencibir. Tapi aku selalu menyempatkan diri untuk makan di warung soto dekat terminal dan menikmati suap demi suap semangkuk kuah panas berwarna coklat kemerahan itu. Yang kedua adalah makan bakso dekat sekolahku dulu. Kalau yang ini, malah orang-orang Pekalongan yang bertanya-tanya padaku apa Surabaya tidak ada yang jualan bakso. Kubilang, banyak yang berjualan bakso di Surabaya tapi tak ada yang rasanya seperti ini. Yang ketiga adalah makan sambal cucut-nya pembantu rumah! Meski pembantu rumah sering datang dan pergi (berganti-ganti, maksudku), tetap saja buatan mereka memberikan rasa sedap bagi lidahku yang memang pecinta berat sambal. Yang keempat adalah makan nasi megono* yang dijual dekat rumahku di gang pesing. Dibilang gang pesing karena kadang-kadang ada orang-orang tak tahu aturan doyan kencing disitu. Dan jadilah bau yang mereka tinggalkan semerbak di ujung gang tersebut. Aku suka makan nasi megono yang jual disitu bukan karena aku sentimen atau sedang melakukan diskriminasi atau semerbaknya bau ujung gang tersebut. Tapi sungguh mati, tak ada nasi megono seenak yang dijual dekat rumahku itu. Dan kenapa semuanya makanan? Aku tak tahu. Kadangkala teman-temanku titip kain batik atau daster Pekalongan. Selain harganya jauh lebih murah daripada yang dijual di kota besar, mereka juga percaya bahwa batik yang asli diambil dari sumbernya jauh lebih baik daripada yang mereka temui di Surabaya. Tapi entah kenapa, delapan belas tahun aku hidup di Pekalongan, tak pernah bisa aku membedakan kain batik yang bagus dan yang biasa saja. Jadi tiap kali aku dititipi oleh teman-temanku batik Pekalongan, aku selalu mengajak mami dan emak untuk menemaniku. Jadilah aku tetap bodoh, tak bisa tahu kain batik mana yang berkualitas bagus.

Itulah. Buatku, sesuatu yang khas, yang lama, yang meskipun dicap kuno dan tradisional, adalah sesuatu yang harus dilestarikan. Bukannya digeser secara perlahan dan akhirnya diusir jauh-jauh karena dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman. Aku tak pernah setuju dengan pendapat ‘sudah waktunya ekologi berubah menjadi teknologi’. Sori saja. Teknologi bisa membantu, tapi tanpa ekologi, aku tak pernah bisa bayangkan apa jadinya bumi kita yang sebagian besar sudah ditutupi bangunan-bangunan tinggi ini. Dan kukatakan sekali lagi padamu, jangan pernah bergantung dengan teknologi, karena sekali kau bergantung dan kecanduan, akibatnya bisa fatal untuk dirimu sendiri. Yah… berilah contoh saat ini. Sekarang kau dan aku sama-sama bergantung dengan mesin, dengan motor, dengan kendaraan bermotor roda dua, roda empat atau lebih. Dan kendaraan-kendaraan yang kau dan aku pakai itu memerlukan bensin, solar dan bahan bakar minyak lainnya. Marilah sekarang kita berdoa keras-keras karena ketar-ketir menanti hari esok dimana harga BBM akan naik. Ini baru BBM. Belum listrik, air dan lain-lainnya. Aku sendiri sangat bergantung pada komputer dan microsoft word, apalagi di saat-saat ide mengalir dengan derasnya untuk menulis. Menulis dengan tangan bisa putus jariku. Jadilah aku hanya bisa marah-marah kalau komputerku sudah kemasukan virus atau nge-hang­.

Sekarang aku hanya bisa menanti. Menanti perubahan apa lagi yang akan terjadi kelak kalau aku kembali ke Pekalongan lagi waktu berikutnya. Hanya sedikit berharap, tak banyak perubahan yang kutemui. Agar aku tak lagi merasa sebagai orang asing, agar aku tak lagi merasa tersesat di hutan amazon.


Friday, 30 September 2005
10:40 pm

… setelah berkeliling-keliling, menghirup udara perubahan dan memperpanjang perjalanan dua kali lipat jauhnya gara-gara tak yakin dengan peraturan rambu-rambu yang tak jelas

Friday, September 30, 2005

hadiah, pacar dan san

Adik angkatku pernah bertanya padaku apa arti pacar. Agaknya dia ingin punya pacar tapi saat ini belum diijinkan punya. Tepatnya ia bertanya pada orang-orang yang sudah punya pacar. Enakkah pacaran itu? Senangkah? Bahagiakah? Atau malah menderita? Waktu dan tenaga malah habis untuk pacar? Semua orang berpikir jauh lebih enak punya kekasih daripada menyandang status single. Dan inilah yang ingin kuutarakan. Aku yang sudah punya pacar selama tiga tahun empat bulan.

Kalau temanku menjawab pacar itu adalah pelengkap baginya, maka bagiku, pacar adalah hadiah. Dan hadiah akan menjadi lebih indah dan berguna jika diberikan pada saat yang tepat. Katakanlah, aku ingin memberimu hadiah mobil – sedan mahal nan mengkilap. Senangkah kau? Tentu kau senang. Tapi seandainya aku memberikan hadiah mobil itu ketika kau belum bisa mengendarai mobil dan belum memiliki ijin menyetir, apakah mobil itu jadi berguna? Paling-paling kau akan menjualnya, menukarkannya dengan uang dan membeli sesuatu yang lain yang lebih tepat untuk dirimu sendiri. Dan kemudian buat apa aku memberikan mobil itu untukmu? Hadiah akan jadi istimewa kalau isinya tidak hanya cantik tapi juga berguna buat yang diberi. Lebih istimewa lagi jika diberikan di saat yang tepat.

Teman-teman di sekitarku sering melontarkan canda tentang kejombloan mereka. Dan kadang-kadang dibalik canda mereka, tersirat harapan. Harapan untuk keluar dari status jomblo. Ada pula temanku yang terang-terangan memproklamasikan bahwa punya pacar dan akhirnya menikah itu suatu keharusan. Selama mereka sendiri belum siap untuk punya pacar, kupikir lebih tepat kubilang hadiah itulah yang sedang menanti mereka siap menerimanya. Ada kalanya, mulut ini maunya bilang siap, tapi pada kenyataannya tidak. Dan kalau kau memang sudah siap tapi masih saja berstatus jomblo, mungkin pasanganmu yang belum siap, sehingga kalian belum dipertemukan. Pertanyaannya sederhana, para high quality jomblos, sudah siapkah kau?

Buatku, San adalah hadiah. Yang dikirim dari Surga karena Tuhan ingin membuatku lebih sempurna lagi. Dan yakinlah, hadiah itu takkan kusia-siakan.


Thursday, 29 September 2005
10:24 pm


The following is specially pasted for San, the gift I have received… enjoy it… whoever you are.

I love you not only for what you are but for what I am when I am with you. I love you not only for what you have made yourself but for what you are making of me. I love you for the part of me that you will bring out. I love you for passing me over my foolish and weak traits that you can’t help but see. I love you for drawing out into the light my beauty that no one else had loved quite for enough to find.

menunggu

Selama perjalanan dari Semarang, kota tempat kereta apiku berhenti, aku melihat beberapa kali antrian. Dan kebanyakan di SPBU-SPBU yang ada. Aku jadi ingat cerita temanku. Dia bilang, dia jadi sering ketemu antrian sejak berita naiknya harga BBM diluncurkan. Tapi, berbeda dengannya, aku justru senang melihat antrian-antrian itu. Kadang-kadang, kalau aku memang sedang tak terburu-buru, aku menikmati mengantri. Hoho, jangan katakan aku sudah gila. Ketika aku mengantri itu, aku berpikir, seperti inilah kehidupan. Hidup ini sering membiarkan kita menunggu. Sadar atau tidak, kita selalu menunggu.

Tiap malam aku menanti pagi. Tiap pagi aku menanti matahari terbit. Kala musim kemarau aku menunggu hujan, dan saat air mengguyur kota tanpa henti aku menunggu matahari. Ketika aku ada dalam kandungan, aku menunggu mami mengeluarkan aku dari janin hangatnya. Ketika kecil, aku sering berangan-angan, seandainya besar nanti, akan jadi apa aku ini. Si kecil nakal papi mamiku. Aku menanti menjadi dewasa. Ketika aku remaja, aku menunggu kapan aku bisa keluar dari kota kecil tercintaku, Pekalongan, untuk kuliah dan belajar hidup mandiri. Ketika aku kuliah, dan aku masih saja belum mendapatkan pacar, sambil menatap teman-temanku yang sudah menggandeng pacar mereka masing-masing, aku bertanya pada diriku sendiri, kapan aku bisa seperti mereka. Ketika aku sudah mendapatkan pacar pun, aku menanti apa yang akan terjadi diantara kita berdua. Akan singkatkah hubungan kami berdua? Atau akan segera berakhir dan ini hanyalah kebahagiaan sesaat? Atau ia akan jadi pasangan hidupku seterusnya? Ketika kami berdua memutuskan untuk menikah, kami menanti saat-saat dimana kami hidup sebagai suami istri. Seperti apakah kita nantinya? Bagaimana dengan anak-anak? Cucu-cucu? Bagaimana kami kalau sudah tua? Bagaimana kalau sebelum sempat melihat cucu-cucu, kami sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa? Hidup selalu menanti. Menunggu.

Jadi mengerti kan, kenapa kali ini tatkala aku melihat antrian, aku justru senang? Karena aku melihat diriku sendiri disitu. Dan kalau aku memperhatikan raut wajah yang mengantri itu satu persatu, aku bisa tersenyum. Ada yang tak berekspresi. Mungkin ia berpikir nggerundel dan cemberut juga tidak akan mengubah apapun. Ada yang mengomel panjang pendek. Ada yang mencerucutkan mulutnya yang monyong. Ada yang mengerutkan kening. Ada yang menghapus peluh. Ada yang ngobrol. Mungkin sepasang kekasih. Bersyukur dengan antrian panjang itu seperti aku tapi dengan alasan yang berbeda. Buat mereka, waktu berdua bisa lebih panjang.

Aku sendiri setelah menyadari bahwa hidup ini selalu memerintahku untuk menunggu, tak pernah lagi sering menggerutu (yah, sesekali aku masih menggerutu, jessie juga manusia….). Karena menunggu sepasti udara disekitarku. Yang tidak bisa aku sangkal keberadaannya. Dan karena aku tak punya kuasa untuk menghindar dari menunggu, maka aku memutuskan tidak menyia-nyiakan waktu-waktu dimana aku harus menunggu. Bukannya aku mau sok sibuk. Aku hanya berpikir, tak banyak manusia-manusia yang diberi kesempatan meraih dan melakukan banyak hal seperti aku oleh Yang Di Atas.

Wahai para pengantri, baik pengantri BBM ataupun pengantri kedamaian di Indonesia, jangan pernah putus asa mengantri. Karena akan tiba waktu kalian mendapatkan apa yang kalian tunggu. Mari menunggu bersama denganku.


Thursday, 29 September 2005
10:02 pm

Life is waiting… for the final terminal

Thursday, September 29, 2005

tanah

Pekalongan. Empat setengah jam perjalanan dengan kereta api menuju kampung halamanku itu. Duduk disamping jendela, memandang keluar. Salah satu bagian yang paling kusukai pulang naik kereta api adalah aku bisa melihat sawah-sawah, hehijauan yang jarang bisa kulihat di kota besar macam Surabaya. Selama perjalanan itu pula aku berpikir dan menemukan sesuatu. Tanah itu luar biasa. Tanah mengandung banyak kehidupan, melahirkan banyak kehidupan dan memelihara banyak kehidupan. Di dalam tanah ada begitu banyak makhluk hidup tak bernama yang berkeriapan. Diatas tanah ada tetumbuhan, rimbunan semak, segala sesuatu yang berwarna hijau yang merupakan benih makanan untuk hewan dan manusia. Karena itulah kubilang, tanah juga memelihara banyak kehidupan. Dan, jangan pernah lupakan ini, manusia dibuat dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Entah mengapa, hari ini hidup membiarkan aku memikirkan tentang tanah. Dan kalau aku berpikir tentang tanah, mau tak mau aku juga berpikir soal petani. Sosok yang sangat berjasa (menurutku), sosok yang mampu mengolah tanah sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernama padi, yang mana padi itu akan menjadi beras, kemudian dimasak oleh orang-orang kota seperti kita-kita ini menjadi nasi yang bisa dimakan. Ketika kita makan nasi, memprihatinkan sekali, kita jarang memikirkan darimana asal mula nasi yang kita makan itu. Kita melupakan sosok-sosok pejuang bernama petani itu, peluh mereka, kerja keras mereka, kelelahan mereka. Kita, yang sudah tersedot ke dalam mesin kapitalis, dengan tertegun harus mengakui berhektar-hektar tanah yang sekiranya menjadi tempat benih padi, sayur-sayuran dan buah-buahan yang kita makan sehari-hari itu dimakan rakus oleh mesin itu. Dibangunnya real estate, perumahan, mall, yang kadang-kadang membuat aku merasa bersalah kalau aku enak-enakan berjalan-jalan di mall yang tanahnya mungkin sekali dulunya dipakai untuk menumbuhkan padi.

Baru saja aku menonton televisi. Mata yang tidak bisa diajak merem untuk tidur, membuat otakku memerintahkan tanganku untuk meraih remote control dan menyalakan televisi. Disitulah aku, menonton sebuah realita yang membuatku giris. Sengketa tanah di Lombok. Tanah-tanah yang sekiranya diolah para petani di Lombok menjadi sawah, akan dibeli sebesar dua puluh juta rupiah per hektar untuk dijadikan bandara internasional. Kalau sudah begini, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Nasi itu kebutuhan pokok masyarakat Iindonesia. Darimana kita akan dapatkan nasi kalau sisa-sisa tanah yang sudah segelintir itu masih juga diraup para pengusaha kapitalis?

Bertahun-tahun lagi, mungkin, kalau aku harus pulang ke Pekalongan lagi dengan kereta api, aku takkan lagi melihat sawah-sawah, ladang-ladang, pepohonan yang rimbun dengan beberapa rumah kecil milik penduduk di sekitarnya. Mungkin, sejauh mata memandang, kulihat bangunan-bangunan tinggi, lapangan-lapangan udara, dan para penduduk yang selalu kulihat tertawa ceria dari dalam kereta api hilang entah kemana. Hanya mungkin, tawa mereka saja yang tertinggal, menjadi tawa giris, memantul di tembok bangunan-bangunan itu.

Mungkin. Dan dari hatiku yang paling dalam, aku berharap itu hanya mungkin. Yang takkan terjadi. Aku sungguh berharap itu.


Wednesday, 28 September 2005
11.17 pm

Wednesday, September 28, 2005

perempuan dan sinetron

Satu jam membiarkan mata ini melotot pada layar televisi yang menayangkan (lagi-lagi!) sinetron yang kuanggap sampah itu, sehingga beberapa kali harus mengedip-ngedipkan mata karena panas. Alasan yang kumiliki untuk terus berada duduk manis di depan televisi itu ada dua. Dan dua-duanya tidak ada hubungannya dengan alur cerita sinetron tersebut. Menemani dan menanti. Menemani seseorang yang sudah cukup berumur tapi tinggal sendirian di rumahnya. Menanti koko yang berjanji akan memberi kabar kalau ia sudah sampai rumah supaya aku bisa segera meluncur ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan rumah dimana aku memelototi layar televisi sekarang ini.

Dan lagi-lagi, lewat sinetron yang baru saja kutonton ini, aku jadi mengerti mengapa para perempuan di negara ini masih dianggap sebagai masyarakat nomor dua.

Ada tiga karakter perempuan yang sering dimunculkan di sinetron-sinetron Indonesia. Tiga karakter ini begitu kuatnya, sehingga rumah-rumah produksi seperti menjadikannya syarat yang harus ada pada tiap cerita yang tentu tak bisa dilawan para penulis naskah dan sutradara. Siapa yang menggaji kalian wahai para penulis naskah dan sutradara sinetron?

Tiga karakter. Hmm. Here they are:
Perempuan A : lemah, baik banget, suka mengalah, taat pada aturan yang berlaku, sering dituduh, biasanya pemeran utama, tapi yahh… karena lemah, baik banget dan suka mengalah itulah, dia akan terus menderita dan menangis sepanjang perjalanan sinetron (biasanya setelah tiga episode pertama sampai episode terakhir). Kesimpulan dari Perempuan A: berkarakter lemah tapi dibela dan dicintai oleh pemirsa di rumah.
Perempuan B : ambisius, kejam, judes, suka marah-marah (dengan atau tanpa alasan), bisa melakukan apa saja asal tujuannya tercapai, ingin menang sendiri, jahat banget, biasanya pemeran antagonis yang pada episode-episode terakhir kalau nggak mati ya masuk penjara. Kesimpulan dari Perempuan B: berkarakter kuat tapi dibenci setengah mati oleh pemirsa di rumah.
Perempuan C : netral, baik (tapi tidak terlalu diperlihatkan), bisa membalas si jahat, maksudnya kalau dia dimaki-maki kemungkinan besar dia akan membalas memaki-maki, biasanya di pihak perempuan A alias pemeran pembantu. Kesimpulan dari Perempuan C: berkarakter cukup kuat tapi tidak terlalu diperhatikan oleh pemirsa di rumah.

Kalau sudah begini, aku hanya bisa menggigit bibir. Aku ini perempuan. Dan aku tidak terima kalau media yang disebut televisi, yang jelas-jelas bisa menancapkan konsep-konsep tertentu yang mengubah masyarakat tidak menjadi lebih baik. Menonton tayangan sampah macam sinetron itu membuatku berpikir pantas saja tidak terlalu banyak perempuan-perempuan berkarakter kuat yang lahir di bangsa ini, karena perempuan-perempuan berkarakter kuat itu selalu digambarkan sebagai makhluk yang jahat, yang haus akan kekuasaan, yang selalu menyelewengkan aturan-aturan yang berlaku dan yang dibenci oleh semua orang. Seolah-olah, kita ditancapi konsep bahwa perempuan yang baik, perempuan yang dicintai oleh semua orang adalah ia yang membiarkan dirinya diinjak-injak, yang cuma bisa berharap dan berdoa semua kejahatan akan minggat daripadanya tanpa ia perlu melakukan sesuatu. Dan karena itulah Perempuan C lahir.

Oh, tidak, para kapitalis yang budiman. Perempuan lebih kompleks daripada itu. Ia bisa saja kuat sekaligus baik. Ia bisa saja ambisius tapi tahu aturan yang ada. Ia bisa saja suka marah-marah tetapi bisa sekaligus lembut hatinya. Bahwa yang kuat tak selalu berarti jahat. Bahwa ketika perempuan unjuk gigi dan mulai menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya, mereka tidak selalu antagonis. Bahwa kadang-kadang perempuan tidak harus selalu nrimo, mengalah dan tidak berbuat apa-apa sampai ada orang lain yang membela dirinya.

Wahai, para perempuan, marilah berjuang bersama-sama denganku, bahwa kita bukan lagi makhluk lemah nan cengeng yang harus dielus-elus dan yang bahkan tidak bisa melakukan pembelaan atas dirinya sendiri.


Tuesday, 27 September 2005
10.19 pm

Monday, September 26, 2005

otoritas keilahian

Dahulu kita berkelahi melawan 'revolusi' dan kini melawan 'Tuhan'. Jauh lebih sulit yang sekarang dan hanya orang-orang yang berani sajalah yang dapat membuka kedok kaum munafik. Seolah-olah hanya mereka sajalah pemilik Tuhan, dan kita semua orang-orang yang tidak tahu apa-apa.
- Surat Soe Hok Gie kepada Herman Lantang, 18 Februari 1968 -

Membaca surat Soe Hok Gie itu membuatku berpikir bahwa negeri ini mungkin memang sedang dibungkus oleh kemunafikan. Yah... maksudku setelah penutupan beberapa tempat-tempat ibadah itu. Aku hanya tidak mengerti mengapa orang-orang yang sengaja melakukan itu bukannya melakukan sesuatu yang lebih berguna untuk membuat negeri ini jadi lebih baik tapi lebih sibuk dengan elemen spiritualisme yang sebenarnya bukan hak mereka atau kami sebagai manusia untuk menyentuh.

Kenapa aku bilang itu bukan hak mereka? Bolehlah kau protes, tapi tiap orang boleh mengemukakan pendapat masing-masing kan? Kemarin aku mendengar dari seseorang, bahwa peristiwa penutupan tempat-tempat ibadah itu terjadi karena manusia sudah menyentuh sesuatu yang bernama otoritas keilahian. Aku setuju. Absolutely. Maksudku, kalau sampai kau mendengar satu atau beberapa orang berpindah keyakinan, berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya, biarkanlah ia. Bukan ia atau orang-orang yang membujuknya untuk berpindah itu yang punya kuasa penuh sehingga ia bisa melompat dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Ada kuasa yang lebih besar dari itu. Otoritas Sang Pencipta yang mana terkadang tak pernah bisa kau pahami dan kau lawan.

Aku hanya ingin kita semua sama-sama belajar bahwa Tuhan tak perlu dibela. Bahwa manusia hanyalah makhluk-makhluk mungil yang karena kemurahan-Nya diberi sesuatu yang namanya otak dan hati untuk berpikir dan juga punya perasaan, tapi bukan untuk menyentuh otoritas-Nya. Bahwa manusia bukanlah robot yang tidak punya emosi dan hanya punya mesin penghancur untuk saling menghancurkan. Hidup tidak hanya sekedar itu.

Ijinkan aku bermimpi sejenak tentang kedamaian, tentang persatuan, tentang persahabatan, tentang cinta, tidak usah di negeri asing nun jauh disana, tapi di negeri ini.


Monday, 26 September 2005
10.44 am

... praying for Indonesia

Monday, September 19, 2005

pembantu oh pembantu

Pergi dengan seorang kenalan ternyata memberiku pemahaman baru. Kemarin ia bercerita kalau subuh-subuh ketika hendak mendudukkan pantatnya di lubang closet, ia melihat pemandangan yang memprihatinkan. Ia melihat seekor tikus kecemplung di dalamnya, mendecit-decit, menggapai-gapai ingin keluar dari situ. Tak jadilah ia meletakkan pantatnya diatas lubang itu. Sepanjang subuh itu, ia biarkan tikus itu terus menggapai-gapai, mendecit-decit, mengganggu kelanjutan tidurnya. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah muncul dan pembantunya sudah bangun, dimintanya pembantunya melakukan sesuatu terhadap tikus malang tersebut. Pembantunya itu perempuan. Kecil dan masih muda pula. Tapi, nyalinya tak sekecil badannya. Tanpa ragu ia mengulurkan tangannya dan merogoh tikus malang itu, mengeluarkannya, menyelamatkannya dari lubang closet tapi kemudian dibunuhnya pula tikus itu dan dilemparkan entah kemana.

Setelah mendengar cerita kenalanku itu, aku jadi berpikir, mungkin jika diadakan penelitian tentang pekerjaan terberat di seluruh dunia, jawaban yang paling masuk akal adalah pembantu. Catat! Bukan sekedar pembantu, tapi seorang pembantu yang berdedikasi. Rasanya, pembantu yang bekerja di kostku tidak termasuk di jajaran para pembantu yang berdedikasi. Tingkahnya tidak beda dengan majikannya. Malahan tante kost-ku itu yang diinjak-injak. Semua harus nurut dengannya. Belum lidahnya yang panjang itu, yang sudah pergi kemana-mana menjilat gosip manapun dan tak pernah menelan karena ia keburu memuntahkannya lagi di wajah siapapun yang berkenan menerima muntahan gosipnya. Pagi-pagi buta, ia sudah berbelanja gosip dan laki-laki yang kadang-kadang disumpal dengan sayuran di pasar. Pagi-pagi juga, saat kami anak-anak kost masih menyelesaikan jam istirahat kami setelah sibuk seharian di hari kemarin, ia sudah memuntahkan gosipnya ke wajah tante kost yang cuma manggut-manggut dan sesekali menjilat muntahan gosip di wajahnya, bersuara tak kalah lantangnya dengan pembantunya. Lukisan seorang majikan dan pembantu jaman sekarang. Kalau kau ingin melihatnya, datanglah ke kost-ku, sebelum jadi mahal harganya.

Dulu sekali, aku sering bertengkar dengan pembantu rumah. Tapi sejak aku tinggal di kost, aku bersyukur sekali pembantu rumahku masih jauh lebih manusiawi ketimbang pembantu di kost-ku yang satu ini. Kadang-kadang, untuk membunuh waktu, aku sempat membaca tabloid-tabloid ringan yang yah… isinya bikin keningku berkerut dan mengelus dada sambil berusaha menerima kenyataan bahwa ada bertriliun-triliun jenis manusia di muka bumi ini dan tiga perempatnya mungkin tak pernah kumengerti jalan pikirannya. Kadang-kadang aku membaca tentang pembantu yang diperlakukan tidak adil oleh majikannya. Punggung mereka diseterika. Tangan mereka sering dipukul. Kepala mereka sering ditempeleng atas kesalahan yang mungkin tidak mereka lakukan. Mereka tidak dibayar sesuai dengan pekerjaan mereka.

Pernah suatu kali, sebuah pertanyaan muncul dalam benakku, kenapa sih ada orang-orang yang mau saja jadi pembantu? Maksudku, jam kerja mereka jelas lebih panjang daripada orang-orang kantoran. Kalau orang-orang kantoran bekerja delapan jam per hari dikalikan lima per minggu, maka para pembantu itu harus siap dua puluh empat jam kalau-kalau majikannya tiba-tiba ada keperluan. Diluar itu, ia harus bangun pagi-pagi buta untuk membersihkan seluruh rumah tatkala seisi rumah majikannya sedang terlelap, berbelanja untuk keperluan makan, menyiapkan sarapan, membersihkan kamar kalau yang punya rumah sudah minggat bekerja keluar rumah, memasak untuk makan siang, dan oh… segudang pekerjaan lainnya. Belum lagi kalau ada kasus-kasus khusus macam tikus kecebur closet itu. Aku masih ingat waktu aku bertemu dengan makhluk menjijikkan bernama kecoak untuk pertama kalinya. Entah bagaimana, meskipun belum tahu kalau binatang itu bernama kecoak, dan yang namanya kecoak sudah terkenal dimana-mana sebagai salah satu binatang yang paling menjijikkan, aku sudah merasa jijik duluan. Dan orang pertama yang kuteriaki untuk membunuh kecoak itu karena binatang itu tiba-tiba mengibaskan sayapnya dan terbang ke arahku adalah pembantuku. Tiba-tiba ada kelabang di WC, dialah yang kupanggil. Bak mandi kotor dan ada uget-uget kecil (sampai sekarang aku tidak tahu nama sebenarnya binatang kecil-kecil yang suka ngendon di dalam bak mandi yang belum dikuras, apa sih itu?), kuteriaki dia. Mungkin pahlawan bumi yang sebenarnya bukanlah superman, tapi pembantu rumah tangga yang berdedikasi. Dan oh ya! Aku lupa menyebutkan satu hal, dari sekian banyak yang harus dikerjakannya, ia cuma mendapatkan bayaran yang mungkin tidak ada seperempatnya gaji orang kantoran. Padahal orang-orang kantoran yang berdasi dan berdandan cantik itu belum tentu bisa mengerjakan pekerjaan para pembantu itu. Jangan katakan padaku bahwa jadi pembantu hanya perlu tenaga dan tidak otak. Emakku tidak pernah mau menerima pembantu yang biasa-biasa saja, ia mau pembantu yang bisa memakai otaknya, biar bisa menawar harga di pasar, biar bisa membedakan yang mana sabun pencuci lantai dan sabun pembersih kaca, biar bisa cepat tanggap kapan ia diperlukan, biar ia bisa mengira-ira berapa banyak garam yang harus ia cemplungkan di dalam sup yang ia buat.

Wahai para pembantu yang berdedikasi, jangan berpikir kalian adalah orang terendah di seluruh muka bumi ini, karena tanpa kalian aku tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya orang-orang yang disebut kaya itu.


Monday, 19 September 2005
07.58 pm

… dedicated to sijuk, mbak yani, mbok ni, anyes dan mbok yah, selamat bekerja!!

Sunday, September 11, 2005

20% of jessie

10 kekurangan jessie:
- emosionil, kurang sabar (kata adi, inge dan yosua)
- rebellious alias pemberontak (kata yosua)
- tukang kritik (kata inge)
- egosentris (kata adi, inge dan yosua)
- apatis alias cuek abissss (kata inge dan yosua)
- pelupa (kata jessie sendiri dunk...)
- ceplas-ceplos, kalo ngomong suka nggak dipikir dulu (kata yosua)
- sarkasm (kata inge)
- sukanya dadakan (kata adi)
- cerewet (kata adi, yanto, inge dan yosua)
10 kelebihan jessie:
- brainstormer, super kreatif (kata adi dan inge)
- bersemangat, dan bisa menularkannya (kata adi, yanto, inge dan yosua)
- cukup dewasa (kata yosua)
- kritis (kata adi dan yosua)
- kadang-kadang bisa melihat sisi baik seseorang yang nggak dilihat orang lain (kata yanto)
- bisa dipercaya dan diandalkan (kata adi, inge dan yosua)
- pinter ngomong (kata adi, inge, yanto dan yosua)
- bukan penganut prinsip mbuletisasi ala cewek biasanya (kata yosua)
- kepemimpinan yang oke (kata adi, inge dan yosua)
- bukan pendendam (kata inge)

Ahahahaha….! Kenapa sih musti kekuranganku dulu yang aku tulis? Haha! Setelah testimonial session di KTB hari kamis yang lalu, aku menyimpulkan bahwa inilah 20% dari seorang jessie. Sisanya? Well, mungkin kau mau tambahkan?


Sunday, 11 September 2005
07.35 pm

juz me!

dengungan berisik

Well… to be honest, aku agak malas menulis sesuatu tentang bagaimana keadaan kami berdua, pasca pertengkaran itu. Kami ini mungkin salah paham. Kami ini mungkin memang waktunya bertengkar (persahabatan tanpa pertengkaran terdengar kurang afdol, kan?). Atau mungkin juga kami sama-sama sedang diproses.

Hari itu, saat kami betul-betul hanya berbicara berdua, aku sadar kami sama-sama keras kepala. Aku dengan sikap apatisku dan ia dengan sikap ingin dimengerti. Well, wajar saja kalau tidak menemukan titik temu kan? Sungguh, aku hanya ingin kami berbincang-bincang santai karena ia akan pergi keesokan harinya. Bukankah kami ini bersaudara? Tapi, kurasa, hari itu pun, kami tidak menggunakan waktu kami sebaik-baiknya. Kalau waktu itu, aku mengulurkan tangan kepadanya, dan mengatakan damai padanya, sebenarnya aku sedang berdamai dengan diriku sendiri. Selesai. Dan ia sudah pergi.

Selama dua hari ini, semuanya itu terngiang-ngiang di telinga. Membentuk dengungan berisik yang terus berputar-putar di area kuping. Dan itu jadi semacam traumatik. Kemarin aku harus jadi MC persekutuan pemuda. Temanya tentang THE HEART OF WORSHIP. Bab 10 dari buku the Purpose of Driven Life. Kalau hari itu aku tidak harus jadi MC, sepanjang minggu lalu mungkin aku akan jadi makhluk yang apatis. Aku sendiri tak tahu mengapa aku tidak mengatakan tidak mau saja pada Elika sebagai koordinator persekutuan. Dan sore itu, sebelum persekutuan, sambil menunggu pengiring persekutuan, aku terduduk sendiri di depan gereja. Angin semilir mendorongku membuka alkitab dan renungan harian yang kubawa. Aku memang belum saat teduh. Ingin menangis rasanya, Tuhan betul-betul melegakan hatiku. Sungguh. Aku seperti mendengar suaraNya menghiburku. Disitu, di dalam renungan harian tertulis tentang menjadi teladan. Ada dua kalimat yang tertulis disitu: anda tak dapat mengajarkan apa yang tidak anda ketahui, anda pun tak dapat menuntun ke tempat yang tidak anda tuju. Bahwa sebuah kepemimpinan di dalam Tuhan yang dilakukan dengan memberi teladan akan bersifat menular. Jujur saja, berhari-hari aku merasa bersalah oleh sebab aku tidak merasa bersalah karena menggunakan kata-kata yang cukup keras pada temanku yang sentimentil itu. Temanku yang menurutku berbicara tentang keteladanan itu lebih penting daripada melakukannya (ampuni aku kalau aku harus mengatakan hal itu lagi!). Dan waktu itu Tuhan seperti berkata, lewat pertengkaran ini, aku dan ia sama-sama diproses. Prosesnya tidak sama, tapi namanya tetap proses. Ia memintaku untuk menyerahkan proses temanku itu kepadaNya, karena itu bukan tanggung jawabku. Itu urusan Tuhan. Aku lega bukan main. Seperti merasa tangan Tuhan mengelus rambutku sayang.

Kupikir, sekarang aku hanya perlu mengusir dengungan berisik itu di sekitar kupingku.


Sunday, 11 September 2005
07.22 pm

Thursday, September 08, 2005

muka penuh lumpur

Pengen tahu rasanya dipermalukan di depan umum? Ditolak terang-terangan bahkan sampai kau harus memohon? Rasanya seperti dilempar lumpur. Percayalah padaku, lebih baik kau masuk ke lumpur itu atas kemauanmu sendiri daripada orang lain yang melakukannya untukmu.

Kenapa sih jessie selalu dikelilingi masalah? Supaya kehidupannya tidak monoton. Dan dalam minggu ini, hidup sudah menjungkirbalikannya berkali-kali. Membuatnya menangis dan marah berkali-kali. Aku jadi bertanya-tanya dan menyesali diri. Seumur-umur, jessie jarang menyesal, tapi untuk kejadian macam ini, aku harus akui kalau aku menyesal. Mengapa jumlah orang yang mendengar suara hati, lebih sedikit lagi yang mengikutinya? Yeah, that's me! Tadi sore, aku mendengar suara hati yang mana menyuruhku untuk tetap tinggal di kost dan tidak ikut farewell party-nya temanku. Teman lawan bertengkarku minggu lalu. Teman yang sentimentil dan jarang kumengerti jalan pikirannya. Sungguh. Aku mendengarnya berseru-seru untuk tetap tinggal di kost. Aku bahkan sudah ijin pada inge dan nita. Dan aku juga tidak mengerti mengapa akhirnya aku memutuskan untuk berangkat. Kupikir karena ia yang menjemput dan aku mau buktikan kalau aku sudah tidak punya masalah apa-apa lagi dengannya.

Well, I guess I was wrong!!! Really! Dan aku menyesal kenapa tubuhku ini mau saja dibawa kesana. Tadi ia minta didoakan dan diberkati. Kemudian kamu bersamal-salaman. Tiba giliranku, uluran tanganku memang disambutnya, tapi aku ditatapnya pun tidak. Aku menahan tanganku sambil menunggu dia memandangku dan mengatakan sesuatu. Tapi bahkan sampai dia berusaha melepaskan tangannya yang kutahan itu pun, matanya tidak kunjung menatapku, sampai aku harus berteriak, "Kamu gak mandang aku!" Dan saat itulah mukaku penuh dengan lumpur. Ia yang melempar. Jangan pernah bermimpi untuk menggantikan posisiku saat itu. Detik itu, aku tahu bahwa sekat diantar kami belum terbabat dengan baik.

Berada dalam mobilnya sepanjang perjalanan pulang membuatku seperti berkubang dalam lumpur. Jijik, bahkan terhadap diriku sendiri yang mau-maunya saja dilempar lumpur di depan teman-temanku. Tapi Tuhan maha adil, tidak dibiarkannya aku sendiri (karena kalau aku sendiri, aku tidak tahu bagaimana jadinya diriku). Dalam kubangan lumpur itu, air mata yang sudah kutahan akhirnya menetes. Meninggalkan hangat di pelupuk mata. Aku tak tahan. Aku muak. Aku ingin dia pergi, jujur saja. Dia sudah mulai mengganggu kehidupanku. Dengan kata-katanya yang setinggi-tingginya langit tapi hampir tak satupun yang aku lihat pernah dilakukannya. Aku jarang mengerti jalan pikirannya dan kalau dulu aku ingin menyelami pikirannya itu, kali ini tidak, terima kasih! Aku bahkan masih bisa hidup, masih bisa bertumbuh, tanpa dia. Aku marah. Dan akhirnya aku menangis. Ingin sekali aku lari ke Melbourne dan menangis di dada San, supaya lega hati ini. Sempat terbersit dalam pikiran untuk meminjam bahu yosua, karena aku butuh seseorang dimana aku bisa bersandar. Aku tahu, dia ada disitu untukku.

Bahkan ketika aku telah menjejakkan kakiku di kamarku, di zona nyamanku, aku masih merasakan sisa-sisa lumpur melekat pada tubuhku. Aku menggapai-gapai, berharap dapat menemukan seseorang yang bisa menolong aku membersihkan lumpur ini. Tapi aku sendirian. Dan..., jessie akhirnya hanya berdua dengan Tuhan.


Thursday, 8 September 2005
12.08 am
after the terrible night

Wednesday, September 07, 2005

hidup tidak seperti sinetron

Hidup ini tidak seperti sinetron. Sungguh. Apalagi sinetron Indonesia yang ceritanya hampir selalu sama. A jatuh cinta pada B. C juga jatuh cinta pada B. A bunuh-bunuhan dengan si C demi mendapatkan cinta si B. Dan entah bagaimana semua jalan cerita selalu berujung dengan adanya kekuatan magis di balik semuanya itu. Kemudian si pemeran antagonis (aku menyebutnya korban) akan mati dalam keadaan mengerikan waktu didoakan (aneh..., bukankah orang seharusnya mati dengan damai atau berubah jadi orang yang lebih baik ketika didoakan?). Harus ada si jahat yang dikorbankan. Si pemeran utama biasanya seorang yang lugu, baik dan lembut yang akan terus-menerus menderita dan tidak akan melawan si pemeran antagonis (korban, maksudku) alias pasrah sampai akhirnya takdir membuat pemeran antagonis itu kalah. And they live happily ever after. Tapi bahkan kebahagiaan si pemeran utama pun diperlihatkan tidak lebih dari satu episode. Ratusan episode lainnya hanya menceritakan bagian sedih-sedih dan saat-saat ia menderita saja. Lebih herannya lagi, ribuan orang dari Sabang sampai Merauke menonton dan ikut menangis dengan si pemeran utama. Seolah tak pernah bosan. Atau menyerah? Pasrah, maksudku. Nrimo. Seperti kata orang-orang tua jaman dahulu. Daripada tidak ada hiburan sama sekali? Lebih baik hiburan berkualitas rendah daripada tidak ada sama sekali? Puh.

Hidup ini lebih daripada sekedar fenomena positif dan negatif bahwa semua fenomena positif menjadi milik yang baik dan semua fenomena negatif menjadi milik si jahat. Kalau kau menonton sinetron-sinetron Indonesia, maka kau akan sampai pada satu anggapan bahwa hidup adalah penderitaan, bahwa ketika kau pasrah maka segala sesuatu yang buruk yang menimpamu akan dikembalikan pada si pemegang fenomena negatif dan setelah itu terjadi maka kau hidup bahagia (dan itu menjawab mengapa kebanyakan rakyat kecil tidak berjuang untuk sesuatu yang seharusnya mereka perjuangkan). Buatku, kebahagiaan tidak tergantung seberapa besar dan seberapa lama penderitaan yang harus kau alami, tapi kebahagiaan itu disediakan tiap hari. Pilihannya adalah: take it or leave it.

Kadangkala hidup ini menyuruhku menjadi orang bisu dan banyak episode dalam hidupku, aku jadi orang bisu. Yang hanya melihat dan mendengarkan sambil menganalisa dalam hati. Di lain waktu, hidup menyuruhku jadi orang yang tidak hanya bisu tapi juga tuli, hanya melihat, merasakan tapi tidak harus berkomentar apa-apa dan tak perlu mendengarkan apa-apa. Tapi tak pernah dibiarkannya aku hanya menjadi penonton. Aku selalu mendapat peran, terkadang peran utama, terkadang peran pembantu, terkadang peran antagonis, bahkan figuran sekalipun. Dibiarkannya aku mencicipi semua peran. Dan aku tahu mengapa. Justru ketika aku diperbolehkan mencicipi semua peran itu, aku betul-betul mencecap indahnya hidup. Hidup jadi tak monoton. Setiap hal dapat dinikmati. Bahkan ketika kau marah, kau menangis dan kau sedih sekalipun, kalau kau tahu caranya, kau akan tahu betapa nikmatnya itu semua.

Jangan percayai sinetron-sinetron itu. Hidupmu jauh lebih indah dari yang kau lihat dan bayangkan.


Wednesday, 7 September 2005
07.48 pm
after watching rubbish called 'sinetron', when will those rubbish thrown away from this country?