Wednesday, January 31, 2007

bicara tentang perempuan (lagi)


Beberapa hari yang lalu aku chatting dengan seorang kawan lama yang sekarang tinggal di Union City, US. Dia seorang penulis naskah sastra dan tentu saja aku mengaguminya sebagai seorang penulis yang membiarkan imajinasinya bergerak liar dan membimbing tangannya menulis apa saja yang mengalir. Asal kau tau, aku ingin imajinasiku seliar miliknya.

Anyway, tidak lama setelah bercakap-cakap ngalor ngidul, kami berdebat kusir soal perempuan. Asal muasalnya dia mengirimkan monolog karangannya padaku yang menurutku isinya sarat dengan kritik sosial. Dan obyek tunggalnya adalah makhluk yang bernama perempuan. Dalam monolognya ia menulis bahwa menjadi perempuan di zaman sekarang itu tidak gampang. Dan dengan senang hati aku menyetujuinya. Kubilang padanya, perempuan di Indonesia masih dianggap dibawah level lelaki selalu jadi makanan empuk untuk di-diskreditkan. Dari segi manapun. Jawabannya cukup diplomatis: lah, kok mau?

Aku tercenung. Iya sih. Kok mau sih kita? Beberapa waktu yang lalu aku nonton Gie. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Gie: Bagaimana perempuan mau lebih tinggi levelnya dari pria, yang dipikirkan cuma pakaian dan kosmetik. Kurang lebih seperti itu. Memang paling gampang merayu para perempuan untuk membeli sesuatu. Barang yang seharusnya tidak perlu dibeli jadi dibeli hanya karena ada embel-embel diskon atau promo.

Berikut adalah sedikit opini yang aku tulis tentang perempuan dua tahun yang lalu.


CANTIK

Aku kadang-kadang bisa benci banget yang namanya masyarakat. Boleh dibilang kalau aku menganggap masyarakat tuh seperti segerombolan mata-mata yang siap memberikan komentar-komentar negatif dan sinis dari mulut tajam mereka. Komentar-komentar yang mungkin keluar begitu saja tanpa melalui saluran-saluran hati dan otak. Dan mungkin, komentar yang singkat dan pedas itu mampu membunuh jiwa seorang manusia.

Aku ini seorang gadis. Muda. Mungil pula. Dan termasuk dalam kelompok minoritas di tengah bangsa yang kuanggap bangsaku sendiri, tapi tidak sebaliknya. Terima kasih. Perlahan-lahan, mulai kubaca jalan pikiran mereka, paradigma yang ngendon dalam otak dan hati mereka. Sampai (tanpa) kusadari, mereka turut andil dalam membentuk diriku yang sekarang. Hanya saja, semakin aku menuruti mereka, semakin mereka dapat menemukan dengan mudah apa-apa saja dalam diriku yang ‘perlu’ mereka kritik dan ‘perbaiki’. Akan kuceritakan sebagian kecil paradigma yang mungkin mereka hunjamkan dalam diriku.


Beberapa saat yang lalu sedang ada tren di layar kaca (katakanlah, Indonesian Model di Indosiar, Cantik
Indonesia di Trans TV, Ajang Ajeng di MTV, dan masih banyak yang lain lagi) untuk berlomba-lomba menayangkan kontes untuk para gadis yang merasa dirinya ‘cantik’. Plus berbakat. Tapi, aku rasa ‘berbakat’ itu syarat nomor dua. Yang pertama adalah appearance - how they look. Mau sepintar apapun, inggrisnya secanggih apapun, tapi kalo tingginya nggak nyampe 160 cm juga nggak bakal terpilih.

Sekarang, aku mau coba jabarin ‘cantik’ ala masyarakat
Indonesia pada umumnya. Kukatakan pada umumnya, karena aku masih percaya bahwa masih ada segelintir orang-orang yang memberikan definisi yang berbeda tentang ‘cantik’. Dan setelah melihat, menelaah dan memberikan hipotesis, yah, mungkin inilah hasilnya;
CANTIK ala masyarakat
Indonesia:
1. berambut panjang dan lurusss; (lihat aja iklan shampoo, emang ada yang pake model dengan rambut keriting?)
2. ku-ti-lang alias kurus tinggi langsing (sekali lagi boleh deh dilihat di iklan, kebanyakan ngiklanin produk untuk menguruskan badan)
3. punya kulit kayak pualam alias putih nan halus (lagi-lagi lihat iklan deh..., sabun, body lotion, dst, dst)
4. smart (kalau bisa, kalau nggak ya nggak apa-apa, asal tiga nomor diatas terpenuhi)
5. udah ah..., kebanyakan, ntar berat amat syaratnya, yang diatas aja susah dipenuhin

Menurutku, gadis-gadis muda punya ingatan yang payah. Baru beberapa menit meninggalkan cermin dan menikmati bayangannya, mereka sudah mencari-cari cermin lain dalam beberapa langkah untuk memastikan apakah mereka masih terlihat cantik atau tidak. Aku mengatakan hal ini bukannya mengada-ada, tapi bahkan aku sendiri mengalaminya.

Setiap gadis punya obsesi untuk jadi cantik menurut standar mereka masing-masing. Dan karena punya obsesi seperti itulah, mereka seperti kehilangan jati diri. Ketika mereka mulai merasa kehilangan jati diri, maka mereka mulai mengenakan topeng. Mereka mulai memasang berlembar-lembar topeng yang bernama kosmetik untuk menutupi wajah mereka yang sesungguhnya. Mereka mulai tergila-gila dengan sesuatu yang namanya cermin. Sementara mereka menikmati bayangan mereka yang mengenakan topeng lewat cermin itu dengan menyisir ribuan helai benang halus yang bernama rambut. Entah berapa ayunan.

Lalu? Memang kenapa kalau mereka memakai topeng? Bukannya kadang-kadang mereka malah lebih percaya diri ketika mereka mengenakan topeng itu? Ironisnya, meskipun mereka sudah mengenakan topeng, mereka masih merasa tak puas. Keluhan dan decak tak puas sering keluar dari mulut. Kadang begitu tajam dan menukik, kadang begitu sendu dan suram. Sampai air mata ikut berbicara.

Yang terjadi pada fase selanjutnya adalah mereka sakit. Sakit jika tidak dikatakan cantik. Sakit jika tidak dipuji cantik. Dan sakit karena merasa penampilan mereka tidak sesuai dengan kriteria menurut hipotesaku diatas.

Gadis-gadis yang sudah memiliki rambut panjang lurus nan hitam berharap supaya rambutnya sedikit ikal dan disembur warna favorit. Sebaliknya, gadis-gadis yang memiliki rambut ikal dan keriting yang susah diatur bermimpi untuk memiliki rambut selurus jarum dan sehalus sutra. Itu hanya rambut. Belum lagi keluhan tentang tubuh. Tubuh yang kurang langsing, kurang berisi, kurang proporsional, kurang kurus. Lalu mereka menjalani program diet yang ketat yang menyebabkan mereka tidak bisa menikmati hidup ini lebih indah. Kalaupun akhirnya keinginan mereka terpenuhi, keluhan dan gerutuan tak puas masih meluncur cepat dari lidah mereka. Kompensasinya adalah mereka mulai menutupi ‘ketidaksempurnaan’ mereka dengan pakaian yang memamerkan sebagian tubuh mereka atau mengenakan rok sependek celana anak SD sampai-sampai ada bagian dalam yang mencuat keluar, mengintip seolah-olah ingin meneriakkan sesuatu yang mengundang.

Ironisnya, ketika mereka berusaha memenuhi kriteria ‘cantik’ ala masyarakat Indonesia, masyarakat itu sendiri kembali nyinyir dengan usaha mereka. Lalu, gadis-gadis itu dinyatakan gila karena penampilan mereka yang dianggap aneh. Masyarakat malah memandang rendah mereka, tanpa mengetahui bahwa sebenarnya sadar atau tidak masyarakat ikut mengubah mereka menjadi seperti sekarang ini.

Dan kemudian, pertanyaan itu mampir di benakku. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Sebagai seorang gadis. Yang masih muda. Yang mungil. Yang minoritas.

Sebagai seorang gadis yang mungkin berpenampilan biasa-biasa saja, aku percaya sempat terbersit dalam pikiranku untuk ikut arus, untuk percaya pada masyarakat bahwa seorang gadis tidak pernah akan sempurna dan cantik. Bahwa seorang gadis akan menjadi gadis normal di tengah masyarakat ketika ia mengenakan topengnya dan banyak asesoris yang melapisi tubuhnya. Dan kalau aku benci dengan masyarakat mengapa aku menuruti omongan mereka? Mengapa???

Tertawa sajalah. Meskipun itu berarti kau menertawakan dirimu sendiri. Tapi biar kuberitahu satu hal, rahasia penting untuk menjadi cantik tanpa perlu mengenakan berlembar-lembar topeng diatas kulit wajahmu dan berpura-pura menjadi orang lain. Kala kau merasa bahagia, hatimu damai, dan penuh dengan cinta; kala kau merasa bahwa kau seorang yang sangat berarti untuk orang-orang disekitarmu; kala kau mengerti bahwa untuk dicintai oleh orang lain kau harus mencintai dirimu dulu; kala kau sadar bahwa kau cantik, tengoklah cermin manapun, karena kau akan melihat sosok yang berbeda yang tak hanya cantik, tapi juga bersinar. Harus kuakui bahwa pria yang mencintaiku memang tak pernah mengatakan aku cantik, tapi ia dengan tulus mengatakan bahwa aku gadis yang bersinar dan sinar yang kupancarkan memberi damai dan cinta dalam dirinya.

Tahu tidak? Itu sudah cukup. Hal-hal rumit lainnya, tentu tidak disini.


27 Oktober 2004

9:52 pm


Waktu itu kubilang pada si kawan lama ini, lebih tepat dikatakan kalo jadi perempuan di negeri Indonesia ini tidak gampang. Jadi perempuan di Indonesia itu harus tahan banting, kuat mental dan kebal kuping. Suami berpoligami? Itu mah biasa, coba kalau ada istri yang bersuami banyak. Wah… komentarnya pasti lebih sinis, lebih negatif, dan lebih bikin sakit hati. Perempuan nafsu gede, misalnya. Lah, emang cuma laki-laki yang punya nafsu? Perempuan juga punya nafsu. Terus waktu lalu, aku sempat ngobrol dengan mertua. Kubilang, di Melbourne aku masih sering lihat para suami membawa bayi-bayi mereka jalan-jalan tanpa istri. “Si Erwin juga nggak keberatan tuh kalo harus gitu,” kataku bersemangat. Sahut mertua, “Nggak bisa disamain dengan disini. Apa kata orang.” Tidak persis seperti itu beliau ngomong, tapi intinya sama. Buat beliau, masih terlihat aneh dan bakal dijadikan bahan omongan orang jika nantinya Erwin membawa anaknya sendirian tanpa sang istri. Sebaliknya jika aku sebagai sang istri yang membawa anakku sendirian tanpa sang suami adalah sudah sewajarnya. Bah!

Ada satu hal lagi yang menggelitik aku buat bicara soal perempuan. Pernah kudengar dari radio seorang perempuan dengan lantang dan penuh percaya diri mengajukan protes pada perusahaannya. Apa pasal? Ternyata eh ternyata hanya gara-gara perusahaannya itu tidak memberikan kompensasi khusus terhadap pegawai perempuan tentang datang bulan. Huh. Pantas kebanyakan perusahaan masih lebih sering memilih laki-laki untuk dijadikan pegawai, lha kalo perempuan sedikit-sedikit minta kompensasi. Datang bulan minta kompensasi. Nanti sebentar dikawin nggak bisa kerja. Lalu kalo hamil juga minta cuti berikut biaya melahirkan. Nah, lho…. Ribet kan? Sekarang ini, aku yang sedang hamil sebisa mungkin tidak menggunakan kehamilan sebagai alasan untuk menghindari pekerjaan dan meminta kompensasi. Hamil tuh bukan penyakit. Jangan pernah dijadikan alasan untuk hal-hal yang tidak penting. Memang harus dijaga baik-baik, tapiii… ya itu tadi. Kalau tidak penting ya jangan mentang-mentang hamil terus sedikit-sedikit minta kompensasi. Ingat! Perempuan bukan makhluk lemah, sebaliknya perempuan tuh sebenarnya jauh lebih kuat dari lelaki.

Bicara tentang perempuan memang tidak akan pernah habis. Makhluk yang kadang-kadang sangat bergantung pada perasaan dan hormon. Makhluk terkonsumtif di seluruh dunia. Makhluk yang tergila-gila pada cermin. Makhluk yang selalu diijinkan menangis kapanpun dan dimanapun. Makhluk yang sebenarnya lebih kuat baik jiwa maupun raga, karena ia terbuat dari tulang rusuk, bukan dari tanah.


Selasa, 30 Januari 2007
11:37 am

To Vincent: it’s absolutely nice to chat with you!

1 komentar ajah:

Anonymous said...

Sebenarnya mau jadi perempuan atau laki-laki sama susahnya Jes, intinya sih gimana kita menikmati hidup aja dan gak berhenti bersyukur kali ya :)
eh ya, temenku juga 38 minggu tuh, akhirnya anaknya di inkubator hampir sebulan soalnya organ pernapasannya belum sempurna, mudah-mudahan Jessie nanti lancar ya lahirannya..jangan kecapean..