Tuesday, August 07, 2007

vinn dan mamiku

Ketika aku memboyong mami dan adikku setelah kematian papi ke Surabaya, mami manut aja. Seakan ingin melepas kesedihan dan kepenatan yang menyesak di dalam dada karena itinggalkan seseorang yang sudah menemaninya selama dua puluh tujuh tahun lebih. Ia menanti-nantikan cucu pertamanya yang waktu itu masih asyik berenang dalam rahimku. Tapi situasi lantas mulai agak tidak mengenakkan. Mulai dari om-ku yang nyentrik, tante-ku yang kadang-kadang masih menyindir ketidakcekatan mami dalam mengurus rumah tangga, dan istri sepupuku yang sok tahu dan merasa dirinya paling benar sedunia. O! Jangan lupakan juga pembantu tanteku yang langsung mutung kepengen pulang gara-gara cucian bertambah banyak sejak kedatangan mami dan adikku. Untuk masalah yang terakhir ini sudah ditemukan jalan keluarnya. Betul sekali. UUD alias Ujung-Ujungnya Duit. Pembantu rewel itu minta tambahan duit rupanya. Buktinya mulut pembantu yang tadinya rewel itu langsung bungkam dijejali lembaran lima puluh ribu perak oleh mami. Baju-baju kotor mami dan adikku dicuci dan dijemurnya semua dengan semangat empat lima. Kelahiran Vinn, anakku membuat mami sedikit terhibur dan lupa akan masalah-masalah tersebut. Tiap pagi sebelum jam sepuluh, ia sudah siap dijemput Erwin, suamiku untuk menemuiku yang menjalani perawatan pasca cesar di rumah sakit. Begitu juga sorenya. Empat hari berturut-turut mami dan adikku tidak pernah absen berkunjung. Seakan berusaha lari dari ketidakenakan karena tinggal di rumah om dan tante. Sepulang dari rumah sakit, suamiku ternyata sudah mengaturkan jadwal untuk mami dan adikku. Tiap pagi mereka akan dijemput dan sepanjang siang akan menemaniku mengurus Vinn sambil ngobrol-ngobrol denganku. Sesuatu yang jarang kulakukan bersamanya selepas aku memutuskan untuk menetap di Surabaya. Sorenya baru diantar kembali ke rumah om dan tante. Belum cukup kebahagiaan mami menimang Vinn, datang berita dari Pekalongan. Emak mencari mami. Agaknya beliau ingin mami cepat-cepat pulang ke Pekalongan. Yang paling aneh, perintah untuk pulang bukan dilontarkan oleh om atau tante yang ada di Pekalongan, tapi oleh sepupuku yang di Bali. Aneh, bin ajaib. Seenaknya sendiri ia menasihati mami untuk lekas pulang atas nama emak. Kubilang pada mami supaya tidak menghiraukan nasihat berbau sok tahu itu. Mami didukung oleh mertuaku dan salah seorang sahabatnya dari Pekalongan untuk tidak terlalu menuruti begitu saja permintaan untuk kembali sesegera mungkin ke Pekalongan. Aku juga ikut melarang mami cepat-cepat pulang karena sesungguhnya aku tahu mami masih ingin melihat, menimang dan membantuku mengurus Vinn. Akhirnya diputuskan mami baru akan pulang ke Pekalongan setelah tali pusar Vinn lepas.


Baru hari ini mami bertanya padaku, seandainya tali pusar Vinn tidak lepas sampai akhir bulan ini bagaimana. Sebenarnya ia ingin pulang akhir minggu ini kalau memungkinkan. Kubilang padanya, seandainya akhir minggu ini tali pusar Vinn tak kunjung lepas, kalau memang mami ingin pulang ke Pekalongan (karena keinginannya sendiri), aku tidak akan melarang. Lagipula mami juga ingin mengatur kembali jadwal anak-anak les pianonya. Untuk yang satu ini, aku juga tidak membantah. Mami masih bersemangat untuk bekerja ngelesi piano - mata pencahariannya sejak aku masih kecil.

Sore itu juga, tak berapa lama berselang mami dan adikku meluncur pulang ke rumah om dan tante, saat aku mengganti popok Vinn karena ia kencing, aku memekik kaget. Tali pusar Vinn lepas! Aku ngeri bukan kepalang dan langsung menjerit memanggil Erwin. Kejadiannya mengejutkan betul. Baru sesorean tadi aku dan mami membicarakan tentang tali pusar Vinn.

Lepasnya tali pusar Vinn menyebabkan mami semakin bertekad bulat untuk pulang. Bahkan sebelum akhir minggu ini. Dan hampir dapat dipastikan, akhir minggu ini ia akan sudah ada di Pekalongan - melakukan kembali aktifitas-aktifitas yang biasa ia lakukan sebelum papi meninggal.

Aku mau percaya bahwa Tuhan akan memelihara mami dengan baik. Aku hanya membantu-Nya sedikit.

Selasa, 20 Maret 2007
9:42

0 komentar ajah: