Friday, February 15, 2008

nyolot


Kalau berkendara di jalan, saya suka nyolot.

Kalau saya lagi ngantri, terus ada orang seenak udelnya nyerobot, saya suka nyolot.

Kalau ada yang nabrak atau nyerempet mobil dimana saya duduk manis di dalamnya, tapi dia yang nabrak nggak ngaku salah, saya suka nyolot.

Itulah mengapa saya tidak terlalu suka berkendara di jalan.

Itulah mengapa saya tidak suka antri.
Itulah mengapa saya lebih baik diam dan duduk terpekur dalam mobil daripada menyetir.

Jalanan dari rumah yang saya tempati sekarang dan kantor saya dilalui angkutan umum. Bemo kuning. Naek motor juga cuma sepuluh sampai lima belas menit. Jangan tanya saya tentang berapa kilometer kira-kiranya antara rumah dan kantor. Karena saya tidak bisa menjawab. Paling-paling saya jawab: "Deket aja. Palingan 10-15 menit." Tapi yang cuma sepuluh sampai lima belas menit itu bisa buat saya bikin dosa berkali-kali. Kalau pas apes, saya berkendara pake motor dan harus berada di belakang bemo, yang amit-amit lambatnya kalau jalan (karena mata sang supir sibuk merajalela mencari penumpang) dan saya nggak bisa nyalip. Kenapa nggak bisa nyalip? Karena jalur sebelah juga sama ramainya. Kadang-kadang juga, kalau pas lebih apes lagi, saya berkendara pake motor, agak ngebut, di belakang bemo jalan, trus tiba-tiba bemo-nya berhenti tanpa parkir lebih pinggir-an. Jadilah saya harus yakin bahwa rem di motor harus pakem adanya. Itu baru bemo. Sementara, jalanan yang saya lalui tidak hanya dilewati bemo saja, banyak juga kendaraan lainnya. Hanya sedikit yang santun di jalan, lebih banyak lagi yang sembrono.

Makanya saya nyolot.


Saya punya cita-cita membuat Indonesia ini jadi lebih baik. Karena itu,
instead of memprovokasi orang lain buat melakukan sesuatu untuk tanah air saya ini, saya pikir lebih baik itu dimulai dari saya sendiri. Salah satunya adalah ANTRI. Sapa seh yang doyan nunggu? Apalagi kalau sinar matahari lagi terik-teriknya, sehingga bikin pori-pori kita terus memproduksi peluh - membasahi kulit, leher sampai nempel ke baju. Sapa seh yang doyan nunggu? Apalagi kalau waktu terus berseru-seru mengingatkan tentang kerjaan yang harus selesai dan tugas yang harus segera dikerjakan. Sapa seh yang doyan nunggu? Apalagi kalo diserobot orang lain, padahal kita duluan yang nangkring disitu. Tadi pagi-pagi saya sudah ditelepon untuk menyelesaikan keuangan. Ya saya langsung buru-buru cabut dari kursi panas saya. Biar ga perlu dibilang, kalo mau ambil duitnya aja cepet-cepet, kalo disuruh nyelesaiin susahnya minta amprut. Sesampainya disana saya masih harus nunggu. Sementara kuping ini harus juga dijejali omelan dan gerutuan sang petugas yang tentunya omelan dan gerutuan itu bukan tentang saya. Hanya saja, karena kuping saya yang mendengar, dan kuping saya mentransfer kata-kata tak enak itu ke hati saya, hati saya juga ikutan tak enak. Tak berapa lama, ada lagi yang datang. Menurut aturan yang saya tahu, harusnya kan saya duluan ya yang dilayani? Kan kaki saya dulu yang berdiri disitu? Tuan Waktu yang jadi saksinya. Hanya Tuan Waktu lebih memilih diam, tidak mau mengingatkan si petugas bahwa mestinya dia melayani saya dulu, karena saya datang lebih dulu. Sebab Tuan Waktu diam, maka saya harus rela hak saya dicabut. Saya baru dilayani setelah petugas yang mulutnya mencucu itu selesai berurusan dengan orang yang datang setelah saya. Kalau waktu itu posisi saya lain. Kalau kejadian itu nggak di kantor. Kalau kejadian itu di pompa bensin misalnya, atau di supermarket, atau di pasar, saya pasti nggak akan diam pasrah. Saya PASTI akan memperjuangkan hak saya!

Makanya saya nyolot. Tapi di belakang. Jadi sama-sama dosa deh.

Nah, sekarang bayangkan. Buat para pembaca dari Surabaya, lebih mudah lagi bagi kalian untuk membayangkan. Kalian sedang enak-enaknya duduk ngobrol di mobil yang menggelinding menuju Sidoarjo. Mobil itu berhenti di pertigaan dari jemur andayani dan a. yani. Ramai lalu lintas memaksa kalian menunggu mendapat kesempatan untuk kembali menggelinding. Tiba-tiba, ada mobil lain
notol bemper bagian depan mobil kalian, tapi supir mobil ini, berinisiatif berhenti dan minta maaf pun tidak. Apa yang kalian lakukan? Teman saya memaksa mobil yang menabrak ini berhenti di pinggir jalan untuk sekedar bertanggung jawab. Supirnya adalah pria setengah tua. Mungkin sudah lima puluh tahun ke atas. Dia bilang, bemper mobil kami rusaknya nggak parah. Punya dia lebih parah. Membentuk garis panjang. Tapi, hei... kan dia yang menyerempetkan mobilnya ke mobil kami? Mobil kami dalam keadaan berhenti, ingat? Setelah perseteruan yang alot antara teman saya dan bapak setengah tua itu tadi, saya keluar dari mobil, dengan maksud cuma ingin melihat seberapa parah rusak bemper mobil pinjaman kami. Tapi karena saya merasa teman saya sedang diperlakukan tidak adil dan istri bapak setengah tua tadi ikut turun (jadi one on one nih), saya ikut andil dalam perseteruan itu. Mereka nggak mau bertanggung jawab, hanya minta maaf belaka. Saat kami minta ID card mereka, mereka ngakunya nggak bawa, dan waktu itulah lidah saya meruncing. Saya bilang, "Kalau gitu, kesalahan ibu ada dua. Satu, mobil ibu nabrak mobil saya. Dua, ibu nggak bawa KTP!"

Makanya saya nyolot.

Saya harus akui, kadang-kadang nyolot saya kurang santun. Kurang melihat waktu, kondisi dan lawan bicara. Kadang-kadang nyolot saya berbau kurang ajar. Apalagi kalau merasa hak-hak saya sedang dikebiri. Yang saya masih harus pelajari adalah, bagaimana melihat medan yang sedang dihadapi. Boleh saja saya perjuangkan hak-hak saya, tapi caranya harus santun. Tidak boleh kurang ajar.


Saya memang suka nyolot, tapi saya juga mau belajar. Jadi manusia yang lebih baik.

Friday, 15 February 2008
12:11 pm

1 komentar ajah:

Ika Devita Susanti said...

wakakakka... tenang ce... tenang.. memang beginilah "kebiasaan" orang sini.. kita niru salah, kita berbuat yang bener dibilang sok suci..... repot.