Wednesday, June 04, 2008

funeral

Putu Wijaya bilang kematian tiba-tiba itu seperti kentut di tengah-tengah kelas yang sedang ulangan umum. Hanya meninggalkan baunya saja. Titik. Tapi buat saya, kematian tidak tiba-tiba pun tetap seperti kentut, hanya mungkin yang mau kentut itu sudah woro-woro sana-sini kalau mau kentut, jadi bisa siap-siap tutup hidung kalau bau.

Beberapa hari yang lalu, ayahnya teman saya meninggal dunia. Kabar tentang meninggalnya beliau mestinya tidak akan terlalu mengejutkan buat saya karena saya tahu kabar penyakitnya yang makin parah beberapa waktu belakangan ini. Tapi tetap saja, SMS dari teman saya itu bikin mulut ini mengeluarkan kata kejut. Karena saya cukup kenal dekat dengan anak-anaknya om ini, datanglah saya ke kebaktian tutup peti beliau.
Jenazah disemayamkan di gereja tempat om ini biasa beribadah. Saya datang bersama bos dan teman kantor. Kebaktiannya sudah hampir mulai, jadi saya dan teman kantor saya itu menyelip-nyelipkan diri di tengah banyak pengunjung yang sudah duduk manis dan siap mengikuti kebaktian.

Saya dan teman saya duduk agak di belakang, yang baru saya sadari setelah meletakkan pantat ini bahwa saya salah tempat duduk! Kenapa salah? Karena saya duduk di belakang
empat ibu-ibu yang terus berbisik-bisik, menggosipkan apa saja yang terjadi selama upacara dan suara mereka lama-lama makin keras dan mengganggu. Berbagai hal yang sebenarnya nggak perlu dibicarakan pada waktu itu macam: itu anak-anaknya ya? Heh, dia mau nyanyi? Oh, itu cucu-cucunya. Ya ampun gondrong ya itu anaknya yang paling gedhe yo?. Sampai saya waktu itu saking nggak tahannya saya ssshhhh mereka. Peduli amat mereka lebih tua dari saya. Lha wong saya ssshhh saja mereka tetap ribut nggosipin nggak peduli. Kuping saya jadi ikut panas karena yang lagi mereka bicarakan itu lho teman-teman saya! Seolah-olah mereka sedang melihat pertunjukan drama keluarga yang pemeran utamanya meninggal. Supaya ada bahan yang cukup seru untuk diceritakan pada orang-orang sepulang mengikuti kebaktian.

Meskipun dengan gangguan-gangguan yang bikin kuping saya panas itu, saya berusaha mengikuti kebaktian dengan baik. Dan harus saya akui, kebaktian tutup peti yang saya ikuti kali ini agak berbeda dari biasanya. Anak-anak om hidup untuk musik. Jadi mereka sekeluarga menyanyikan lagu ciptaan anak kedua om itu yang diciptakan dua belas tahun yang lalu ketika untuk pertama kalinya om itu didiagnosis sakit. Mereka pula yang bermusik. Yang sulung memainkan piano, yang kedua memainkan cello dan si bungsu memainkan biola. Yang lainnya menyanyi. Kemudian sang istri menyanyikan satu buah lagu khusus untuk suaminya yang meninggal. Setelah itu, satu per satu mereka mengucapkan kata-kata perpisahan untuk suami dan ayahnya ini. Semacam testimonial terakhir. Ada kata-kata dari sang istri yang terserap masuk ke otak saya dan seperti menyadarkan saya. Dia bilang kehidupan yang dijalani bersama suaminya itu tidak mudah, tetapi dia sudah bersumpah akan setia mendampingi dan memberikan seluruh hidupnya kepada suaminya dan dia percaya
cinta membuat segala sesuatu jadi mudah. Bukankah memang seharusnya seperti itu dalam kehidupan suami istri? Kadangkala kita jadi lebih mudah marah dan tersinggung justru dengan pasangan kita sendiri. Beranggapan bahwa mereka toh sudah jadi milik kita, sudah tidak perlu lagi kata-kata romantis, sayang-sayangan. Padahal meskipun mereka sudah jadi milik kita (sah dihadapan Tuhan dan hukum yang berlaku), kita tetap perlu melandasi hubungan itu dengan cinta.

Kebaktian itu ditutup dengan para pengunjung diperbolehkan mengelilingi peti - kalau-kalau hendak mengatakan pesan terakhir untuk almarhum - sambil menuangi minyak. Waktu giliran saya, karena banyaknya orang yang datang, saya tidak kebagian minyak itu, tapi saya diberi setangkai mawar merah muda untuk diletakkan didalam peti almarhum. Sambil meletakkan mawar itu ke dalam peti saya bilang begini di dalam hati saya: "Om, saya memang nggak terlalu kenal dengan om, tapi saya sering banget ngerepotin anak-anaknya om. Mereka luar biasa, Om. Om pasti bangga punya anak-anak seperti anak-anaknya om. Met jalan ya, Om."


Saya jadi ingat kutipan yang dulu pernah saya pakai ketika salah satu teman saya meninggal.

Lebih baik kau kirimkan aku sekuntum mawar
Saat aku masih berada disampingmu

Daripada sepelukan mawar
Saat aku terbaring tanpa nafasku

Selamat jalan ya, Om... Tuhan yang akan kasi kekuatan kepada keluarga yang Om tinggalkan. Disana udah nggak sakit lagi kan?

Wednesday, 4 June 2008

12:29 pm

2 komentar ajah:

Surti said...

kalo ada orang yang kita kenal meninggal, baru berasa di ingetin yah kalo kita mesti LEBIH menunjukkan rasa sayang kita ke orang-orang terdeket.

Anonymous said...

Bener banget, Ce Sur.. diingetin lagi tentang QUALITY TIME, hehehe...