Wednesday, September 24, 2008

antara nama dan status

Alkisah, Raditya Dika dan Shakespeare ketemu dan berbincang-bincang.
Shakespeare : What is in a name?
Raditya Dika : Tentu saja ada, Shakespeare idiot. Bayangkan saya kalau nama 'bunga' diganti dengan 'eek', terus gue bakal ngomong ke cewek gue: "Sayang, aku baru saja naruh eek di depan rumahmu." Bisa-bisa dia ilfil.
Shakespeare : ...

Tenang saja, percakapan diatas murni adalah imaginary saya. Karena sedang melintas di kepala saya, apakah sebuah nama itu sungguh berarti? Sebab kenyataannya seorang yang mengaku idiot seperti Raditya Dika ngotot bilang kalau sebuah nama itu penting. Tapi sebenarnya yang ingin saya bicarakan disini bukan 'nama' seseorang atau suatu benda. Tapi status yang menentukan 'nama'.

Umpamanya begini. Pada minggu yang sama, dua pasang suami istri bercerai. Orang-orang menunjuk-nunjuk pada yang sepasang, sibuk berhipotesa apakah perceraian ini karena orang ketiga atau karena sudah bosan atau karena latah saja dan menyebarkan hipotesa-hipotesa (yang kebanyakan negatif) itu pada orang lain, menghakimi perbuatan mereka tanpa terlalu peduli apa yang sebenarnya terjadi di balik perceraian tersebut. Sedangkan untuk sepasang lainnya, mereka menjalaninya dengan lebih tenang, mungkin lebih 'sakral' tanpa perlu bertemu orang-orang yang heboh melihat mereka bercerai. Tak banyak hipotesa, tak banyak penghakiman. Mengapa orang-orang memperlakukan yang satu berbeda dengan yang lainnya? Karena yang satu itu adalah pasangan selebritis, yang hidup pribadinya tidak jauh-jauh dari wartawan media infotainment yang siap mengendus dan mengeluarkan berita apapun biarpun tak nyata asalkan dapat duit dan yang satu adalah pasangan biasa yang tak punya nama, sehingga barangkali jika proses perceraian pasangan biasa ini sampai ke telinga wartawan media infotainment, mereka bakal bilang: "So? Who are they, anyway?"

Atau barangkali tidak perlu selebritis. Di gereja pun, jika ada seseorang yang sangat aktif, orang-orang disana mengenal dia sebagai salah satu pelayan, kemudian suatu hari dia mengatkan sesuatu yang bikin sakit hati orang lain, dosanya akan terlihat lebih besar daripada orang biasa yang tidak terlalu aktif, yang invisible padahal barangkali juga sama-sama baru bikin sakit hati orang lain. Seperti kata uncle Ben di Spiderman 1, "With great power comes great responsibilities."

Saya sendiri sebenarnya berpendapat bahwa semua manusia itu setara, hanya jalan hidupnya saja yang berbeda. Jalan hidup yang berbeda itu yang membuat manusia mengkotak-kotakkan diri mereka sendiri. Ada yang masuk di kotak kaya, masuk di kotak terkenal, masuk di kotak pintar, dsb, dsb. Karena saya berpendapat begitu maka saya tidak mau repot-repot minta tanda tangan atau ngotot foto bareng artis/bintang film/penyanyi *ehm, mungkin kecuali Yosi project pop kali ya..., pasti aku ngotot hehehe*. Saya pasti berpikir: "Hah? Ngapain foto ama mereka? Emang mereka siapa? Hanya karena mereka sering nongol di tipi? Hanya karena mereka sering diteriakin ABG-ABG waktu pentas nyanyi? Hanya karena mereka berstatus artis atau bintang film atau penyanyi? Mereka juga manusia sama kayak saya! Kenapa saya harus mengagung-agungkan mereka?" *saya mulai esmosi, karena nggak ada yang mau foto sama saya! bwahahahaha* Tapi kalau fotonya sama om Putu Wijaya atau Andrea Hirata atau Dewi Lestari atau Yosi project pop, ayo aja deh!

Kenapa om Putu Wijaya? Karena tulisan-tulisan dia sering menyulut rasa nasionalisme yang selalu ada dalam diri saya yang suka melempem. Kenapa Andrea Hirata? Karena dia berani bermimpi dan berjuang untuk mimpinya itu biarpun harus jatuh bangun dalam menggapai mimpinya. Kenapa Dewi Lestari? Bukan, bukan karena dia penyanyi atau pernah kawin dengan Marcell, terus sekarang jadi sorotan dimana-mana gara-gara perceraiannya itu. Tapi karena gaya penulisannya yang segar dan cerdas. Kenapa Yosi project pop? Karena dia GANTENG!!!! Hah??? Ganteng darimana? Dia enggak ganteng ah, tapi lagu-lagu ciptaan dia itu yang bikin keren. Kreatip dan punya message. Enggak kayak lagu-lagu Indonesia sekarang yang cenderung bicara tentang aku cinta kamu apa adanya... atau cinta ini membunuhku.. hiks hiks.. atau jangan, jangan kau menolak cintaku, putuskan saja pacarmu... atau kuingin Tuhan bunuh pacarmu supaya kau jadi milikku *Tuhan, ampuni dia karena dia tidak tahu apa yang dia nyanyikan* (duh pasti kumatiin tivinya langsung kalau ada lagu-lagu kayak gitu sambil huek-huek). Saya akan minta foto bareng mereka supaya momen ketemu mereka bisa saya simpan dalam bentuk yang bisa dilihat. Dan itu bukan karena mereka terkenal/good-looking tapi karena apa yang mereka lakukan yang sudah menginspirasi saya. Tidak semua yang Putu Wijaya atau Dewi Lestari tulis itu saya amini dan telan mentah-mentah. Saya tetap punya filter. Saya tidak akan heboh dengan orang hanya karena dia seleb terkenal atau saya tidak akan bilang setuju jika hati saya mengatakan tidak meskipun yang saya hadapi itu seorang direktur perusahaan terkenal atau boss pabrik besar. Paling banter saya tanggapi hanya dengan mesem. Itu pun kalau saya lagi malas mendebat atau kelihatannya kalau saya tanggapi orangnya bisa tersinggung.

Kalau menurut saya, Shakespeare itu ada betulnya. Tidak penting nama orang itu siapa, yang penting adalah apa yang sudah dia lakukan untuk dunia (baca: orang-orang di sekitar). Tapi Raditya Dika juga benar. Kaerna sebuah nama yang sudah memiliki arti, jika seenaknya diganti, arti dibalik nama itu yang tidak bisa seenaknya diganti.

Jessie means God's gift. Barangkali itu yang ingin papi mami saya ingin sampaikan pada dunia ketika saya lahir. Saya adalah hadiah dari Tuhan buat papi mami saya.

Wednesday, 24 September 2008
10:05 pm

PS: Jadi ingat papi saya yang sudah meninggal... masih banyak yang belum saya lakukan untuknya. Maaf ya papi :(. Tapi papi sudah bahagia kan disana?

2 komentar ajah:

dy_nita said...

kalo foto sama saya gimana Jess?
hahaha...
wes akeh yo? sampe eneg bwahaaha...

Anonymous said...

Loh ayooo... aku sih gak popo, sing moto rasane sing eneg.. bwahahahaha...