Wednesday, March 11, 2009

untuk mereka

Namanya Mar. Barangkali singkatan dari Maria. Atau Mariyati. Bisa juga Sumariani atau Marisa. Tapi tidak mungkin Marwoto, apalagi Marzuki atau Qomar. Ia seorang perempuan tulen. Yang artinya dari dulu sudah perempuan dan sekarang pun masih perempuan. Aku memang tak pernah menanyakan apalagi memperhatikan nama lengkapnya, meskipun nama itu terpampang di dadanya setiap hari, wira-wiri di depan mataku. Ia bekerja di tempat penitipan anak-anak sebagai salah seorang pengasuh.

Baru saja ia melahirkan. Pada suatu kesempatan basa-basi, kutanyakan padanya, siapa yang menjaga bayinya jika ia bekerja. Jawabnya, saya titipkan di tetangga. Aku tertawa. Garing. Tidak tahu apa yang sebenarnya aku tertawakan. Barangkali jawaban dari ibu Mar - yang menunjukkan bahwa hidup terkadang bisa terlihat aneh. Ia mengasuh belasan anak orang lain, sementara anaknya sendiri ia titipkan pada seorang tetangga. Hidup memang berat. Namun ia melambaikan tangan sambil tersenyum saat pamit. Menandakan bahwa meski hidup ini berat, jika dijalani dengan senyum, beratnya dapat sedikit berkurang.

Sebut saja ia Ri. Bukan. Itu bukan nama sebenarnya. Dan yang ini masih seorang perempuan. Ia salah seorang yang paling sensitif yang pernah kukenal. Tapi kesensitifannya tidak pernah membuatku terganggu. Kelihatannya ia seorang yang galak, selalu cemberut dan hanya berteman dengan orang-orang tertentu saja. Yang sesungguhnya, ia orang yang penuh perhatian dan berhati lembut. Diingatnya hari ulang tahun kami semua dengan seksama, sehingga ketika hampir tiba waktunya, ia menjadi
reminder kami.

Suatu hari hatinya robek. Kupingnya mendengar sesuatu yang kurang enak tentang dirinya. Dan sesuatu yang kurang enak itu justru datangnya dari orang-orang yang baru mengenalnya beberapa hari. Ia masih tersenyum ketika menceritakan hal itu padaku, tapi aku tahu hatinya terkoyak. Betapa menyakitkannya sebuah penghakiman tanpa alasan yang kuat. Ia memang pendiam. Ia memang tak banyak bicara. Barangkali ia bekerja lebih serius daripada kami sehingga wajahnya pun tak tampak ramah. Tapi ia salah seorang tersabar yang pernah kukenal. Sakit hatinya bukan main pada waktu itu, namun masih kulihat senyumnya bahkan kepada orang-orang yang sudah mengeluarkan pernyataan tak sedap tentang dirinya. Dua ibu jari.


Untuk mereka yang diperlakukan tidak adil tapi masih bisa tersenyum. Untuk mereka yang terhakimi dengan semena-mena tapi masih bisa tertawa. Untuk mereka yang hidupnya tidak jauh-jauh dengan penderitaan tapi masih bisa menikmati hari. Mereka-lah yang seharusnya diberikan hormat. Atas bagaimana mereka menjalani hidup mereka, bukan pada level apa posisi mereka.

Thursday, 12 March 2009
12.25 am

4 komentar ajah:

rikes said...

pertamax
huahahaha
so sweet..
nice writing, aku baru melihat gaya tulisanmu yang seperti ini ce, biasanya kan semi curhat
wkakakaka
n____n

Anonymous said...

premium
hahahaha..
maacih
nice yah? serius nih? serius loe?? masa sih?? bwahahahaha
kayak apa aja..

Anonymous said...

a very nice thought

Anonymous said...

Hai, None.. thank you.