Tuesday, December 15, 2009

saya nggak benci dia

Saya membaca kalimat itu, tapi sama sekali tidak terpikirkan bahwa saya akan memikirkannya sampai beberapa hari ke depan.

Bunyi kalimatnya begini: "Kasihilah seterumu; Peduli amat?"

Iya. Saya = "Peduli amat?" Saya duduk di bangku belakang organ karena bertugas mengiringi dan saya duduk manis mendengarkan khotbah hari Minggu itu.

Saya tahu. Saya tahu bahwa sebagai orang Kristen saya seharusnya mengasihi orang yang membenci saya atau orang yang saya benci atau orang yang mbencekno. Saya tahu bahwa kalau saya hanya menyayangi mereka yang baik pada saya, saya sama saja dengan orang-orang 'biasa' lainnya. Saya juga tahu bahwa lebih baik saya mendoakan berkat buat orang yang saya benci, bukan malah merencanakan balas dendam. Saya juga tahu bahwa saya diperintahkan seperti itu not for my enemy's sake, tapi for my sake; supaya saya bisa tidur tenang tiap malam, supaya saya enggak melulu berpikiran jelek tentang orang-orang tertentu. Dan saya tahu bahwa mengasihi dan mendoakan orang yang saya benci itu NGGAK REALISTIS.

Saya pernah begitu percaya dengan seseorang. Saya menganggap dia paling mengerti saya. Dia sahabat saya sekaligus saudara saya biarpun enggak ada ikatan darah. Dan saya enggak pernah (ini betul, saya tidak berlebihan) ngomong jelek di depan atau di belakangnya dengan maksud serius. Tapi ada satu waktu. Satu waktu yang kalau barangkali memang sudah waktunya kamu akan beranggapan bahwa seseorang yang kamu percaya dan kamu anggap sahabat ternyata tidak sesuci dan semulia yang kamu kira. Ada satu waktu kamu berpikir bahwa kamu totally wrong tentang dia. Bahwa ternyata dia sama sekali enggak memahami kamu, dan lebih lagi kamu menemukan juga bahwa dia itu backstabber.

Dan satu waktu itu, ketika saya mengalaminya sendiri, saya harus akui. Itu adalah saat dimana saya pernah membenci orang sepanjang hidup saya. Bahkan melihat wajahnya pun saya muak. Dengar suaranya pun bisa bikin perut saya mual. Membaca statusnya di facebook pun bisa bikin saya pengen banting komputer (untung saya masih punya akal sehat). Saya pernah menangis semalaman gara-gara bertengkar dengan dia. Saya menangis karena saya membodohi diri saya sendiri karena sudah begitu percaya padanya. Seumur-umur, baru kali itu saya rasakan. Dan memang benar. Rasa benci bisa lebih kuat berkali-kali lipatnya daripada rasa-rasa lainnya. Dan rasa benci itu betul-betul seperti racun yang menggerogoti dirimu pelan-pelan.

Ada banyak hal, banyak pemikiran dan banyak ucapan yang bisa bikin saya berpikir normal kembali. Tidak. Saya masih belum bisa melupakan apa yang terjadi di malam naas itu, tapi paling tidak saya merasa saya tidak membencinya. Saya sudah bisa melihat wajahnya. Sudah bisa ngomong santai kalau ketemu dengannya. Dan sudah enggak kepengen banting komputer kalau baca statusnya di facebook. Tapi ada satu rasa baru. Saya enggak benci dia. Saya cuma kehilangan rasa percaya atas dirinya. Dan rasa ini menimbulkan konsekuensi baru: sebisa mungkin saya nggak mau melakukan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebisa mungkin. Bahkan jika di suatu waktu, saya harus ke toilet dan nggak ada orang lain yang barangkali bisa dititipin anak saya selain dia, saya akan memilih untuk membawa anak saya ke toilet daripada saya nitipin anak saya ke dia.

Saya nggak bisa tidur cuma semalam itu saja setelah pertengkaran dengannya. Selebihnya saya bisa tidur nyenyak. Saya bisa makan banyak. Intinya, saya nggak mengalami apa-apa saja yang biasanya dialami oleh orang yang punya musuh dan rasa benci yang berurat dan berakar. Yang saya masih nggak bisa lakukan adalah: saya nggak bisa mendoakan berkat buat dia. Ini bikin saya miris. Kenapa? Karena saya tahu apa yang baik dan benar untuk dilakukan, tapi saya nggak bisa melakukan. Saya bukan malaikat. Saya bukan orang suci.

Saya tanya sama Tuhan: Tuhan, apa kalimat itu buat saya? Kalau betul, maafin saya, Tuhan.. kasi saya sedikit waktu lagi, supaya saya bisa betul-betul lupa dan bisa ngedoain dia. Saya enggak benci dia. Saya cuma kehilangan rasa percaya.

Barangkali itu pe-er buat saya untuk sebuah resolusi di tahun yang baru.

Tuesday, 15 December 2009
1:04 pm

4 komentar ajah:

rikes said...

erm...
hehehehe
khotbah minggu yah?
saia juga dengar.
perintah Tuhan itu emang gak masuk akal.
ngucapin berkat buat orang yang nyakitin kita?
WT*!!!
udah untung kalo dia masi bisa menunjukan batang hidungnya ke kita
hehehehehe
tapi mengampuni itu emang gak cukup ngampunin aja, tapi juga ngelupain *kata pemimpin komsel saia lho, bukan saia... beneran bukan saia...*
artinya,dari pada bawa anak ke wc, mending titipin sama dia aja.
n____n
like i said, gak masuk akal banget, tapi like you said, kalo Tuhan itu masuk akal, trus apa yang membedakan dan membuat dia jadi Tuhan?
hehehehe

REYGHA's mum said...

Memaafkan memang sulit ya...tapi kalo mau dendam juga jadi cape sendiri. Kalo sakit badan ada obatnya yang mesti diminum, tapi menurutku sih kalo sakit hati obatnya yah waktu dan semangat untuk memaafkan ya ngga?

inge said...

aku lbh setuju dg cara pikir: Memaafkan tanpa Melupakan. kayak yg ada di renungan harian minggu kmrn. Seperti kata Yusuf: "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar" (Kej 50:20). Yusuf nggak melupakan perbuatan buruk sodara2nya, tapi Ia melihatnya dengan cara baru dari sudut pandang Allah.

jc said...

@Rikes: mentang2 dengerin khotbah yang sama nihhh.. hehehehe... tapi kayaknya saat ini, aku masih prefer bawa anak ke toilet daripada dititipin ke dia dehh...

@Reygha's Mum: Dendam sih enggak yah, cuma ini mentok sampe ngga mau berurusan dengannya, jadi kayaknya sih masih butuh obat (waktu dan semangat itu tuh hehehe) nih...

@Inge: Thanks banget, Nge!!! U made my day!!!! Bener bangetttt!!! (ini akibat ngga sate di hari Minggu). Dalam bbrp kasus biasanya lebih mudah buat aku untuk memaafkan dan melupakan daripada memaafkan dan tidak melupakan melainkan melihat dari sudut pandang baru. Tapi dalam kasus ini, sepertinya memang cara Yusuf yang paling tokcer! Thanks banget, Nge!! ;))