Thursday, May 20, 2010

tentang naskah, penulisnya dan teater

Saya nggak tahu mulai kapan saya suka dunia teater. Saya juga nggak ingat sejak kapan saya menulis naskah drama. Tapi saya baru sadar bahwa hidup saya enggak jauh-jauh dari bikin naskah drama sejak beberapa minggu terakhir ini. Enggak, saya enggak lagi show-off, nunjukin kalau saya pinter banget bikin naskah drama. Menurut saya, naskah drama saya nggak ada apa-apanya dibandingin naskah dramanya Putu Wijaya atau WS Rendra atau Remy Silado. Oopss.. jauh ya? Jangankan mereka, menurut saya naskah drama saya masih enggak ada apa-apanya dibandingkan senior saya yang sekarang tinggal di San Jose, amrik sono. Jauh banget dah. Kalau sampai sekarang saya masih diminta bikin naskah saya kira barangkali itu karena dua hal. Satu, saya yang lebih sering available untuk dimintain tolong. Dua, saya orangnya kan baik hati dan enggak sombong, jadi susah nolak permintaan orang *hohohoho*.

Seingat saya, sejak kecil saya memang suka menulis drama. Saya ingat karena saya pernah nemu tulisan saya lima putri di sebuah negeri yang ditinggal orang tuanya dan kerajaannya hendak diambil alih oleh kepala rumah tangga kerajaan. Yang saya enggak nemu adalah akhir ceritanya, jadi entah naskah itu terselesaikan atau tidak, saya enggak tahu. Terus pernah juga waktu kelas dua SMP, ketika guru bahasa Indonesia menyuruh kami untuk bikin kelompok dan mentasin drama di kelas, saya pula yang tulis naskahnya untuk kelompok saya. Tapi saya sama sekali enggak ingat tentang apa tulisan saya itu. Terus waktu kecil saya juga suka sekali mainan boneka kertas yang baju-bajunya bisa diganti-ganti. Biasanya saya beli banyak-banyak tapi orang-orang yang saya pakai cuma dua atau tiga biji alias itu-itu aja. Kemudian dari dua atau tiga biji orang-orangan kertas itu saya mulai bikin cerita. Ceritanya memang hanya di kepala saya aja, tapi saya ingat saya menikmati betul saat-saat bermain boneka kertas murahan itu. Rasanya pe-er dan segala tetek bengeknya bisa saya tinggalkan hanya untuk main-main dengan boneka-boneka kertas yang kepalanya gampang putus itu (dan biasanya saya isolasi kembali). Ketika saya akhirnya beneran nulis naskah untuk dipentasin dan ditonton orang banyak, naskah pertama saya aneh banget dan rasanya enggak heran memang kalau waktu itu ada satu orang di gereja saya yang ketawa-ketawa sambil ngomong: "kamu pakai kata 'kau' terlalu banyak nih". Setelah saya baca lagi, emang iya sih, dan saya jadi ikutan ketawa. Dari satu naskah yang dipentasin jadi dua. Dari dua menjadi tiga. Sampai sekarang entah udah berapa naskah yang dipentasin, saya enggak sempet ngitung, bukan karena saking banyaknya jadi enggak bisa dihitung.

Dulu di awal-awal saya bikin naskah untuk dipentasin, saya masih ikut-ikut bantuin sutradara tanpa diminta (orang Pekalongan bilang "ngerusuhi"). Kalau sutradara atau pelatih menginterpretasikan naskah saya lain dari yang saya maksudkan maka saya akan bilang ke mereka kalau maksud saya (yang nulis) bukan begitu. Tapi berangsur-angsur pula saya belajar, bahwa penulis naskah sebetulnya sama sekali tidak punya kuasa untuk mengatur sutradara dalam mementaskan naskah si penulis. Penulis naskah boleh memberi masukan kepada sutradara tapi enggak boleh maksa masukannya diterima. Misalnya, naskah untuk peran A sebenarnya dimaksudkan untuk 1 orang saja, tapi oleh sutradara dimainkan menjadi 3 orang untuk peran A, itu adalah interpretasi dan improvisasi sutradara yang sudah enggak menjadi hak si penulis naskah untuk protes. Penulis naskah baru boleh marah kalau dialog yang sudah ditulis diputarbalikan, dimodifikasi hampir lebih dari separo dan inti dan alur cerita jadi tidak sama lagi, tapi pementasan tetap jalan dengan judul yang sama. Itu sama saja dengan menggunakan naskah baru dengan judul lama. Makanya sekarang ini kalau naskah saya dipilih untuk dipentaskan saya betul-betul akan menyerahkan semuanya ke sutradara, walaupun (ini bener, saya enggak bohong) mulut saya pengen ngomong banyak kalau ada sesuatu yang menurut saya nggak pas dengan yang saya inginkan. Barangkali ini bentuk lain dari sebuah kebanggaan berlebihan yang harus saya hilangkan ;(.

Yang menarik dari ikutan teater adalah kadang-kadang kami dibilang orang-orang aneh. Saya sendiri enggak tahu kenapa. Tapi kalau ditanya apa sih menariknya berakting di atas panggung teater? Maka jawab saya (dan barangkali pemain-pemain teater lainnya) adalah begini. Panggung teater jadi sebuah tempat yang asyik banget karena disana kami bisa jadi apapun yang mungkin enggak pernah kami bayangkan sebelumnya. Jadi orang gila? Jadi pelacur? Jadi ibu-ibu tua yang suka marah-marah? Jadi orang yang buta tuli? Semuanya bisa. Apapun yang enggak bisa dilakukan dalam keseharian bisa dilakukan di atas panggung. Ini yang bikin menarik! Ini yang bikin asyik! Tapi ini pula yang barangkali penyebab kami dibilang orang-orang aneh (asal jangan dibilang orang-orangan sawah aja), karena kami menikmati peran jadi orang lain di luar diri kami sendiri. Jujur aja, latihan buat sebuah pementasan (besar atau kecil sama aja) itu cukup berat. Saya suka dengan klub teater di gereja saya karena pementasannya enggak sekedar drama meja kursi yang ceritanya melulu tentang keluarga atau sepasang suami istri yang suaminya kecewa pada gereja, dsb, tapi klub teater di gereja saya lebih senang mementaskan sesuatu yang kontemporer, yang menyebabkan jemaat yang menonton ikutan berpikir ini drama maksudnya apa. Kalau jemaat masih bingung, pendeta yang berkhotbah bisa membantu menginterpretasikan isi drama tersebut. Selain itu - ini yang menurut saya cukup istimewa - penggunaan microphone (baik wireless maupun tidak) adalah tabu hukumnya. Jadi para pemain dipaksa belajar vocal sehingga mengucapkan dialog pun harus menggunakan suara perut, lebih bagus lagi diafragma. Supaya seluruh penonton dalam gedung gereja (yang akustiknya sangat enggak bagus ) dapat mendenger kata per kata yang diucapkan. Dulu saya pikir suara perut kayak begitu cuma digunakan untuk paduan suara atau nyanyi, tapi ternyata enggak juga. Yang boleh dipakai hanya standing microphone yang nggak akan mengganggu gerak-gerik pemain. Pokoknya pemain enggak boleh pegang microphone atau menggunakan wireless microphone. Yang menempel di tubuh pemain adalah yang ada hubungannya dengan peran dia. Pelatih yang sekarang bilang sebabnya enggak boleh pakai microphone adalah mengganggu estetika panggung dan saya setuju. Masa ada orang gila bawa-bawa microphone kemana-mana?

Secara pribadi, kalau saya ditanya, dalam sebuah pertunjukkan teater, apa yang paling bisa dibanggakan? Saya nggak akan menjawab pementasannya atau akting para pemainnya atau dekorasi panggungnya atau make-up pemain yang keren atau sound system yang bagus atau lighting yang memukau atau kostum panggung. Sebaliknya saya akan bilang, sebuah pertunjukan teater yang sukses adalah pertunjukkan dimana kerjasama antara pemain dan kru di balik layar dapat saling mengisi dengan baik. Bagaimana mereka bekerjasama itu menentukan kesuksesan pertunjukan. Dan kerjasama yang baik membutuhkan tiupan dari Surga. Betul semua yang saya sebutin diatas itu sangat mendukung, tapi jika orang-orangnya enggak bisa bekerjasama dengan baik dan enggak membutuhkan tenaga dari Yang Di Atas, pementasan itu enggak akan punya nyawa.

Tulisan ini saya persembahkan buat temen-temen seperjuangan saya di Teater Imaji, Surabaya yang lucu-lucu, yang gemar membuat orang tertawa dan pementasan-pementasannya enggak kalah lucu dari extravaganza, srimulat dan opera van java dijadiin satu *haiyah*. Jangan menyerah. Jangan manja. Jangan berhenti. Jangan menyerah selagi nafas kalian masih ada, selagi semangat itu masih ada, selagi dunia ini belum kiamat. Jangan manja karena kemanjaan adalah bentuk lain dari kemalasan, karena hanya orang malas lah yang enggak pernah kepengen untuk maju. Jangan berhenti bekerja serabutan dan saling tolong menolong dan tetep yang terbaik yang diberikan. Jangan. Setengah-setengah hanya untuk orang biasa, padahal kita semua tahu kita orang biasa yang jadi luar biasa karena Dia yang nyiptain kita semua. (Lama-lama ini tulisan jadi kayak pidato presiden di hari Kebangkitan Nasional deh..)

Suatu hari nanti. Suatu hari. Suatu hari saya kepengen jadi penulis naskah yang bisa bikin cerita sekeren... 24 ;) *maap lagi tergila-gila 24 soalnya*
.

Sunday, 23 May 2010
2:14 pm
after two exhausting days

PS: gambar paling atas saya ambil dari sini, yang lain-lainnya milik pribadi ;)

4 komentar ajah:

REYGHA's mum said...

Wuih...hebat lho penulis naskah itu...tapi iya yah sbuah pertunjukkan bakal sukses kalao semua pihak menjalankan perannya masing2 dengan baik. Termasuk kru dibelakang layar. Jadi sutradara itu boleh improvisasi yah walaupun naskahnya udah ada ....walah aku malah ngga tahu lho...kalau soal teater aku pernah ikutan latihan termasuk nafas perut itu hiii tapi sayang ngga pernah pentas....kesian deh.. (panjang amat koment nya....gpp ya Jes skalian curhat)

alice in wonderland said...

Punya bakat dan kemampuan menulis itu aja udah bersyukur banget lhoh^^ Kalau aku yang jadi penulis naskah aku mungkin sama kayak kamu, apalagi aku ni orangnya rada perfeksionis, jadi kalo ga tepat seperti yang aku inginkan rasanya gak rela^^

jc said...

@Reygha's Mum: lho kenapa ga pernah pentas? Kan sayang tu udh capek2 latihan kan hehehe
@Alice: iya sih, tp kadang2 improvisasi sutradara bisa bikin naskah jadi lebih hidup ;)

Karel said...

I have no idea what you're saying but I wanted to thank you for linking to The Story Department!

Cheers,

Karel Segers