Seekor anak kucing mati di pinggir jalan. Entah sepeda motor atau kendaraan roda empat menyerempetnya tanpa ampun sehingga ia tergeletak begitu saja dengan usus memburai. Setiap orang yang lewat mengernyitkan hidungnya jijik. Ada juga yang langsung lari menghindari mayat binatang malang itu. Sampai seorang perempuan muda lewat dan mendekatinya.
Ia menatap anak kucing itu lama-lama, seperti tidak peduli dengan bau yang sudah menyengat menghampiri cuping hidungnya. Kemudian ia menangis. Mulanya hanya satu-dua tetes lewat diatas pipinya, tapi kemudian ia sesenggukan. Orang-orang mulai heran melihat seorang perempuan muda berdiri dekat anak kucing yang mati sambil menangis. Mereka mengira anak kucing ini peliharaan perempuan muda itu.
Tapi mereka salah.
Anak kucing dan perempuan muda tadi tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah jika tidak ada hubungan maka tidak ada urusan dengan emosi? Belum tentu. Perempuan muda tadi contohnya. Ia masih disitu. Menangis sesenggukan sambil terus menatap si anak kucing - tidak peduli dengan orang-orang yang lewat. Dan ketika menit demi menit berlalu dan perempuan itu masih saja disitu, orang-orang mulai berpikir dia tidak waras karena menangisi anak kucing yang mati di pinggir jalan. Toh masih banyak anak kucing lainnya. Yang butuh tempat perlindungan dan makanan. Yang tidak berwarna cokelat kotor seperti yang mati tadi.
Namun itu toh yang hanya berhasil dilihat oleh mata manusia. Dalam hati perempuan muda itu, siapa yang tahu?
Perempuan itu tidak menangisi si anak kucing yang mati. Ia hanya teringat masa lalu. Ketika anak kucingnya terserempet mobil ayahnya hingga mati dan lehernya hampir terputus. Ia ingat betapa sedihnya hatinya melihat anak kucingnya mati. Itu terjadi ketika ia masih duduk di bangku SMP. Suram sekali hari itu.
Tapi lagi-lagi, ia sesenggukan bukan hanya karena teringat anak kucingnya yang mati bertahun-tahun yang lalu. Ia sesenggukan karena mengingat masa-masa yang sudah lalu itu. Ia teringat pergi ke pantai dengan ayahnya. Ia teringat membuat panik ayahnya saat belajar mengendarai sepeda motor. Ia teringat benda-benda yang dibelikan ayah tanpa sepengetahuan ibunya. Ia teringat dibelikan soto ayam belakang gereja oleh ayahnya sepulang sekolah atau nasi gudeg malam-malam selepas pulang dari kursus. Ia teringat kumis ayahnya selalu menggoda dan menggelitik pipinya. Ia teringat ayahnya.
Dan karena ia teringat ayahnya itu pula ia sesenggukan. Hari-hari dimana ia tidak mengerti kenapa ayahnya selalu ingin tahu tentang teman-teman lelakinya? Kenapa ayahnya terobsesi memelihara kumis? Kenapa kulit ayahnya hitam padahal saudara-saudaranya tidak? Kenapa ayahnya tahu cerita-cerita dan skandal yang terjadi sampai sudut kota? Kenapa ayahnya tidak pernah terus terang jika ia punya masalah? Dan kenapa ayahnya meninggalkannya sebelum melihat cucunya?
Perempuan itu rindu ayahnya. Sesenggukan di jalan di depan anak kucing yang mati bukan berarti ia menangisi anak kucing itu. Ia hanya tiba-tiba rindu. Dan rindu selain datang tanpa memberitahu, tidak bisa diredam, apalagi diabaikan atau ditunda.
Karena itu lah, ketika ia puas sesenggukan, ia langkahkan kakinya ringan dan mengerti bahwa akan selalu ada manusia-manusia sok tahu, yang walaupun tidak betul-betul tahu apa yang ada dalam pikirannya tapi merasa tahu sambil mulutnya menggumam: “Orang gila.”
Thursday, 24 June 2010
11:01 am
Ia menatap anak kucing itu lama-lama, seperti tidak peduli dengan bau yang sudah menyengat menghampiri cuping hidungnya. Kemudian ia menangis. Mulanya hanya satu-dua tetes lewat diatas pipinya, tapi kemudian ia sesenggukan. Orang-orang mulai heran melihat seorang perempuan muda berdiri dekat anak kucing yang mati sambil menangis. Mereka mengira anak kucing ini peliharaan perempuan muda itu.
Tapi mereka salah.
Anak kucing dan perempuan muda tadi tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah jika tidak ada hubungan maka tidak ada urusan dengan emosi? Belum tentu. Perempuan muda tadi contohnya. Ia masih disitu. Menangis sesenggukan sambil terus menatap si anak kucing - tidak peduli dengan orang-orang yang lewat. Dan ketika menit demi menit berlalu dan perempuan itu masih saja disitu, orang-orang mulai berpikir dia tidak waras karena menangisi anak kucing yang mati di pinggir jalan. Toh masih banyak anak kucing lainnya. Yang butuh tempat perlindungan dan makanan. Yang tidak berwarna cokelat kotor seperti yang mati tadi.
Namun itu toh yang hanya berhasil dilihat oleh mata manusia. Dalam hati perempuan muda itu, siapa yang tahu?
Perempuan itu tidak menangisi si anak kucing yang mati. Ia hanya teringat masa lalu. Ketika anak kucingnya terserempet mobil ayahnya hingga mati dan lehernya hampir terputus. Ia ingat betapa sedihnya hatinya melihat anak kucingnya mati. Itu terjadi ketika ia masih duduk di bangku SMP. Suram sekali hari itu.
Tapi lagi-lagi, ia sesenggukan bukan hanya karena teringat anak kucingnya yang mati bertahun-tahun yang lalu. Ia sesenggukan karena mengingat masa-masa yang sudah lalu itu. Ia teringat pergi ke pantai dengan ayahnya. Ia teringat membuat panik ayahnya saat belajar mengendarai sepeda motor. Ia teringat benda-benda yang dibelikan ayah tanpa sepengetahuan ibunya. Ia teringat dibelikan soto ayam belakang gereja oleh ayahnya sepulang sekolah atau nasi gudeg malam-malam selepas pulang dari kursus. Ia teringat kumis ayahnya selalu menggoda dan menggelitik pipinya. Ia teringat ayahnya.
Dan karena ia teringat ayahnya itu pula ia sesenggukan. Hari-hari dimana ia tidak mengerti kenapa ayahnya selalu ingin tahu tentang teman-teman lelakinya? Kenapa ayahnya terobsesi memelihara kumis? Kenapa kulit ayahnya hitam padahal saudara-saudaranya tidak? Kenapa ayahnya tahu cerita-cerita dan skandal yang terjadi sampai sudut kota? Kenapa ayahnya tidak pernah terus terang jika ia punya masalah? Dan kenapa ayahnya meninggalkannya sebelum melihat cucunya?
Perempuan itu rindu ayahnya. Sesenggukan di jalan di depan anak kucing yang mati bukan berarti ia menangisi anak kucing itu. Ia hanya tiba-tiba rindu. Dan rindu selain datang tanpa memberitahu, tidak bisa diredam, apalagi diabaikan atau ditunda.
Karena itu lah, ketika ia puas sesenggukan, ia langkahkan kakinya ringan dan mengerti bahwa akan selalu ada manusia-manusia sok tahu, yang walaupun tidak betul-betul tahu apa yang ada dalam pikirannya tapi merasa tahu sambil mulutnya menggumam: “Orang gila.”
Thursday, 24 June 2010
11:01 am
Catatan hari ayah yang terlambat beberapa hari.