Thursday, February 17, 2011

hadiah

Hadiah itu kuterima dengan hati senang. Biarpun aku tak tahu isinya apa. Biarpun aku tak tahu aku akan suka atau tidak isi hadiah itu. Menerima hadiah, biarpun dibungkus dengan koran bekas pun hatiku tetap senang. Apalagi jika jumlah yang diterima lebih dari satu. Dan senangnya akan bertambah seiring jumlah hadiah yang diterima.

Aku hanya bingung. Hari ini toh bukan hari ulang tahunku. Bukan juga hari Valentine. Juga bukan hari jadiku dengan kekasihku. Lantas kenapa sahabatku ini memberiku hadiah?

"Selamat hari biasa-biasa saja!" Begitu ujarnya. Bikin aku semakin mengerutkan kening dan penasaran dengan isi bungkusan berpita di tangannya itu.

"Kalau memang hari ini hari biasa-biasa saja, untuk apa kau beri aku kado?" tanyaku heran.

Ia hanya terbahak sesaat tapi kuluman senyumnya tetap misterius. Menandakan bahwa ia senang betul membuatku penasaran setengah mampus. "Menurutmu?" Ia malah balik bertanya.

Otakku kembali kupaksa bekerja keras. Apakah ini hadiah ulang tahunku yang terlambat? Tapi tidak. Di ulang tahunku yang terakhir ia memberiku hadiah yang tak terduga indahnya.

Waktu itu bahkan sempat kubilang padanya, pada sahabatku itu. "Kenapa orang-orang memaksa memberiku gaun dan sepatu yang mahal jika aku tidak memerlukannya? Pernahkah mereka berpikir bahwa hanya membutuhkan satu buku cerita yang barangkali harganya 3 kali lipat lebih murah daripada hadiah-hadiah mahal itu untuk membuatku senang di hari ulang tahunku?"

"Pernahkah kau katakan pada mereka bahwa kau lebih menginginkan buku daripada barang-barang mahal itu?" sahutnya

Aku menggeleng. Aku tak mau bilang padanya bahwa menurutku hadiah yang diminta tak lagi merupakan hadiah tapi sebuah pemberian. Ada nilai yang jauh lebih istimewa pada sebuah hadiah dibandingkan dengan sebuah pemberian hasil meminta.

"Sebuah hadiah yang sejati," kataku, "harus mengandung setidaknya dua unsur, yaitu kejut dan cinta. Jika dua unsur itu dibungkus bersama dengan hadiahnya, niscaya hadiah itu menjadi istimewa."

"Tidak perlu mahal?" tanya sahabatku lagi.

Aku menggeleng dengan cepat dan pasti. "Tidak," jawabku, seolah gelengan kepala yang kuat saja tak cukup. "Kejut dan cinta. Itu saja sudah cukup."

Dan sahabatku hanya membisu. Bisu yang misterius. Entah ia paham atau tidak apa yang sudah kuocehkan waktu itu.

"Jadi ini hadiah di hari biasa-biasa saja?" tanyaku lagi.

Sahabatku itu mengangguk.

"Apa isinya?"

Sahabatku tertawa lagi. "Dimana unsur kejutnya kalau kautanyakan isinya, sobat?"

Aku ikut tertawa. "Baiklah, satu unsur terpenuhi. Bagaimana dengan cinta?"

Kali ini sahabatku mengatupkan geraham, seolah pertanyaanku seperti pisau yang telah menusuk hatinya dan tusukannya begitu menyakitkan. "You broke my heart."

"I'm sorry," kataku sambil tersenyum.

Ia tersenyum melihat senyumku. Ia selalu begitu. "Jika bukan karena cinta, aku tidak akan memberimu hadiah di hari biasa macam begini."

Aku tertawa lepas. Sahabatku memang luar biasa. "Oke, jadi dua unsur terpenuhi. Boleh kubuka sekarang?"

Hanya sudut matanya yang bergerak, membahasakan ijin yang kuperoleh untuk membuka hadiahnya di hari yang biasa-biasa ini.

Mataku terbelalak lebar, terpana menatap hadiahnya.

"Aku tidak pernah meminta barang ini," kataku.

"Aku tahu."

"Aku juga tidak pernah cerita apa-apa tentang ini."

"Memang tidak."

"Aku tidak pernah minta hadiah di hari yang biasa-biasa saja. Hadiah seharusnya diberikan di hari yang istimewa."

Sahabatku memandangku lama. "Memang. Tapi menurutku memberikan hadiah adalah hak. Jadi aku punya hak untuk memberimu hadiah di hari yang biasa-biasa saja seperti hari ini. Negara melindungiku untuk melakukan ini."

Aku mengejapkan mataku tak percaya. Dari segala analogi, hipotesis maupun definisi yang mungkin ada di dunia ini tentang ini, tak sekalipun lewat di otakku bahwa memberikan hadiah adalah sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara.

"Jadi aku juga berhak menolak hadiah ini?" tanyaku polos.

Ia mengangguk. "Tentu saja. Pertanyaannya hanya dua. Satu, apakah kau akan melakukannya? Dua, jika kau melakukannya, apa yang membuatmu melakukannya?"

"Karena aku tidak mau kau repot-repot memberikanku hadiah di hari biasa-biasa saja seperti hari ini?"

Ia mendengus. "Untuk apa jadi manusia kalau tidak mau repot-repot? Hidup manusia ini diciptakan untuk saling merepotkan, Sobat. Bisa kau bayangkan jika seluruh manusia di bumi ini tidak mau saling merepotkan? Bisa? Aku tidak."

Aku hanya dapat menatapnya lekat-lekat. Dan sekali lagi kusadari betapa sayang aku dengan sahabatku. Beberapa detik kemudian kupeluk ia. Erat.

Dan ditengah-tengah pelukan kami, ada hadiah.

Sepasang kaus kaki.

Karena ia melihat lubang besar di kaus kaki yang selalu kupakai.

Thursday, 17 February 2011
12:07 am

3 komentar ajah:

Grace Receiver said...

Hehe... Kamu memang jago bikin tulisan yang bikin orang penasaran. Ternyata kaos kaki.

hubby said...

yang udah tahu latar belakang idenya... jadi gak usah comment lagi ya... :P

Ariyanto S. said...

Harga termahal dari sebuah pemberian adalah, pengorbanan.