Monday, February 14, 2011

hari yang baik untuk mati

Hari ini, jika bisa diwakili oleh sebuah warna, barangkali warna yang paling tepat adalah hitam keabu-abuan. Hari dimana sebuah pikiran mampir di benaknya bahwa mati barangkali lebih baik daripada hidup.

Banyak orang takut mati. Sebagian besar mengakuinya, namun sisanya bilang bukan kematiannya yang ditakuti tapi bagaimana cara mereka mati. Ia berpikir, kematian seperti gentayangan menakuti semua orang karena orang-orang itu tidak tahu ada apa dibalik kematian itu? Kemana jiwa mereka pergi? Masih bisakah mereka melihat orang-orang yang mereka cintai? Mereka kenal? Masih bisakah mereka membenci orang-orang yang mereka benci waktu mereka hidup? Atau masih bisakah mereka menyeruput minuman favorit masing-masing?

Hari ini, ia tidak peduli. Hari ini, menurutnya, hari yang baik untuk mati. Seorang teman pernah berandai-andai bahwa ada hari yang indah untuk mati. Dimana cuaca demikian bagus. Udara demikian segar. Segala sesuatu berjalan dengan baik. Orang-orang yang dicintainya ada disitu semua. Tapi jika semuanya begitu indah, ia berkilah pada temannya, mengapa harus mati? Hari ini, dimana segala sesuatu tidak ada yang beres, adalah hari yang baik untuk mati. Umpama sebuah ruangan, maka yang biasa tersusun rapi di ruangan tersebut, terjungkir kesana-kemari. Tempat tidur yang biasanya berada di dekat dinding, ada di tengah-tengah ruangan, merusak estetika interior. Kunci mobil yang harusnya ada diatas rak supaya mudah dijangkau ada di bawah kolong sofa, entah siapa yang iseng menaruhnya disitu. Buku-buku yang tersusun rapi menurut abjad, tiba-tiba tercecer hingga ke ujung-ujung ruangan.

Seperti itulah.

Belum keluar dari rumah saja ia merasakan yang tidak biasa. Pengamen yang biasanya tidak boleh masuk dalam kompleks rumahnya tiba-tiba ada di depan rumahnya menyanyikan sesuatu yang tak jelas dan tentu saja mengganggu telinganya. Dan ketika diusir, pengamen itu malah mengoceh dengan kata-kata kasar. Dalam perjalanan menuju ke tempat kerjanya, seharusnya menjadi sesuatu yang biasa jika ada kendaraan umum yang mendadak berhenti tanpa tahu aturan sehingga ia juga harus mendadak mengerem mobilnya. Ada orang-orang bodoh yang memarkir di pinggir jalan sempit, menyebabkan kemacetan konyol yang selalu bikin ia jengkel. Ada tukang koran di perempatan lalu lintas yang memaksa untuk membeli korannya walaupun ia tidak ingin. Dan semuanya tiba-tiba bikin ia capek. Ia lelah dituntut untuk selalu mengerti keadaan mereka. Kasihan supir kendaraan umum itu, jangan diomeli. Mereka masih bekerja di bawah sinar terik matahari, deras berpeluh sementara mungkin kau sudah duduk di ruangan ber-pendingin. Begitu kata seorang teman jika ia mulai mengomel tentang kendaraan umum yang sepertinya bebas dari peraturan lalu lintas jalan raya. Ia capek untuk terus-menerus mengerti bahwa tukang koran itu hanya sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya barangkali, dan pekerjaan yang ia lakukan jauh lebih menyenangkan daripada tukang koran brengsek itu. Ia capek untuk harus selalu mengerti apa yang sekiranya salah di matanya, tapi sepertinya tidak ada yang melakukan hal yang serupa terhadapnya. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin menjadi makhluk egois. Yang tidak perlu memikirkan orang lain.

Di kantor, mendadak semuanya salah. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya, ia membenci hari kerjanya. Tapi hari ini, ia begitu rindu akhir pekan. Akhir pekan yang tidak akan berakhir. Tanpa peduli lagi bahwa sesuatu yang abadi hanya milik Yang Abadi dan jika ia memiliki sesuatu yang tidak memiliki akhir maka cepat atau lambat ia akan bosan.

Hidup menjadi sesuatu yang tak lagi menarik. Petualangan yang ada di dalamnya sudah tak lagi seru. Hari ini, hari yang baik untuk mati.

Karena itu, ia keluar kantor, membawa mobilnya kencang-kencang. Entah kemana. Ia ingin lepas. Ingin bebas dari penat yang mengganggu. Dan jika kematian adalah jawabnya, ia tidak keberatan untuk itu.

Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia ada di bandara. Toh tidak ada yang perlu dijemputnya hari ini. Ia juga tidak berencana pergi kemana-mana. Tapi disanalah ia, seolah-olah bandara adalah tempat sakral yang bisa mengembalikan akal sehatnya supaya bisa berpikir waras lagi padahal disanalah tempat perpisahan biasa terjadi.

Hari yang baik untuk mati.

Melangkahlah kakinya hendak membeli tiket. Kemana pun. Jam berapa pun. Berapa pun harganya. Dikeluarkannya dompetnya…

“Ayah!!”

Ia menoleh, cemberut karena terganggu dengan teriakan itu. Dan sedetik kemudian ia terpana melihat pemandangan itu. Seorang anak perempuan berkuncir dua lari mendapati ayahnya yang menangkapnya dan menggendongnya berputar-putar. Anak perempuan itu tertawa senang. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tidak peduli ada seorang perempuan yang berpendapat bahwa hari itu hari yang baik untuk mati. Tidak peduli.

Ia baru saja melihat cinta.

Sekonyong-konyong ia melihat cinta dimana-mana. Anak yang menjemput ayahnya. Suami yang menjemput istrinya. Anak laki-laki yang menjemput teman-temannya. Adik yang menjemput kakaknya. Supir yang menjemput bosnya. Paman yang menjemput keponakannya. Perempuan yang menjemput kekasihnya.

Jika ada perpisahan, maka ada pertemuan.

Jika ada hari yang baik untuk mati, barangkali hari ini bukan hari yang baik untuk mati.

Jika masih ada cinta, tiap hari bukan hari yang baik untuk mati dan berhenti hidup.

Jika memang lelah untuk selalu mengerti, tak apa lelah, istirahat, untuk kembali bersahabat dengan hidup yang selalu memberikan sesuatu yang baru.

Sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tidak selalu pada tempatnya. Sesuatu yang jungkir balik dan tidak pakai aturan.

Karena semuanya itu hidup dan hidup tidak mati. Waktu tidak akan berhenti hanya karena ia ingin mati. Semuanya akan tetap melanjutkan hidup walaupun ia tidak.

“Selamat hari Valentine!” sapa seorang petugas. “Penerbangan kemana?”

Ia lupa hari ini hampir seluruh manusia di dunia bercinta. Dengan apa dan siapa saja.

Lebih baik bercinta daripada mati, ia tersenyum dalam hati.

Setidaknya untuk hari ini.

Ia belum mau mati.

Dan warna hari ini berangsur-angsur berubah.

Tak lagi hitam keabu-abuan.


Surabaya, 14 February 2011

In the morning – on a busy intersection

Inspired by "Hari yang indah untuk mati"

3 komentar ajah:

hubby said...

nice writing, luv...
tapi biasanya kalau mau beli tiket di bagian keberangkatan... jarang liat cinta.. kebanyakan air mata... yang banyak liat cinta di bagian kedatangan.... :P
belum lagi asap rokok dan kerumunan keluarga TKI yang mirip pasar kaget... do'oh....

Grace Receiver said...

Wah, jadi diingatkan lagi saya belum juga menyelesaikan tulisan yang ini. Empat jempol untuk Jessie karena sudah nulis postingan ini; karena ngga semua orang berani atau mau nulis tentang kematian, mungkin tabu atau malah ingat akan ajalnya sendiri yang ngga tahu kapan akan menjemput. Hehe... I like your concept, it's a blue valentine. Ah, belum sempat nonton filmnya, nih. Happy romantic valentine for you and your husband :-)

jc said...

Hai, hubby!!! Thank you for dropping your message, it's precious. xoxo ;P

Hola, Selvia!! Hehehehe... Justru cerita ini bisa ada karena inspirasi darimu ;) I should thank you first. Dan harusnya minta ijin dulu yahhhh... >_<