Monday, February 21, 2011

kursi

Kursi itu sudah ada di tempat itu sejak ia belum hadir. Dan tentu saja, layaknya kursi yang dapat dibanggakan, kursi itu sudah ada yang menduduki. Yang menduduki adalah orang yang ia hormati dan ia kagumi. Dan ia pikir, tak ada orang lain yang lebih pantas daripada orang itu yang duduk di kursi itu.

Menduduki kursi itu tak pernah sekalipun ada dalam ruang keinginannya. Titik.

Suatu hari orang yang ia hormati itu memanggilnya. Orang itu masih duduk di kursi itu dengan anggun. Elegan. Memang tidak ada yang pantas duduk di kursi itu selain orang itu. Karenanya ia heran, sebab ia dipanggil untuk diberitahu bahwa sudah tiba waktunya ia menduduki kursi itu. Menggantikan orang itu.

Ia terpana. Tertegun. Tergugu. Terheran-heran. Dan sekali lagi mempertanyakan sesuatu pada Tuhan yang sering diulanginya tiap kali ia tak mengerti kemana waktu membawanya pergi. Kenapa sering sekali ia mendapatkan sesuatu yang tidak ia inginkan? Sebaliknya, kenapa sulit betul mendapatkan sesuatu yang benar-benar ia inginkan? Kenapa? Dan jawabannya hingga saat ini belum didapatkannya. Barangkali sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan, mengapa bumi yang mengitari matahari dan bukan sebaliknya? Mengapa cicak sering menempel di dinding? Mengapa Doraemon berwarna biru? Atau mengapa orang jahat seperti Hitler lebih sulit mati daripada orang baik?

Orang yang ia hormati itu bilang sudah waktunya kursi itu berpindah tangan. Sudah waktunya diduduki oleh orang lain. Sudah waktunya. Dan tidak ada orang lain yang lebih tepat daripada ia, kata orang yang ia hormati itu. Ia membisu. Tak sekalipun dalam benaknya ada keinginan untuk menggantikan orang itu duduk di kursi itu. Ia sendiri tidak mau. Ia takut. Takut akan ikatan yang tidak ia inginkan dengan kursi itu tetapi ikatannya akan lebih kuat sehingga ia tak berani berkata bahwa tiba lagi waktunya kursi itu berpindah tangan. Sudah banyak ia dengar cerita-cerita tentang manusia-manusia yang mau melakukan apa saja hanya supaya kursi yang sudah telanjur mereka duduki tetap menjadi miliknya. Dan cara-cara yang mereka lakukan kadang-kadang di luar akal sehat. Cinta mereka terhadap kursi itu lantas menjadi obsesi yang dilumuri oleh ambisi. Percayalah, obsesi dan ambisi merupakan kombinasi terburuk yang pernah ada di dunia ini.

Ia tidak mau. Dan ia sudah sekali mengatakan tidak pada orang yang ia hormati itu. Namun orang yang ia hormati itu hanya tersenyum dan memberikan tenggang waktu buatnya untuk berpikir. Sambil berucap bahwa ia akan mengerti mengapa kursi itu harus didudukinya.

Maka ia berpikir. Berpikir yang kadang-kadang melanglangbuana sehingga berubah menjadi melamun. Bertanya betul-betul pada hatinya apakah memang ia layak menduduki kursi itu? Apakah ia pantas menduduki kursi itu? Apakah ia harus menduduki kursi itu? Apakah ia bisa menduduki kursi itu? Hatinya bilang tidak. Ia tidak layak. Ia tidak pantas. Ia tidak harus. Dan ia tidak bisa. Tapi seorang bijak pernah berkata padanya, jangan pernah mengikuti kata hatimu, karena terkadang kata hati dapat menjerumuskanmu. Masih kata orang bijak itu, pimpinlah hatimu dengan iman yang kau pegang, niscaya kau tahu apa yang harus kau lakukan.

Dibimbingnya hatinya untuk menerima bahwa ia layak, pantas, harus dan bisa menduduki kursi itu. Dibimbingnya hatinya sambil menangis. Karena sesungguhnya ia tidak ingin.

Beberapa waktu kemudian, resmi lah ia menduduki kursi itu. Awalnya ia merasa kursi itu menolaknya. Tidak mau ia duduki. Kursi itu tiba-tiba melempar ia sehingga ia harus menaklukkan kursi itu supaya mau ia duduki. Lambat laun kursi itu mulai menerima. Benda itu tak lagi menyakitinya. Namun meskipun ia sudah mulai bersahabat dengan kursi itu, ada manusia-manusia lain yang nyinyir, mencibir dan menganggap bahwa adalah kesalahan besar kursi itu didudukinya. Ia tak bergeming. Biarkan mereka menggonggong, katanya, mereka tak mengerti bahwa membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan untuk menduduki kursi itu. Tak seorang pun mengerti. Atau mungkin beberapa orang mengerti tapi lebih banyak lagi yang tak mengerti. Sehingga butuh waktu juga bagi mereka untuk menerimanya duduk di kursi itu.

Persahabatannya dengan kursi itu kian akrab, tapi apa yang dikhawatirkannya terjadi. Ia semakin terikat dengan kursi itu. Kursi itu tidak mau dilepas biarpun ia hanya pergi ke toilet. Biarpun ia hanya jalan-jalan ke mall. Atau sekedar mengambil uang di ATM terdekat. Atau makan malam di warung kumuh. Kursi itu menempel kemana pun ia pergi. Sampai-sampai ada yang menyarankan padanya untuk menyesuaikan busananya dengan kursi yang selalu menempel itu. Tak pantas jika membawa kursi itu kemana-mana tetapi busananya tidak cocok dengan kursi yang mewah itu. Begitu yang pernah ia dengar. Selain busana, jangan lupa berdandan, karena busana yang sesuai dengan kursi itu layak untuk dikombinasikan dengan dandanan yang serasi. Ia pun semakin frustasi. Kursi itu sedikit demi sedikit menggerogotinya. Sedikit-sedikit kursi itu mengambil bagian dari dirinya, membuang dan menggantinya dengan yang baru. Setengah sadar ia tahu bahwa ada beberapa bagian pada dirinya bukan lagi dirinya yang sesungguhnya. Ia sudah berubah. Tak lagi seperti yang dulu. Anehnya, meskipun ia nyaris tak mengenali dirinya, orang-orang terlihat senang melihat perubahan yang ada pada dirinya. Dan ia makin frustasi.

Hingga suatu hari, ketika kursi itu hendak mengambil bagian lain lagi untuk diganti dengan yang baru, ia dengan tegas menolak. Sudah cukup bagian-bagian dalam dirinya yang diambil dan diganti dengan yang baru. Persis seperti onderdil motor. Dan ia masih ingin menikmati hidup sebagai dirinya apa adanya. Ia tidak mau dikuasai oleh sebuah kursi. Tapi ia juga tak mau menyalahkan kursi itu atas apa yang diubahnya pada beberapa bagian dari dirinya. Tidak. Lagipula ia sudah menganggap perubahan-perubahan itu menjadi dirinya sendiri, karena ia sadar terkadang perubahan itu sejatinya ada.

Dan sejak ia lebih tegas pada kursi itu, pelan-pelan kursi itu tak lagi seperti anjing yang hidup di celana tuannya. Pelan-pelan ia lepaskan kursi itu di waktu-waktu tertentu. Mula-mula kursi itu berontak waktu dilepas. Tapi sebagaimana kata hati yang seharusnya dipimpin, kursi itu pun akhirnya patuh apa katanya. Pada saat itu lah ia dapat tersenyum. Biar saja orang lain membiarkan gaya hidupnya dikuasai oleh kursi mereka. Biar saja orang lain menyesuaikan apa yang ada pada dirinya dengan kursi mereka. Biar saja. Ia tak mau.

Karena hidup terlalu singkat untuk disetir oleh sebuah kursi.

Saturday, 18 February 2011
before the evening fell

PS: gambar diambil dari sini

6 komentar ajah:

Grace Receiver said...

1) Orang jahat seperti Hitler mati lebih lama supaya punya kesempatan yang cukup buat bertobat 2) Setuju banget bahwa hidup terlalu singkat, karenanya kalau pun ingin berubah harusnya bukan untuk menyenangkan orang lain, tapi karena kebutuhan diri sendiri untuk berkembang menjadi lebih baik.

Merliza said...

buat pembelajaran kesemua khalayak :(

Unknown said...

yah terkadang ada baiknya qt instropeksi diri. Pelajaran yg bgus ni bwt qt

~ jessie ~ said...

Selvi, kadang2 aku nggak terima loh soal orang jahat punya kesempatan lebih lama utk bertobat, but then, siapa aku yah berani2nya mikir gitu. Kan aku bukan Tuhan.. ;p

Merliza & Kimichi Kun, thanks for coming and dropping comments ya.. kita semua memang harus belajar selagi masih hidup ;)

Ariyanto S. said...

Nice story, sangat menyentuh, bisa buat introspeksi diri :)

~ jessie ~ said...

Ari, terima kasih yaaa! ;)