Wednesday, February 16, 2011

sebuah rumah

Rumah itu dibuatnya dalam keadaan kosong. Ia yang mendesainnya sendiri meskipun desain awalnya sederhana. Desain awal yang disodorkan oleh yang empunya tanah.

Ketika rumah itu jadi, ia tidak punya kesulitan untuk berpikir apa-apa saja yang ada di dalamnya. Pelan-pelan ia isi rumah itu. Ia isi dengan apa saja yang ia sukai. Ia pikir itu toh rumahnya sendiri. Bikinannya sendiri. Jika memang miliknya sendiri, kenapa ia harus memikirkan apa kata orang? Dengan hati tapi tidak hati-hati, ia mulai mengisi rumah itu. Setiap jengkal dan inci yang ada di dalamnya menggambarkan apa yang ada pada dirinya. Tiap kali imajinasinya berhasil mencaplok ide, ia isi kembali rumah itu. Pelan-pelan. Pelan-pelan. Namun pasti. Dan ia betul-betul tidak peduli. Rumah itu miliknya, karena itu harus betul-betul menggambarkan dirinya.

Suatu hari seseorang mampir. Orang itu masuk ke rumahnya dengan sopan. Berkeliling dan kemudian keluar tanpa komentar. Esoknya ada orang lain lagi yang mampir, dan pergi dalam diam. Demikian juga esoknya, dan esoknya dan esoknya. Semuanya datang dan pergi, tapi masih dalam diam. Ia masih juga tidak peduli. Itu toh rumahnya sendiri. Ia tidak butuh komentar dan pendapat orang-orang itu untuk mengisi rumahnya. Dan ia meneruskan saja pekerjaan mengisi rumahnya dengan telaten.

Ia tahu rumah itu tidak akan pernah penuh. Selagi idenya terus muncul dan ia mampu meluangkan waktu untuk mengisi rumahnya dengan ide itu, rumah itu akan terus diperbarui. Diisi. Hingga suatu saat. Seseorang datang. Orang ini tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan sepotong opini tentang rumahnya kepadanya. Orang lain lagi mampir, melihat ini dan itu, terdiam dan ikut merasakan apa yang ia rasakan pada waktu mengisi rumahnya. Lagi-lagi ditinggalkannya sepenggal komentar positif tentang rumahnya kepadanya. Ada rasa lain yang meraba hatinya. Ada rasa…dihargai. Ada rasa senang. Terharu. Dan bergejolak. Ada semangat untuk terus mengisi rumah itu dan mulai membuka pintu lebar-lebar mengundang orang-orang untuk masuk.

Lama-lama ia belajar, bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak orang lain yang membangun dan mengisi rumahnya dari isi kepala mereka masing-masing. Ia belajar untuk tidak egois. Maka jika ada kesempatan, ia luangkan waktu untuk mampir ke rumah tetangga-tetangga sebelah rumahnya. Mula-mula yang terdekat dan yang memang sudah ia kenal, atau yang pernah mampir ke rumahnya dulu. Masih jarang ia berikan komentar dan pendapatnya tentang rumah-rumah tetangganya. Hatinya masih enggan untuk berbicara tentang rumah orang lain, karena ia berpikir siapa ia yang layak bicara ini itu tentang rumah orang lain. Karena itu, masih banyak yang belum mengenalnya. Ia masih anonim.

Namun lantas pelan-pelan ia tahu bahwa manusia memang tidak pernah bisa hidup sendiri. Senikmat-nikmatnya manusia dengan kesendiriannya, ia tetap butuh orang lain. Dan jika membutuhkan orang lain, ia juga harus mau melakukan sesuatu untuk orang lain. Ia mulai pergi ke rumah-rumah yang cukup jauh dan meninggalkan pesan. Di rumah-rumah terdekat yang lebih ia kenal, ia lebih berani memberikan pendapat tentang isi rumah tersebut. Jika menurutnya tidak menarik, maka ia akan diam saja, mengatupkan bibir dan pergi tanpa sepatah kata pun. Kadang-kadang jika yang dilihatnya menarik pun, ia tetap tak berkata apa-apa, hanya karena yang lain sudah mengatakan apa yang ingin ia katakan, sehingga tak lagi istimewa jika ia mengucapkan hal serupa dengan yang lain.

Di beberapa waktu, jika ia baru saja mampir ke rumah orang lain, ia jadi punya ide untuk mengisi rumahnya kembali. Menghiasnya dengan inspirasi yang baru saja didapat. Oleh karena itu ia berpikir, mungkin memang harus begitu adanya. Manusia satu dengan manusia lainnya harus saling menginspirasi untuk terus jadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Minggu menjadi bulan, rumahnya semakin ramai dikunjungi orang. Walaupun tentu saja masih kalah ramai dari rumah-rumah tertentu. Orang-orang yang berkunjung ke rumahnya rata-rata meninggalkan komentar yang positif. Jika ia terlalu sibuk, kadang-kadang ada yang memberikan semangat padanya untuk terus mengisi rumahnya dengan ide-idenya. Pelan-pelan juga ia mengisi dan menghias rumahnya berdasarkan apa yang kira-kira disukai oleh para pengunjung. Ia mulai berpikir keras bagaimana cara menyenangkan tamu-tamunya. Bagaimana membuat semakin banyak orang yang berkunjung ke rumahnya. Ia tak lagi peduli bahkan jika isinya mulai tak lagi menggambarkan tentang dirinya.

Suatu hari ia seperti terbangun dari tidur yang panjang, nyenyak dan bermimpi indah. Ia melihat ada beberapa hiasan dan sepetak ruangan di rumahnya dengan asing. Seolah-olah bukan ia yang waktu itu mengisi dan menghias ruangan tersebut. Ia bertanya-tanya, mengapa semuanya itu bisa ada disitu? Siapa yang meletakannya disitu? Tidak ada yang memegang kunci rumahnya selain ia.

Berkelilinglah ia sampai ke penjuru rumah sambil diburu rasa penasaran tentang benda-benda dan ruangan asing di rumahnya sendiri. Dan ia tertegun, karena ia menemukan bahwa ia sendiri yang meletakkan benda-benda asing dan menghias ruangan itu. Selama beberapa waktu lamanya ia terdiam. Otaknya mampet. Imajinasinya stop. Dan hatinya kehilangan gairah.

Ia tidak mengenali rumahnya sendiri.

Setidaknya sebagian kecil rumahnya sendiri. Dan itu masalah.

Ia mulai mencoba mengisinya lagi dengan benda-benda yang menggambarkan dirinya. Menghiasnya dengan apa kata hatinya, bukan apa kata orang lain. Dan semakin frustasi karena kadang-kadang ia masih mendengar komentar tamu-tamunya yang mengatakan tanpa transparan kalau mereka lebih suka sepetak ruangan penuh benda asing tersebut.

Mulailah ia menyendiri. Mencoba kembali menikmati kesendiriannya. Merenungkan untuk apa sesungguhnya rumah itu dulu ia buat dan ia isi dengan sepenuh hati. Ketika ia mulai kembali menikmati kesendiriannya, ia mulai jarang berkunjung ke rumah-rumah tetangga, rumah teman-temannya yang walaupun jauh dulu rajin dikunjunginya. Ia berpikir, ia tidak mau mengunjungi rumah teman-temannya itu hanya supaya mereka mau berkunjung balik ke rumahnya. Itu bentuk lain dari keegoisannya. Ia mau jika ada orang-orang yang bertamu ke rumahnya, itu karena mereka menyukai apa yang ada dalam rumah itu, yang artinya apa yang menggambarkan dirinya.

Rumah itu ia bangun agar dunia tahu ia ada.

Dan benda-benda asing itu membuat ia ragu-ragu. Benarkah yang dikenal dunia adalah ia apa adanya? Atau sebuah citra yang ia bentuk?

Barangkali itu sebabnya saat ini rumahnya seperti rumah hantu. Diam, membisu dan tak berpendapat. Kembali menjadi anonim. Sehingga hampir dapat dipastikan dunia mungkin kembali melupakan bahwa ia ada.

Suatu saat. Mungkin. Mungkin, rumahnya akan ia hias kembali. Ia isi kembali.

Dengan apa adanya ia.

Untuk kali ini. Mungkin. Mungkin ia hanya ingin menikmati kesendiriannya.

Mungkin.
Wednesday, 16 February 2011
5:29 pm

PS: gambar diambil dari sini

3 komentar ajah:

Grace Receiver said...

Hi, Jess. Rumah ini apa simbolisasi dari blogmu? Kalau ya, kamu harus menulis sesuai gayamu tanpa perlu menyenangkan siapa2. Saya juga tidak selalu menulis untuk label silly me di blog saya meski yang berkunjung sepertinya lebih suka baca tulisan tentang curhatan ketimbang review fil yang (penuh spoiler), apalagi review WRC dan Kimi Raikkonen. Hehe...

~ jessie ~ said...

Eh, Sel..percaya nggak percaya, aku justru suka dengan blog-mu karena review filmnya dulu lho... ;P
Thanks yaaa.... ;)

hubby said...

kesendirian memang sebuah privilege.... tapi dulu... mungkin sekarang bukan lagi sebuah opsi... banyak ruang asing di rumahku... bukan karena aku ingin menyenangkan orang lain, tapi karena aku yang mengundang orang ini masuk dan tinggal bersamaku...
jadi cukuplah sebuah ruang saja yang mewakili diriku seutuhnya... dan selebihnya boleh diubah....
boleh menjadi asing... mungkin suatu saat keasingan itu dapat kutelan menjadi bagian diriku yang utuh... (^_^)