Pada sebuah restoran ada sebuah cermin yang
tingginya menjulang hingga ke langit-langit. Si empunya restoran cinta betul
dengan cermin itu karena melaluinya ia seperti menonton layar lebar yang
dibintangi oleh tamu-tamunya sendiri. Jika sedang sendu hatinya atau muram
harinya, ditatapnya cermin itu lama-lama pada jam-jam makan dimana restorannya
dipenuhi pengunjung untuk mengisi perut mereka. Dan hatinya kembali senang,
harinya kembali riang. Suatu hari, saat restorannya kembali ramai dengan
pengunjung, ditatapnya kembali cermin itu lama-lama. Mencoba mencari kehangatan
dan keakraban yang bisa bikin hatinya kembali senang dan harinya kembali riang
dari para pengunjungnya. Tapi berapa kalipun mengejapkan mata hingga mendelik,
tetap saja hatinya masih sendu dan harinya masih muram. Bertanya-tanyalah ia
pada diri sendiri apa ada yang salah pada dirinya atau cermin itu. Ia dongakkan
lagi kepalanya, ditatapnya kembali cermin kebanggaannya itu lekat-lekat,
kemudian ia tersentak. Keesokan harinya ia tatap kembali cermin itu, dan tetap
saja tak ia temukan yang ia cari. Begitu juga dengan keesokan harinya lagi dan
lagi dan lagi.
Barulah setelah frustasi selama
berminggu-minggu tak menemukan yang ia biasa ia dapatkan dari tamu-tamunya, sebuah
kesadaran menggetok kepalanya atas sebuah pertanyaan tentang mengapa tak lagi
bisa ia lihat kehangatan pada cermin itu. Dan barangkali untuk pertama kalinya,
matanya beralih menatap langsung pada pengunjung-pengunjungnya, pada
tamu-tamunya. Diamatinya tiap keluarga yang makan disitu. Diamatinya satu
persatu dan kemudian hatinya semakin sedih, harinya makin muram. Masuklah ia ke
ruangannya dan menangis tersedu-sedu disana
Tamu-tamunya, keluarga-keluarga yang datang
ke restorannya, yang dulu selalu membawa kehangatan atas keakraban yang
terjalin diantara mereka sudah berubah. Tak lagi ada kehangatan yang ia
rasakan. Meskipun duduk mengelilingi satu meja, bersama-sama dalam satu tempat,
mereka sibuk sendiri-sendiri. Mereka tak lagi saling ngobrol, saling berceloteh,
atau saling melempar gurauan. Mereka asyik sendiri-sendiri dengan benda yang
ada di tangan mereka. Tersenyum-senyum sendiri sambil membaca entah apa pada
benda itu. Anak tak lagi ngobrol dengan ayah ibunya karena sibuk memberi komentar
pada status teman-temannya di situs jejaring sosial. Istri tak lagi berceloteh
manja pada suaminya karena sibuk dengan online
shop yang baru ia rintis. Kakak tak lagi menggoda adiknya karena sibuk memperbarui
status tentang dimana ia berada saat itu. Nenek tak lagi dapat
berbincang-bincang dengan cucunya karena cucunya sibuk menggebuki musuh melalui
benda yang ia pegang kemana-mana. Mereka hanya berhenti sibuk dengan benda itu
jika makanan datang.
Tak lama kemudian, pada jurnal hariannya si
empunya resto dengan menggebu-gebu menulis begini: Apa
jadinya sebuah keluarga jika mereka sudah tak saling peduli satu dengan yang
lain? Apa jadinya sebuah keluarga jika mereka lebih peduli dengan siapa yang
tidak bersama-sama dengan mereka daripada dengan siapa yang bersama-sama dengan
mereka? Jika sebuah keluarga harus sibuk, bukankah seharusnya mereka harus
sibuk mempedulikan satu dengan yang lain? Mengapa kelihatannya jauh lebih
penting apa yang terjadi di luar sana ketimbang apa yang terjadi pada
keluarganya sendiri? Apa cermin itu harus kuhancurkan agar aku tak perlu lagi
melihat keluarga modern tapi dingin yang lebih sering muncul daripada keluarga
yang akrab dan hangat?
Pemilik restoran itu lantas berhenti
menulis. Direnungkannya kembali yang ia tulis dan melalui jendela ruangan
kantornya ia tatap kembali tamu-tamunya. Sudut matanya menemukan sebuah
keluarga dengan tawa dan gelak yang telinganya rindukan. Senyumnya mengembang.
Tak perlu ia hancurkan cermin itu, karena ia percaya masih ada
keluarga-keluarga yang tetap akrab dan hangat di tengah-tengah modernitas yang
sedang merajalela.
Ia keluar dari ruangannya, mendekati meja
dimana keluarga yang sudah membuat hatinya kembali senang dan harinya kembali
riang. Dan senyumnya semakin lebar. Karena tak ada benda-benda mahal dan katanya
pintar itu diatas meja mereka.
“Mau pesan apa? Hari ini saya yang
traktir,” katanya kemudian.
Surabaya,
23 September 2011
PS : Gambar diambil dari sini