Tuesday, December 13, 2011

sebuah cermin dan seorang pemilik restoran

Pada sebuah restoran ada sebuah cermin yang tingginya menjulang hingga ke langit-langit. Si empunya restoran cinta betul dengan cermin itu karena melaluinya ia seperti menonton layar lebar yang dibintangi oleh tamu-tamunya sendiri. Jika sedang sendu hatinya atau muram harinya, ditatapnya cermin itu lama-lama pada jam-jam makan dimana restorannya dipenuhi pengunjung untuk mengisi perut mereka. Dan hatinya kembali senang, harinya kembali riang. Suatu hari, saat restorannya kembali ramai dengan pengunjung, ditatapnya kembali cermin itu lama-lama. Mencoba mencari kehangatan dan keakraban yang bisa bikin hatinya kembali senang dan harinya kembali riang dari para pengunjungnya. Tapi berapa kalipun mengejapkan mata hingga mendelik, tetap saja hatinya masih sendu dan harinya masih muram. Bertanya-tanyalah ia pada diri sendiri apa ada yang salah pada dirinya atau cermin itu. Ia dongakkan lagi kepalanya, ditatapnya kembali cermin kebanggaannya itu lekat-lekat, kemudian ia tersentak. Keesokan harinya ia tatap kembali cermin itu, dan tetap saja tak ia temukan yang ia cari. Begitu juga dengan keesokan harinya lagi dan lagi dan lagi.

Barulah setelah frustasi selama berminggu-minggu tak menemukan yang ia biasa ia dapatkan dari tamu-tamunya, sebuah kesadaran menggetok kepalanya atas sebuah pertanyaan tentang mengapa tak lagi bisa ia lihat kehangatan pada cermin itu. Dan barangkali untuk pertama kalinya, matanya beralih menatap langsung pada pengunjung-pengunjungnya, pada tamu-tamunya. Diamatinya tiap keluarga yang makan disitu. Diamatinya satu persatu dan kemudian hatinya semakin sedih, harinya makin muram. Masuklah ia ke ruangannya dan menangis tersedu-sedu disana

Tamu-tamunya, keluarga-keluarga yang datang ke restorannya, yang dulu selalu membawa kehangatan atas keakraban yang terjalin diantara mereka sudah berubah. Tak lagi ada kehangatan yang ia rasakan. Meskipun duduk mengelilingi satu meja, bersama-sama dalam satu tempat, mereka sibuk sendiri-sendiri. Mereka tak lagi saling ngobrol, saling berceloteh, atau saling melempar gurauan. Mereka asyik sendiri-sendiri dengan benda yang ada di tangan mereka. Tersenyum-senyum sendiri sambil membaca entah apa pada benda itu. Anak tak lagi ngobrol dengan ayah ibunya karena sibuk memberi komentar pada status teman-temannya di situs jejaring sosial. Istri tak lagi berceloteh manja pada suaminya karena sibuk dengan online shop yang baru ia rintis. Kakak tak lagi menggoda adiknya karena sibuk memperbarui status tentang dimana ia berada saat itu. Nenek tak lagi dapat berbincang-bincang dengan cucunya karena cucunya sibuk menggebuki musuh melalui benda yang ia pegang kemana-mana. Mereka hanya berhenti sibuk dengan benda itu jika makanan datang.

Tak lama kemudian, pada jurnal hariannya si empunya resto dengan menggebu-gebu menulis begini:  Apa jadinya sebuah keluarga jika mereka sudah tak saling peduli satu dengan yang lain? Apa jadinya sebuah keluarga jika mereka lebih peduli dengan siapa yang tidak bersama-sama dengan mereka daripada dengan siapa yang bersama-sama dengan mereka? Jika sebuah keluarga harus sibuk, bukankah seharusnya mereka harus sibuk mempedulikan satu dengan yang lain? Mengapa kelihatannya jauh lebih penting apa yang terjadi di luar sana ketimbang apa yang terjadi pada keluarganya sendiri? Apa cermin itu harus kuhancurkan agar aku tak perlu lagi melihat keluarga modern tapi dingin yang lebih sering muncul daripada keluarga yang akrab dan hangat?

Pemilik restoran itu lantas berhenti menulis. Direnungkannya kembali yang ia tulis dan melalui jendela ruangan kantornya ia tatap kembali tamu-tamunya. Sudut matanya menemukan sebuah keluarga dengan tawa dan gelak yang telinganya rindukan. Senyumnya mengembang. Tak perlu ia hancurkan cermin itu, karena ia percaya masih ada keluarga-keluarga yang tetap akrab dan hangat di tengah-tengah modernitas yang sedang merajalela.

Ia keluar dari ruangannya, mendekati meja dimana keluarga yang sudah membuat hatinya kembali senang dan harinya kembali riang. Dan senyumnya semakin lebar. Karena tak ada benda-benda mahal dan katanya pintar itu diatas meja mereka.

“Mau pesan apa? Hari ini saya yang traktir,” katanya kemudian.

                Surabaya, 23 September 2011 
PS : Gambar diambil dari sini

4 komentar ajah:

Grace Receiver said...

Hehe... Gadget memang bisa bikin manusia jadi lupa bagaimana berinteraksi secara langsung.

Ika Devita Susanti said...

Pengalaman pribadi ta ce? kikikikikik.. *oopss*

disti said...

bener....
gadget mendekatkan yang jauh... tapi menjauhkan yang dekat....

jc said...

Menyedihkan ya, Sel... ;(