Tuesday, January 31, 2012

sepatu untuk sekolah

Anak laki-laki itu sedang mencari sepatunya saat ibunya bilang sudah waktunya berangkat sekolah. Barulah ia sadar bahwa sepatunya tertinggal di tempat ia bermain kemarin sore. Dan setelah menyadari bahwa sepatunya ia tertinggal, ia langsung tahu bahwa ia dalam masalah. Bukan karena sepatunya mahal. Bukan juga karena orang tuanya kekurangan uang untuk beli sepatu baru. Tapi karena itu berarti pagi itu tidak ada sepatu yang bisa ia pakai untuk berangkat sekolah.

Jangan tertawa, karena perkara yang kelihatannya sepele seperti tidak memakai sepatu untuk ke sekolah elit dan baik di kota besar bisa jadi tidak sepele. Sama besarnya dengan tidak memakai seragam ke sekolah. Ini penting.

Sang ibu pun ikut panik. Karena toko sepatu mana pula yang sudah buka pagi-pagi begini? Tidak ada. Maka ketika sang ibu mengantar si anak ke sekolah, ia bermaksud bertemu dengan sang guru untuk bernegosiasi. Negosiasi yang ia sendiri tidak yakin akan berhasil.

Bertemu lah sang ibu dengan sang guru. Ia minta maaf karena lalai memperhatikan sepatu anaknya sekaligus minta ijin pada sang guru supaya anaknya tetap diijinkan masuk kelas walaupun hanya memakai kaus kaki dan sandal. Sang guru hanya diam mendengarkan penjelasan ibunda muridnya. Kemudian dengan berat hati sang guru berkata bahwa sesungguhnya si anak lebih baik tidak masuk sekolah daripada tetap masuk kelas dengan tidak memakai sepatu. Sudah kukatakan bahwa perkara tidak memakai sepatu ini bisa sama besarnya dengan tidak memakai seragam ke sekolah. Gurunya juga berkata bahwa sebenarnya si anak tetap dianggap melanggar peraturan sekolah karena tidak memakai sepatu ke sekolah. Tapi guru ini guru yang baik. Karena itu, diijinkannya si anak untuk tetap masuk kelas walaupun hanya mengenakan kaus kaki dan sandal.

Si anak masuk ke kelas dengan hati lega dan ia bersyukur punya guru yang mau mengerti. Tapi sekali lagi kukatakan, perkara tidak pakai sepatu ke sekolah ini bukan perkara sepele. Meski anak itu mengantungi ijin dari sang guru untuk tetap masuk sekolah, ia harus menerima  segala macam olokan dari teman-teman sekelasnya. Olok-olokan yang tidak hanya bikin kuping merah tapi juga hati sakit. Segala macam kata yang seharusnya tak diucapkan oleh anak-anak yang mendapatkan pendidikan layak dan mahal di sekolah itu malah keluar dari mulut mereka. Hanya gara-gara sepatu. Gurunya yang baik itu tahu anak ini diejek mati-matian  oleh teman-teman sekelasnya. Tapi ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Sambil berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh murid-muridnya itu dapat menjadi pembelajaran bagi semua khalayak – bahwa tidak memakai sepatu itu merupakan pelanggaran atas peraturan sekolah yang sudah repot-repot dirancang oleh petinggi-petinggi pendidikan.

Tidak sampai jam akhir pulang sekolah, si anak memutuskan untuk pulang. Sang guru tidak melarang, hanya berpesan agar besok tidak lupa memakai sepatu. Namun hari itu si anak belajar sesuatu, bahwa pendidikan ternyata bisa didapat dengan menggunakan syarat. Sepatu adalah salah satunya. Baju seragam yang necis adalah salah duanya. Semuanya sudah tertulis dalam peraturan. Tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga meskipun sekolah tidak menghukum, masyarakat yang akan menghukum. Secara moral. Tak pernah sekalipun anak itu menyangka bahwa sungguh berat rupanya hanya untuk mendapatkan pendidikan yang layak saja.

Melihat anaknya pulang sebelum waktunya, sang ibu tidak berkata apapun. Dibantunya anaknya melepas seragamnya untuk diganti dengan baju rumah. Diambilkannya minuman hangat untuk anaknya agar sedikit lebih baik hatinya yang terpukul. Kemudian ketika masih dilihatnya anaknya termenung-menung, berkatalah sang ibu pada anaknya: “Ibu berjanji besok sepatumu akan siap dipakai  ke sekolah. Seragammu juga sambil menyadari bahwa hidup ini terkadang memang absurd dan tidak masuk akal. Meski demikian, tetaplah hidup dan raup sebanyak-banyaknya ilmu. Bukan untuk mendapatkan nilai dan ranking, tapi untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan. Untuk dirimu sendiri. Bukan untuk gurumu, ayah ibumu ataupun sekolahmu. Supaya kelak kalau kau buka sekolah sendiri, kau akan menerima mereka yang beli sepatu dan seragam pun tidak mampu untuk tetap belajar di kelas tanpa olok-olok dari teman-teman sekelasnya dan mempekerjakan guru yang lebih peduli dengan pendidikan yang harus diberikan pada murid-muridnya daripada apa yang dipakai oleh murid-muridnya.”

Si anak menatap ibunya dan menjawab: “Ibu, hari ini aku belajar bahwa pengetahuan mahal harganya dan tidak hanya bisa dibayar dengan uang, tapi juga dengan mental yang kuat. Itu saja. Esok, dengan atau tanpa sepatu, aku tetap akan berangkat ke sekolah. Bukankah semua anak seharusnya berhak untuk mendapatkan ilmu?”

Saat itu juga ibunya tahu, akan tiba saatnya, anaknya tidak membutuhkan dorongan darinya lagi. Karena dorongan yang paling kuat hanya berasal dari diri. Itu saja. Dengan atau tanpa sepatu.


Surabaya, at the end of January 2012
12:14 pm

PS: Gambar diambil dari sini

0 komentar ajah: