Sunday, April 08, 2012

jalan itu


Jalan itu sempit dan berbau. Selain itu juga kumuh. Barangkali karena itu, jalannya jadi sepi. Banyak orang tak sudi lewat jalan itu. Namun anehnya, tiap kali ada orang lewat jalan itu, sebagian besar keluar dengan raut wajah berbinar-binar. Seolah melewati lorong kumuh itu ia menemukan sesuatu untuk memperbarui hidupnya. Sudah lama aku memperhatikan fenomena ini. Hanya aku masih enggan melewati jalan itu. Apa jadinya kalau aku tidak mengalami yang mereka alami? Apa jadinya kalau aku malah terbunuh di lorong itu? Atau kalau tidak dibunuh pencoleng, aku dirampok dan ditendangi sampai hampir mati? Bagaimana? Apa ada yang mau bertanggung jawab?

Tapi yang namanya rasa penasaran itu memang selalu mengganggu. Tidak hanya mengganggu. Ia merayu-rayu. Dari rayuan gombal sampai rayuan pulau kelapa. Lengkap. Dan aku semakin tergelitik untuk lewat. Kawan, jangan pernah biarkan rasa penasaran menempel otakmu. Sekali ia menempel, ia bisa menguasaimu sedemikian rupa sehingga tak ada jalan lain selain menurutinya. Hanya saja, kubilang pada si penasaran, bahwa aku bersedia melewati jalan kumuh itu tapi tidak sendirian. Maka kupaksa sahabatku untuk menemaniku. Kubagi rasa penasaran padanya sehingga ia merasakan candu penasaran persis seperti yang aku rasakan. Kami kadang-kadang malah mabuk bersama jika rasa penasaran itu menggeliat-geliat merasuki kami.

Maka hari itu datanglah. Dengan hati berdebar dan rasa penasaran yang masih menempel seperti lintah, kami berdua melewati jalan kumuh itu pelan-pelan. Meskipun sepi, tapi entah kenapa selalu ada saja orang-orang yang lewat situ. Dan hari itu, selain kami berdua, ada beberapa orang lain juga. Ada yang berjalan lambat-lambat seperti kami. Ada yang jalan biasa saja, kepalanya tolah-toleh seolah menikmati jalan kumuh itu seperti berjalan di mall. Tapi lebih banyak lagi yang bergegas. Apalagi setelah membaca poster-poster yang banyak tertempel di dinding lorong itu. Terheran-heran aku melihatnya. Sepertinya tembok itu memang dibangun untuk ditempeli poster-poster. Meskipun tidak rapi, tapi poster itu cukup jelas untuk dibaca.

Sahabatku tiba-tiba mencolekku. “Coba baca ini!” katanya nyaris berbisik.

Maka aku membacanya: “Enam ekor domba hilang. Empat jantan dua betina. Hah?”

“Yang ini!” sahut sahabatku sambil menunjuk poster lainnya. “Sekolompok domba hilang. Diduga diculik oleh serigala yang menyamar menjadi domba.”

Aku segera membaca poster lainnya lagi: “Dicari seratus ekor domba yang hilang dua tahun yang lalu. Ini gila bukan? Bagaimana mungkin seratus ekor domba yang hilang dua tahun yang lalu bisa ketemu? Mereka pasti sudah dimakan serigala! Atau paling tidak, singa!”

“Yang ini!” teriak sahabatku seolah tak mendengarku. “Telah hilang satu ekor domba pada tanggal… hei ini baru kemarin hilang! Diduga tersesat. Ah, tapi kalau hanya satu ekor domba saja, ngapain harus dicari?”

“Satu ekor domba sangat berharga, anak muda.”

Kami menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki. Ia tidak tampan tapi entah mengapa kami terpesona. Sorot matanya hangat dan menimbulkan rasa percaya. Rasa percaya yang tidak beralasan. Padahal secara penampilan ia biasa-biasa saja. Bajunya bukan merk Armani ala businessman atau quiksilver ala laki-laki sporty atau zara ala pria metroseksual yang sering kami temui. Pun demikian, kami sampai berdiri mematung memandangnya dan tidak bisa bicara. Lidah kami kelu, tangan kami kaku dan kaki kami seperti dipaku.

“Satu ekor domba sama dengan satu jiwa. Satu jiwa sama berharganya dengan seribu jiwa. Matematika tidak berlaku untuk hal seperti ini. Ilmu ekonomi juga tidak. Karena ini tidak bicara tentang untung rugi dan neraca keseimbangan, apalagi teori ekuilibrium.” Ia terkekeh, seolah mentertawakan leluconnya sendiri. Kami sendiri tak tahu harus menanggapi dengan apa.

“Semuanya ini..tentang domba?” Pelan-pelan aku memberanikan diri bertanya pada lelaki mempesona ini.

Laki-laki itu mengangguk, kemudian menggeleng. “Ini betul tentang domba. Domba yang punya jiwa dan jiwa itu hilang.”

“Sebegini banyak?” tanya sahabatku sambil membelalakkan matanya.

Laki-laki itu mengangguk lagi. “Betul! Dan tidak banyak yang tergerak untuk membantu menemukan mereka. Mereka yang melewati jalan ini, tidak semuanya mendapat panggilan untuk menemukan domba-domba yang hilang itu.”

“Barangkali karena domba-domba itu bukan milik mereka…,” kataku hati-hati.

Laki-laki itu mengangguk lagi. Lebih tegas. “Betul! Sayang sekali! Padahal domba-domba ini sangat memerlukan pertolongan.”

“Kami dapat apa kalau membantu menemukan domba-domba ini?” tanya sahabatku.

Raut wajah laki-laki itu sekilas meredup – seolah-olah sedih karena pertanyaan macam itu didengar oleh kupingnya. “Ini bukan tentang pekerjaan yang mendapatkan bayaran seperti pekerjaan-pekerjaan pada umumnya. Kalau ada orang ingin membantu menemukan domba-domba yang hilang ini, tapi di dalam hati mengharapkan upah maka orang itu tidak akan dengan sungguh-sungguh melakukannya. Kalian pikir menemukan domba-domba yang hilang itu pekerjaan mudah? Kalian pikir perjalanan yang kalian lakukan untuk pencarian ini akan mulus-mulus saja? Keinginan saja tidak cukup. Kalau kalian terpanggil dan hati kalian siap, maka itulah saatnya.”

“Kapan?” tanyaku. “Maksudku, kapan kami akan merasakannya?”

Laki-laki itu tersenyum. “Ada kalanya kalian tidak akan merasakan panggilan untuk mencari itu sama sekali. Tapi kalian bisa merasakan panggilan untuk membantu mereka yang terpanggil untuk melakukan pencarian domba-domba itu. Tapi dapat pula terjadi sebaliknya: kalian akan merasakan panggilan itu. Dan sekali panggilan itu merasukimu, kalian akan tahu apa yang harus kalian lakukan.”

Aku dan sahabatku saling berpandangan.

“Jalan saja terus. Biarpun kumuh dan kelihatan kotor, sesungguhnya jalan ini dapat mencerahkan mata hatimu. Tak usah bergegas melewati jalan ini karena waktu tidak berarti. Bacalah satu persatu dinding-dinding itu. Resapi. Rasakan. Maknai. Supaya ketika kalian keluar nanti, kaki kalian tahu kemana harus melangkah.”

Lalu laki-laki itu pergi. Pergi begitu saja. Meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sekilas kulihat seperti ada sesuatu yang aneh pada kakinya. Seperti ada lubang dikakinya. Namun sebelum kuperhatikan dengan sungguh-sungguh, tangan sahabatku menggamit tanganku. Kami lagi-lagi saling berpandangan dan bersama-sama memutuskan untuk mengikuti saran laki-laki itu.

Kami telusuri jalan kumuh itu perlahan-lahan. Pelan-pelan. Laki-laki itu benar. Waktu tak berarti disini. Jadi kami leluasa membaca satu persatu apa yang tertempel di dinding. Cerita tentang hilangnya domba-domba. Ada yang baru tadi pagi hilang. Ada yang kemarin. Ada yang bulan lalu. Tapi ada pula yang bertahun-tahun yang lalu. Kami resapi dan rasakan jalan itu.
Dan di ujung jalan, langkah kaki kami semakin ringan. Kami seperti tahu kemana harus melangkah. Lagi-lagi aku dan sahabatku berpandang-pandangan dan saling membaca pikiran masing-masing untuk kemudian tersenyum.

“Aku ke kanan,” kataku.

“Aku ke kiri,” kata sahabatku.

“Sampai ketemu!” ucap kami berbarengan.

Langkah kami berdua ringan. Ringan sekali. Karena di depan kami, ada sesuatu yang sangat berharga untuk dituju.

Written by: Jessie
Sunday, 27 March 2011
6:29 pm

Revised on Easter Day, 8 March 2012
12:49 pm

PS: Gambar diambil dari sini

3 komentar ajah:

obat penyakit jantung bocor alami said...

nice info gan,,,

salam kenal ya,,,

Grace Receiver said...

Tanya: kalau dombanya sudah ketemu, tapi tidak mau pulang, lalu bagaimana? :D

~ jessie ~ said...

Selvia, kalau itu hanya Penciptanya yang tahu kapan dia mau pulang. Hehehehehe..