Sunday, April 01, 2012

tinggi di langit


Teman-temanku bilang aku kampungan. Yang lain bilang aku ndeso. Yang lebih halus bilang aku nggak gaul. Semuanya karena benda yang sekarang ada di tanganku ini. Tapi aku tak peduli. Biarpun barangkali harus sendiri aku memainkannya. Atau dengan ibuku.

Ibuku bilang, untuk memainkan benda ini, aku harus cari tanah lapang yang luas dan berumput. Kilahku, aku pernah melihat anak-anak kampung memainkannya di jalanan, kenapa aku tak boleh. Sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada anak kampung yang tertabrak sepeda motor karena bermain dengan benda ini di jalanan. Sejak itu lah aku mulai terobsesi mencari tanah lapang yang luas dan berumput seperti kata ibuku supaya aku dapat memainkan benda yang saat ini ada di tanganku tanpa harus membahayakan diriku.

Berminggu-minggu aku mencari tanah lapang yang luas dan berumput itu. Tapi tak kunjung juga kutemukan. Pernah suatu hari kutemukan tanah lapang itu tak jauh dari rumahku. Buru-buru aku pulang mengambil mainanku dan ketika aku kembali ke tanah lapang itu, sudah ada para pria berhelm kuning yang melarangku masuk ke tanah lapang itu karena berbahaya. Kutanya pada mereka, apa bahayanya? Aku toh baru dari situ dan tahu bahwa tempat itu baik-baik saja. Tapi mereka ngotot mengatakan bahwa tempat itu berbahaya karena mereka akan segera memasang alat-alat untuk membangun ruko. Kutanya lagi pada mereka apa itu ruko. Mereka menjawab dengan tak sabar bahwa ruko adalah sesuatu yang bisa menghasilkan duit. Diamlah aku, padahal aku masih belum mengerti apa itu ruko. Apakah sama dengan bank?

Esoknya lagi kucari di tempat yang agak jauh dari rumahku. Kutemukan ada tanah lapang yang biarpun tidak terlalu luas tetapi berumput hijau segar. Lagi-lagi aku berlari pulang untuk mengambil mainanku dan kembali ke tempat itu. Dan ketika aku kembali, sudah banyak anak-anak kampung situ yang bermain bola di tanah lapang berumput hijau tadi. Ragu-ragu kulangkahkan kakiku menginjak rerumputan hijau itu, tiba-tiba ada seorang anak yang membentakku.

"Hei, kamu! Mau ngapain disini?" bentaknya. "Kamu mau mainan itu ya?" Ia menunjuk benda yang kupegang.

Kuanggukkan kepalaku berharap dia tidak marah jika aku berkata jujur.
"Kamu bukan anak kompleks sini kan? Kalau bukan anak kompleks ini tidak bisa pakai! Kamu nggak tahu sulit sekali cari tanah lapang model beginian buat kami bermain bola! Enak saja kamu mau merebut dari kami!"

Ingin sekali kujawab bahwa aku tahu dan sependapat dengannya tentang betapa sulitnya mencari tanah lapang yang luas dan berumput untuk aku bermain benda yang ada di tanganku ini dan bermain bola seperti mereka. Ingin juga kukatakan padanya bahwa aku tak bermaksud merebut dan bahwa aku tidak keberatan berbagi tanah lapang itu untuk bermain bersama. Tapi anak itu badannya lebih besar, jadi aku mundur sebelum babak belur.

Melihatku sering melamun dan selalu lunglai sesampainya di rumah sesudah mencari tanah lapang untukku bermain, ibuku turun tangan. Suatu hari ia mengajakku ke gedung olahraga yang punya lapangan sepakbola yang luas. Ibuku bilang pada petugas gedung bahwa kami datang untuk meminjam lapangan sepakbola itu sebentar saja. Hanya supaya aku dapat bermain dengan benda yang kubawa itu sejenak.

"Tak sampai satu jam lah, bapak," kata ibuku. Tapi petugas itu tetap menggelengkan kepalanya. Jika ingin meminjam lapangan bola, ibuku harus mengisi formulir tertentu disertai surat permohonan sebagai lampirannya kemudian formulir dan surat permohonan itu akan diajukan oleh petugas gedung tadi kepada bapak pengelola gedung. Nanti bapak pengelola akan memberikannya pada para pengurus gedung untuk dibawa ke rapat paripurna supaya dapat diputuskan apakah aku dapat bermain di lapangan bola itu atau tidak. Aku sungguh tak menyangka bahwa untuk bermain di lapangan bola barang sejenak saja diperlukan proses sepanjang itu. Maka aku pun menarik tangan ibuku mengajaknya pulang karena percuma bernegosiasi dengan birokrasi semacam itu. Anehnya ketika kami beranjak pulang, si petugas gedung tadi membisikkan sesuatu di telinga ibuku yang membuat raut muka ibuku begitu mengerikan. Tak pernah kulihat ibuku marah bukan main seperti hari itu.

"Apa-apa kok duit! Sudah bobrok negara ini!" Begitu omelnya ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku diam saja karena merasa bersalah sebab rupa-rupanya aku sudah menularkan obsesiku pada ibuku. Hanya untuk benda yang ada di tanganku ini.

Sekonyong-konyong, kudongakkan kepalaku ke langit. Lewat jendela mobil, kulihat diatas sana ada benda serupa dengan yang sedang kupegang ini. Kuremas tangan ibuku dan menunjuk ke langit. Ibuku memekik senang, lupa dengan kemarahannya pada petugas gedung olah raga tadi. Ia langsung memutar setirnya mengikuti arah benda yang kutunjuk tadi. Belok kanan, belok kanan lagi, belok kiri, lurus, belok kanan, belok kiri lagi, seolah jalanan itu tak ada ujungnya. Tapi kemudian sekujur tubuhku bergetar karena melihat tanah lapang yang begitu luas dengan rumput hijau yang segar. Disana ada beberapa anak yang sedang bermain dengan benda seperti milikku ini. Turunlah aku dari mobil dan mendekati lapangan hijau yang selam ini kucari-cari. Anak-anak itu tersenyum dan memberi isyarat padaku untuk bergabung dengan mereka. Kulangkahkan kakiku ringan mendekati mereka. Seperti inilah rasanya ketika kamu merasa bahwa sebentar lagi obsesimu menjadi kenyataan. Ada rasa yang tak terdefinisikan saat waktu itu akan tiba.
Ibuku kemudian mengambil benda yang sedari tadi kupegang erat-erat, yang sudah menjadi obsesiku selama berminggu-minggu. Aku menarik simpul benang di ujung benda tadi sambil berjalan mundur. Tadinya berjalan, lama kelamaan aku berlari sambil menarik benang itu. Pada saat itu lah ibuku mulai melepaskan benda tadi.

"Tinggi! Tinggi!" kata anak-anak tadi sambil bersorak-sorak. "Lebih tinggi lagi! Masih bisa!"

Aku mulai menarik-narik benang mengikuti arah angin, membiarkan benda itu melayang tinggi, lebih tinggi dari gedung-gedung dan ruko-ruko. Luar biasa sensasinya. Seperti ada yang mengaduk-aduk perutku saking senangnya hatiku. Kami semua yang ada di lapangan melihat mainanku tinggi di langit, melawan sinar matahari yang menyengat. Ia bergoyang-goyang riang diatas sana, bercakap-cakap dengan angin, barangkali juga dengan awan, atau bahkan dengan burung yang kebetulan lewat. Setelah berminggu-minggu kukurung di kotak mainanku di rumah.

Terbanglah layang-layangku, walaupun kamu kuno, kamu kampungan, kamu nggak gaul jika dibandingkan dengan mainan-mainan bertombol nan canggih yang dimainkan teman-temanku di rumah mereka yang ber-AC. Terbanglah, selagi masih ada tanah-tanah lapang yang luas dan berumput hijau seperti ini di tengah-tengah gedung pencakar langit, ruko-ruko yang menjamur dan perumahan-perumahan mewah yang tersebar untuk orang-orang kaya. Terbanglah, supaya aku tahu bahwa bumi ini sesungguhnya masih bisa diselamatkan dari kapitalis-kapitalis rakus dan birokrasi-birokrasi tak penting yang saat ini merajalela.

Terbanglah, layang-layangku. Tinggi. Tinggi di langit.

Sunday, 1 April 2012
11:34 am

PS: Gambar diambil dari sini

2 komentar ajah:

Grace Receiver said...

Hehe... Supaya tidak kuno, coba di layang-layangnya ditulisi url blog ini, supaya yang bilang kuno bisa baca tulisan ini dan mungkin berubah pikiran atau malah tergerak menyumbangkan lahan untuk bermain layang-layang :D

~ jessie ~ said...

Habis itu layang-layangnya diposting di twitter ya, Sel? Wkwkwkwkwk ;)