Saturday, June 30, 2012

kotak telepon umum


Pada sebuah kotak telepon umum yang kotor dan kumuh, ada sebuah memori yang tak bisa diberi harga. Memori yang barangkali akan selalu membisikkan sesuatu bahwa cara manusia saling berhubungan senantiasa mengalami evolusi. Mengingatkanku bahwa dahulu untuk berkomunikasi jarak jauh, ada usaha keras yang harus dilakukan. Ada uang receh yang harus dikumpulkan. Ada langkah yang harus diadakan. Ada keegoisan yang harus disingkirkan. Sebab kotak telepon umum itu tentu saja milik umum, sehingga aku harus tahu diri bahwa aku bukan satu-satunya pengguna. Jadi, saat kulihat kotak telepon umum di pinggir jalan pada bulan keenam tahun dua ribu dua belas yang kotor, kumuh, dan tak berfungsi lagi, ingatanku kembali ke masa lalu.

Aku ingat betapa puasnya aku semasa SD jika jam istirahat bisa bermain bola bekel di depan kelas atau lompat tali di halaman sekolah. Tak pernah kubayangkan aku rela menukar itu semua dengan apa yang dimiliki oleh anak-anak SD jaman sekarang. Aku ingat aku merasa sangat keren jika bermain benteng-bentengan dan akulah yang berjasa menaklukkan benteng lawan. Aku ingat betapa menggebu-gebunya aku dan kawan-kawanku mengunyah permen karet Yosan hanya karena kami penasaran setengah hidup apakah kami akan menemukan huruf N di dalam bungkus yang kami buka. Aku sudah punya belasan YOSA tanpa N. Padahal 1 N saja aku temukan, aku bisa dapat hadiah sepeda. Aku curiga perusahaan permen karet Yosan akhirnya barangkali tutup karena mereka sudah menipu kami, anak-anak kecil yang masih lugu ini. Jangan kamu kira anak-anak mudah dikibulin. Dosamu besar dan balasannya tak terkira jika kamu berani membohongi anak-anak seantero nusantara secara publik.

Aku ingat semasa SMA, tak ada seorang pun di sekolah kami yang punya ponsel, tapi kami baik-baik saja. Gelak tawa dan keceriaan masih mewarnai hidup kami. Menggerutu tentang guru tertentu. Merencanakan bolos di pelajaran tertentu. Menggosipkan kakak-kakak kelas tertentu. Mentertawakan teman-teman tertentu. Semuanya kami lakukan dalam ribut. Dengan mulut kami. Bukan dengan jari kami.

Aku tidak malu juga untuk bilang bahwa dulu aku begitu kagum pada bapak presiden Soeharto, saat beliau muncul di layar tivi menemui petani dalam acara desa ke desa. Waktu itu kupikir, hebat betul seorang presiden mau turun ke sawah menemui petani. Sungguh berbeda dengan presiden sekarang yang setiap kali muncul di tivi, makin tua dan lelah saja raut wajahnya. Barangkali karena kelelahan dan kecapekan menanggung beban seluruh rakyat maka ia cuma bisa ngomong prihatin. Memprihatinkan rakyatnya dan memprihatinkan dirinya sendiri. Memang lugu saat kurenungkan saat ini betapa anak-anak sepertiku waktu itu bisa jatuh cinta pada pencitraan yang diciptakan oleh beberapa orang. Tapi bukankah anak-anak lebih berpikir positif daripada orang dewasa? Bukankah itu yang membuat masa kanak-kanak jadi istimewa? Mereka kritis tapi positif. Orang dewasa boleh kritis, tapi cenderung negatif.

Dulu, tiap kali aku melakukan kesalahan bodoh atau ketololan yang menyebabkan amukan orang tua atau guru, aku selalu merasa malu. Aku selalu merasa ingin tenggelam sampai ke dalam bumi saja agar tak perlu bertemu siapa-siapa. Namun toh ketika teringat kembali, semua kenangan-kenangan konyol itu selalu berhasil membuatku tertawa geli. Barangkali seperti sebuah pepatah pernah mengatakan: lakukanlah hal-hal tolol semasa mudamu, agar di masa tuamu nanti, kamu punya sesuatu yang bisa kamu tertawakan. Maka aku bersyukur betapa banyak kebodohan yang pernah kubuat, dan jika kuingat-ingat aku justru tak pernah menyesalinya, yang ada hanya kegelian yang kubagikan bersama teman-teman dan keluargaku.

Oleh sebab itu, jangan salahkan aku jika aku tiba-tiba teringat bahwa ada satu waktu, aku sudah sangat bahagia jika dibelikan Chiclets, yang hingga saat ini belum pernah kutemui yang rasa dan bentuknya serupa. Atau teringat betapa asyiknya mengunyah krip-krip, makanan kecil tak sehat tapi selalu kubeli karena murah harganya, enak rasanya, dan entah dibuat dari apa. Berbeda dengan krip-krip jaman sekarang. Sudah mahal, tak sama pula dengan memori masa kecil. Atau mengenang betapa sebuah kotak telepon umum menjadi saksi hatinya dan hatiku yang tak sempat bertaut.

Ah. Memori memang mahal harganya. Keliru. Memori tidak mahal, ia tak terbeli. Sepintar apapun manusia memproduksi tiruan barang-barang masa lalu, memori tetap lah memori. Tak dapat dibeli, tak bisa pula ditukar. Sheila on 7 lagi-lagi benar saat mereka menyanyi: bersenang-senanglah karena hari ini yang kan kita rindukan.

Kotak telepon umum itu, kulewati lagi pagi ini. Masih tegak berdiri meski renta. Masih kokoh berdiri meski kotor. Masih angkuh menatap jalan meski disfungsi. Barangkali karena menyadari, ia ada disitu untuk mengingatkan kami, bahwa hari ini ada karena masa lalu. Oleh sebab itu, tak sepantasnya masa lalu dilupakan begitu saja.


Saturday, 30 June 2012
1:30 am