Suatu siang di masa lampau, di sebuah kota kecil di Jawa
Tengah, seorang anak perempuan berumur kira-kira 9 tahun – dengan rambut tidak
dikuncir dua – duduk dengan tenang di atas becak yang meluncur di atas salah
satu jalan besar di kota kecil tersebut. Tiba-tiba di samping kanan dan kiri
becak yang ia tumpangi, empat anak lelaki yang kira-kira seumuran dengannya sambil
mengayuh sepeda mereka berboncengan berteriak pada anak perempuan itu: “Woooo
Cino!”
Tukang becak hanya diam. Anak perempuan itu juga diam. Dan
diamnya anak perempuan itu bukan karena dia tidak mau cari masalah. Ia diam
karena ia tidak tahu kenapa ia harus diteriakin seperti itu. Mengingatkannya
pada teriakan yang dicopet pada si pencopet di pasar dekat rumahnya.
Beberapa tahun kemudian, masih di kota yang sama,
rumah-rumah orang-orang (yang katanya) keturunan Cina dilempari batu. Ada juga
yang dibakar. Hanya karena ada warga setempat (yang katanya) pribumi bermasalah
dengan warga lain (yang katanya keturunan Cina). Ia masih menonton Putri Sin Ye
di televisi saat peristiwa kaca jendela rumahnya dilempar dengan batu oleh
warga-warga (yang katanya pribumi). Keesokan harinya ia dan adiknya dihimbau
untuk tidak masuk sekolah, karena sekolahnya adalah sekolah swasta yang
murid-muridnya kebanyakan (katanya) keturunan Cina.
Hati anak perempuan itu ciut. Bertanya-tanya tentang
berbagai peristiwa yang melibatkan label ‘keturunan Cina’. Membuat ia berpikir
bahwa label itu sesungguhnya bisa sangat menyudutkannya tanpa ampun. Hingga
pada satu titik, ia bisa sangat sensitif jika ada seseorang memanggilnya Cina
atau mengajaknya berbicara bahasa Mandarin. Ia jadi tidak suka dengan film-film
mandarin, yang penuh dengan orang-orang Cina berkelahi, berdialog dan bahkan
bercinta. Ia tidak pernah mau belajar bahasa mandarin dan benci kalau kupingnya
mendengar orang-orang di sekitarnya bicara bahasa mandarin padahal mereka juga
fasih berbahasa Indonesia – seolah-olah mereka merasa lebih karena bisa bahasa
mandarin.
Ada yang sedang terjadi di negeri berbendera merah putih
ini. Yang katanya sudah merdeka selama 67 tahun, dengan rangkaian sejarah yang
patut dipertanyakan dan diselidiki lebih lanjut. Ada sesuatu yang mulai ganjil.
Seolah-olah bangsa ini lupa akan tiga kata yang tertulis pada pita di bawah
kaki lambang negara kita tercinta ini. Tiga kata yang sakral. Yang indah. Yang sesungguhnya
terdengar sangat beradab jika diucapkan. Namun bisa seolah-olah dilupakan. Seolah-olah,
lambang negara itu hanya hiasan belaka – terpampang di sekolah-sekolah namun
tidak untuk diresapi dan dilakukan. Garuda Pancasila yang sekarat, karena tiga
kata pada pita di bawah kakinya semakin berat karena ditarik-tarik oleh banyak
kelompok untuk dibuang. Mirip dengan nasib burung garuda yang sesungguhnya. Nyaris
punah karena keserakahan manusia-manusia yang tinggal di negeri ini. Entah
sejak kapan perbedaan menjadi masalah. Bahwa yang satu kaya (kata yang
menjelaskan tentang punya banyak uang, rumah mewah, jabatan tinggi dan sering
belanja ke luar negeri) dan yang lain miskin (kata yang menjelaskan tentang
tinggal di gubuk kumuh, tidak punya pendapatan tetap, tidak punya televisi dan
susah cari makan) itu adalah masalah yang sangat besar. Bahwa kulit putih itu
lebih indah daripada kulit hitam, sehingga para perempuan Indonesia
berlomba-lomba menyamakan warna kulit menjadi putih, hanya karena tuntutan
masyarakat berkata demikian. Entah mengapa perbedaan menjadi sesuatu yang sensitif
di negeri ini. Padahal ketika negeri ini pertama kali merdeka, para sesepuh
justru sangat menghormati perbedaan yang ada. Entahlah.
Enam puluh tujuh tahun Indonesia merdeka. Entah apa yang
merdeka. Entah siapa yang merdeka. Bahkan harapan-harapan pun terkungkung dalam
penjara hati. Dipenjarakan sendiri oleh si empunya hati. Dan memenjarakan
harapan, sungguh adalah tindakan kriminal paling kejam di seluruh muka bumi. Karena
untuk apa manusia hidup jika tidak punya harapan? Atau untuk apa manusia hidup
jika punya harapan namun tidak mau berusaha mewujudkannya?
Beberapa tahun kemudian, justru karena orang-orang yang
menganggap diri mereka pribumi yang suka meneriaki “Cina!” pada anak perempuan
itu, anak perempuan itu mulai berani berpikir dan berseru: “Saya bukan Cina.
Jangan panggil saya Cina. Saya orang Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Sejak
kecil saya hormat pada bendera merah putih, bukan hormat pada bendera merah
berbintang kuning. Saya tidak bisa bahasa Cina. Saya tidak berminat pindah ke
daratan China. Saya juga tidak bisa memilih lewat keluarga mana saya
dilahirkan. Dan tolong, jangan teriaki saya Cina hanya karena kulit saya
kuning, mata saya sipit dan memeluk agama minoritas.”
Anak perempuan itu kemudian menuliskan tulisan ini. Ditulis
dengan hati remuk, karena masih banyak orang-orang di negeri ini tidak mau
menghargai perbedaan dan saling menghormati – bukan karena berbeda suku, agama
ataupun ras. Saling menghormati karena memang sesama manusia harus saling
menghormati. Apapun jabatan dan pekerjaan mereka.
Merdekakan harapan. Jangan penjarakan. Negeri ini butuh
eksekusi harapan-harapan yang merdeka.
Thursday, 16 August 2012
5:09 pm
PS: Gambar diambil dari sini
9 komentar ajah:
Aku suka cersil cina. Aku suka lagu tradisional cina. Aku pernah ingin punya pacar gadis cina. Aku senang berkolaborasi dg gadis dan jejaka cina. Penulis scenario film favoritku juga cina. Aku jawa. (adhi, bapake Gagas)
Dan kita lahir dari bendera yang sama ya, Bang Adhi..
Tengkyu udah mampir di blog saya yang absurd ini. ;P
Dengan bertambah nya usia NKRI semoga bertambah pula gaji prajurit...
Akan kah NKRI benar2 merdeka. . . . . . . . . ???
Tanyakan pada rumput yg bergoyang :P
LIKE THIS... Dunno what to say, tapi ini bgs bgt...
Tengkyu, Petter. :)
I think we all share the same struggle.
baru baca tulisan ini jes...bagus banget yoo..kenapa sih harus ada diskriminasi..aku juga sering digituin dulu mugakno males pulang. dimana2 podo wae..pas di jkt juga sering ketemu supir angkot yang bilang, "lho mbak kok bisa ngomong jawa, aku kira mbak ini cina."
good blog jes
pm me:benisangpejuang@gmail.com
Ria (atau Kristina): iyah, pas tinggal di Oz juga orang sana ngga ada yg nyangka kalau aku orang Indonesia. Mereka pikir aku dari S'Pore atau China atau bahkan Vietnam! @_@ Tapi aku selalu ngomong kalau aku dari Indonesia. Meskipun setelah itu, aku pernah ditanyai oleh bule setempat bahwa benarkah Indonesia banyak masalah terjadi? -.-
Beni Irpani: hai, Beni. I'm sorry I forgot to email you. But u can reach me at jcmonika@yahoo.com :D
Satu pertanyaan untuk pak Agastya Pandu Wisesa, melihat pengalaman anda, anda tinggal di Cina atau di Indonesia?
Soalnya ga ada orang Cina di Indonesia. Adanya orang Indonesia. :D
Post a Comment