Tuesday, September 18, 2012

seorang ibu dan sebatang pohon


Di sebuah perumahan ada satu sudut yang tiap pagi selalu ramai orang. Bergerombol seperti semut yang merubung gula batu. Sudut itu sebenarnya bukan tempat yang istimewa. Yang dekorasi dan interiornya dapat menarik hati yang lewat sehingga mereka merasa harus berkunjung. Di sudut itu hanya ada tiga meja. Meja yang satu untuk makanan-makanan kecil, meja yang lain untuk bungkusan-bungkusan isi nasi. Diantara meja-meja itu, duduk seorang wanita setengah baya, menerima dan mengembalikan uang dari orang-orang yang datang dan pergi.

Kamu boleh bilang kalau tempat itu hanyalah tempat untuk menjual sarapan pagi untuk warga perumahan tersebut. Tapi kupikir, tempat itu tak hanya sekedar tempat transaksi jual beli makanan. Tempat itu juga transaksi informasi dari warga sekitar. Tanyalah pada ibu setengah baya yang duduk diantara meja-meja tadi peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di perumahan tersebut. Niscaya ia lebih tahu daripada kamu. Mulai dari bayi lahir, salah seorang anak warga yang berkelahi di sekolah, yang sedang sakit mulai dari yang ringan sampai yang paling berat, siapa yang baru membeli mobil baru, bahkan siapa yang baru menikah atau malah bercerai. Percayalah. Dia lebih tahu daripada kamu. Barangkali karena itu sudut tempat ia berjualan makanan-makanan itu selalu ramai dikunjungi orang tiap pagi. Aku bahkan pernah mendengar seseorang curhat padanya dengan menggebu-gebu. Dan ibu ini menanggapinya dengan penuh perhatian. Memberikan simpati dan empati, yang mungkin tidak didapat yang curhat di rumah.

Begitulah. Hampir tiap pagi, setiap aku lewat, tempat itu selalu ramai orang-orang datang dan pergi. Tak hanya membeli atau menitipkan makanan untuk minta tolong dijualkan, tetapi juga pusat informasi lokal ada disitu. Takkan kamu temukan di surat kabar manapun berita-berita yang berlalu lalang di tempat itu, dengan si ibu sebagai sentralnya.

Hingga suatu hari, kulihat tempat itu sepi. Hanya satu atau dua orang yang kelihatan, itu pun tidak berlama-lama disana. Sesekali aku mampir karena penasaran kenapa beberapa hari terakhir tempat itu tak lagi ramai pengunjung. Aku heran karena biasanya ketika aku kesana, meskipun hanya untuk melihat-lihat sekaligus menikmati transaksi informasi disitu, aku selalu mendapat senyum dari si empunya tempat. Tapi kali itu tidak. Jangankan senyum. Dilirik pun tidak. Ia sibuk menelepon dengan ponselnya yang jadul. Mukanya berkeringat, matanya menatap entah kemana, tangannya tak pernah lepas dari ponsel dan kerut-kerut di wajahnya semakin menjadi. Kamu tanya padaku ada apa? Aku pun tak tahu, karena aku malas berurusan dengan perkara yang bukan perkaraku.

Namun entah kenapa keesokan harinya aku kembali lagi. Hanya untuk mendapatkan senyum dari si ibu tadi dan lagi-lagi tak kudapatkan. Masih saja kutemukan raut muka yang sama dengan yang kutemukan kemarin. Tempat itu lebih sepi dari yang kukira. Kamu tanya lagi padaku ada apa? Baiklah kukatakan. Aku tak tahu sampai ujung telingaku tak sengaja mendengar ia berbicara dengan entah siapa di ponsel jadulnya. Dari yang kudengar lirih-lirih, sepertinya ia sedang punya masalah dengan anaknya. Tanyamu, masalah apa itu? Kubilang aku tak tahu. Lagi-lagi karena sepertinya aku tak berhak untuk tahu makanya aku segera berlalu dari situ.

Hari ini kulihat tempat itu masih sepi. Tak seramai dulu. Aku ikut sedih sekaligus prihatin tanpa bermaksud menghakimi orang-orang yang dulu sering berkunjung kesitu. Waktu ibu itu masih murah senyum dan sepertinya tidak punya masalah. Waktu ibu itu masih mendengarkan segala curhat, masalah-masalah rumah tangga yang sepele dan berita-berita ringan lainnya. Tak adil rasanya tapi aku berpikir, barangkali orang-orang itu terbiasa dengan senyum dan keramahan si ibu ketimbang raut mukanya yang sekarang lebih serius dan keruh seperti bak mandi yang lama tak dikuras. Mereka mungkin menginginkan si ibu kembali seperti dulu. Ceria dan mendengarkan segala yang mereka ceritakan, sepele atau tidak. Mereka rindu si ibu yang dulu. Mereka tidak mau si ibu yang sekarang. Yang tidak enak dilihat, bikin jengah dan tak nyaman. Sama sepertiku yang selalu berharap mendapatkan senyum sedikit saja dari si ibu, dan ketika tak kudapatkan, yang kulakukan hanyalah berlalu seperti kafilah tanpa anjing yang menggonggong.

Ini mengingatkanku pada sebatang pohon yang tumbuh di negara empat musim, bukan di negara tropis dimana kita berdua tinggal. Pohon yang sama dapat berbeda bentuk tiap musim, tapi sesungguhnya ia masih pohon yang sama. Hanya bentuknya yang berbeda. Jika ia dapat diterima dan dipuji-puji di musim semi, mengapa ia tak lagi dikagumi saat musim dingin?

Kupikir, ibu itu sama dengan pohon ini. Barangkali saat ini ia lebih butuh didengarkan daripada mendengarkan keluhan orang-orang yang datang dan pergi. Barangkali saat ini ia lebih butuh diterima saja tanpa dihindari dari kami. Barangkali. Aku tak tahu, karena hati ibu itu siapa yang tahu? Jelas bukan aku.  Tapi sungguh tak adil rasanya jika aku dan orang-orang itu hanya bisa menerima senyumnya saja tanpa cemberutnya. Hanya minta didengarkan saja tanpa mau mendengarkan.

Tapi aku setuju denganmu. Kamu bilang aku sok tahu. Ya. Mungkin aku sok tahu.

Tuesday, 18 September 2012
4:31 pm

PS: Gambar diambil dari sini