Di sebuah perumahan ada satu
sudut yang tiap pagi selalu ramai orang. Bergerombol seperti semut yang
merubung gula batu. Sudut itu sebenarnya bukan tempat yang istimewa. Yang dekorasi
dan interiornya dapat menarik hati yang lewat sehingga mereka merasa harus
berkunjung. Di sudut itu hanya ada tiga meja. Meja yang satu untuk
makanan-makanan kecil, meja yang lain untuk bungkusan-bungkusan isi nasi. Diantara
meja-meja itu, duduk seorang wanita setengah baya, menerima dan mengembalikan
uang dari orang-orang yang datang dan pergi.
Kamu boleh bilang kalau tempat
itu hanyalah tempat untuk menjual sarapan pagi untuk warga perumahan tersebut. Tapi
kupikir, tempat itu tak hanya sekedar tempat transaksi jual beli makanan. Tempat
itu juga transaksi informasi dari warga sekitar. Tanyalah pada ibu setengah
baya yang duduk diantara meja-meja tadi peristiwa-peristiwa apa saja yang
terjadi di perumahan tersebut. Niscaya ia lebih tahu daripada kamu. Mulai dari
bayi lahir, salah seorang anak warga yang berkelahi di sekolah, yang sedang
sakit mulai dari yang ringan sampai yang paling berat, siapa yang baru membeli
mobil baru, bahkan siapa yang baru menikah atau malah bercerai. Percayalah. Dia lebih tahu daripada
kamu. Barangkali karena itu sudut tempat ia berjualan makanan-makanan itu selalu
ramai dikunjungi orang tiap pagi. Aku bahkan pernah mendengar seseorang curhat padanya dengan menggebu-gebu. Dan
ibu ini menanggapinya dengan penuh perhatian. Memberikan simpati dan empati,
yang mungkin tidak didapat yang curhat
di rumah.
Begitulah. Hampir tiap pagi,
setiap aku lewat, tempat itu selalu ramai orang-orang datang dan pergi. Tak hanya
membeli atau menitipkan makanan untuk minta tolong dijualkan, tetapi juga pusat
informasi lokal ada disitu. Takkan kamu temukan di surat kabar manapun
berita-berita yang berlalu lalang di tempat itu, dengan si ibu sebagai sentralnya.
Hingga suatu hari, kulihat tempat
itu sepi. Hanya satu atau dua orang yang kelihatan, itu pun tidak berlama-lama
disana. Sesekali aku mampir karena penasaran kenapa beberapa hari terakhir
tempat itu tak lagi ramai pengunjung. Aku heran karena biasanya ketika aku
kesana, meskipun hanya untuk melihat-lihat sekaligus menikmati transaksi
informasi disitu, aku selalu mendapat senyum dari si empunya tempat. Tapi kali
itu tidak. Jangankan senyum. Dilirik pun tidak. Ia sibuk menelepon dengan
ponselnya yang jadul. Mukanya berkeringat, matanya menatap entah kemana,
tangannya tak pernah lepas dari ponsel dan kerut-kerut di wajahnya semakin
menjadi. Kamu tanya padaku ada apa? Aku pun tak tahu, karena aku malas
berurusan dengan perkara yang bukan perkaraku.
Namun entah kenapa keesokan
harinya aku kembali lagi. Hanya untuk mendapatkan senyum dari si ibu tadi dan
lagi-lagi tak kudapatkan. Masih saja kutemukan raut muka yang sama dengan yang
kutemukan kemarin. Tempat itu lebih sepi dari yang kukira. Kamu tanya lagi
padaku ada apa? Baiklah kukatakan. Aku tak tahu sampai ujung telingaku tak
sengaja mendengar ia berbicara dengan entah siapa di ponsel jadulnya. Dari yang
kudengar lirih-lirih, sepertinya ia sedang punya masalah dengan anaknya. Tanyamu,
masalah apa itu? Kubilang aku tak tahu. Lagi-lagi karena sepertinya aku tak
berhak untuk tahu makanya aku segera berlalu dari situ.
Hari ini kulihat tempat itu masih
sepi. Tak seramai dulu. Aku ikut sedih sekaligus prihatin tanpa bermaksud
menghakimi orang-orang yang dulu sering berkunjung kesitu. Waktu ibu itu masih
murah senyum dan sepertinya tidak punya masalah. Waktu ibu itu masih
mendengarkan segala curhat, masalah-masalah
rumah tangga yang sepele dan berita-berita ringan lainnya. Tak adil rasanya
tapi aku berpikir, barangkali orang-orang itu terbiasa dengan senyum dan
keramahan si ibu ketimbang raut mukanya yang sekarang lebih serius dan keruh
seperti bak mandi yang lama tak dikuras. Mereka mungkin menginginkan si ibu
kembali seperti dulu. Ceria dan mendengarkan segala yang mereka ceritakan,
sepele atau tidak. Mereka rindu si ibu yang dulu. Mereka tidak mau si ibu yang
sekarang. Yang tidak enak dilihat, bikin jengah dan tak nyaman. Sama sepertiku
yang selalu berharap mendapatkan senyum sedikit saja dari si ibu, dan ketika
tak kudapatkan, yang kulakukan hanyalah berlalu seperti kafilah tanpa anjing
yang menggonggong.
Ini mengingatkanku pada sebatang pohon
yang tumbuh di negara empat musim, bukan di negara tropis dimana kita berdua tinggal.
Pohon yang sama dapat berbeda bentuk tiap musim, tapi sesungguhnya ia masih
pohon yang sama. Hanya bentuknya yang berbeda. Jika ia dapat diterima dan
dipuji-puji di musim semi, mengapa ia tak lagi dikagumi saat musim dingin?
Kupikir, ibu itu sama dengan
pohon ini. Barangkali saat ini ia lebih butuh didengarkan daripada mendengarkan
keluhan orang-orang yang datang dan pergi. Barangkali saat ini ia lebih butuh
diterima saja tanpa dihindari dari kami. Barangkali. Aku tak tahu, karena hati ibu
itu siapa yang tahu? Jelas bukan aku. Tapi
sungguh tak adil rasanya jika aku dan orang-orang itu hanya bisa menerima
senyumnya saja tanpa cemberutnya. Hanya minta didengarkan saja tanpa mau
mendengarkan.
Tapi aku setuju denganmu. Kamu
bilang aku sok tahu. Ya. Mungkin aku sok tahu.
Tuesday,
18 September 2012