Cinta itu lucu. Apalagi kalau dirasakan sekaligus dipikirkan
sesaat menjelang pernikahan. Saat itu, cinta tak lagi terasa absurd. Cinta nyata,
ada dan bermuara. Legalitas yang bikin hati senang karena ada sesuatu yang baru yang akan dijalani bersama. Ada juga yang bilang cinta bukanlah cinta jika tidak membahagiakan.
Tapi memang kebahagiaan itu bukan akibat, melainkan sebab. Kelak sepasang
muda-mudi yang telah berjanji setia di
hadapan pendeta atau para pemuka agama lainnya berangsur-angsur akan mengerti,
dalam pernikahan cinta tak lagi melulu soal rasa, melainkan hak sekaligus
kewajiban. Cinta tak lagi pasif, tapi aktif. Ah, tapi bukankah cinta memang
seharusnya aktif jika ingin berjalan ke tempat yang lebih baik?
Barangkali itu sebabnya aku tak pernah suka lagu-lagu cinta
manusia kasmaran atau apa lah itu yang pada intinya seperti ini: “I love you just the way you are.”
Kupikir, cinta tak sedangkal dan sesederhana itu. Cinta sepatutnya menjadikan manusia
menjadi lebih baik dengan apa adanya ia pada dirinya.
Catatan ini ditulis setelah perjalanan dengan pesawat dari
Kota Pahlawan menuju ibukota. Penumpang di sebelah tempat dudukku adalah
perempuan setengah baya. Mungkin tak ada yang tahu, dan entah ia merasa atau
tidak, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Bukan. Bukan karena ia menarik
atau tetap cantik meskipun usia mencuri sedikit-sedikit kulitnya yang kencang,
rambutnya yang hitam dan menambahkan lemak-lemak tak perlu pada bagian tubuhnya
disana-sini. Pernahkah memikirkan apa yang kupikirkan saat itu? Bahwa kelak
bukannya tak mungkin aku akan seperti dia. Tak lagi muda. Kulit tak lagi
kencang. Rambut tak lagi setebal atau sehitam dulu. Dan lemak-lemak… oh gosh aku berharap lemak-lemak tak perlu
itu eksis di tubuhku kelak. Dan kalau nantinya aku tak lagi muda dan bahenol,
masihkah suamiku mencintai dan menerimaku?
Tapi disitulah komitmen unjuk gigi. Janji yang diucapkan di
depan pendeta, di hadapan para saksi, jelas bukan perkara main-main. Ini perkara
kontrak seumur hidup, bersama orang yang barangkali tak kamu sadari baru
setengah atau bahkan seperempatnya saja kamu kenal. Seperti yang Meg Cabot pernah katakan: pernikahan seumpama teken kontrak seumur
hidup pada sebuah toko kue. Kue yang menurutmu enak dan gurih, sehingga bikin
ketagihan. Lantas kamu berjanji pada toko kue itu bahwa kamu akan terus membeli kuenya, apapun bentuk
dan rasanya. Meskipun di sebelah toko kue tersebut muncul toko kue lain yang
lebih menarik. Atau di seberang toko kue itu dibuka toko kue lainnya lagi yang
kata-kata orang yang sudah mencicipi, kuenya lebih bikin ketagihan daripada
toko kuemu. Dan kontrak yang sudah telanjur kamu tandatangani menyebabkan kamu
tak lagi bisa mencicipi kue-kue di toko-toko yang lain – semenarik dan
semenggiurkan apapun kue-kue mereka.
Cinta memang istimewa. Ia seperti ada
dimana-mana. Di novel, komik, film, sinetron, panggung, lagu, mimbar keagamaan, kampus, rumah, de es be, de es be. Barangkali karena
ia memberi diri dengan lapang dada untuk didefinisikan dalam berbagai bentuk
oleh segala makhluk, terutama manusia.
Ah, tapi aku percaya kamu akan temukan sendiri definisi
cintamu – khusus untukmu sendiri. Karena perjalanan cinta masing-masing orang
itu berbeda. Dan perbedaan itu melahirkan definisi cinta yang berbeda-beda
pula. Dan tak ada yang lebih indah dari sesuatu yang berbeda-beda. Sebab warna
hitam tak lagi mencolok dan kelihatan indahnya jika dijajarkan dengan hitam
lainnya.
Tulisan ini untuk sepupuku yang menikah hari Sabtu, 17
November 2012 kemarin. Kuucapkan selamat mencintai, dicintai, bercinta dan
mendefinisikan cinta mereka sendiri.
Jakarta,
16 November 2012
11:42 pm
PS : Gambar courtesy of Daniel A. Sudarmadi