Saturday, August 10, 2013

pagar

Seorang asing baru pindah ke sebuah negeri. Konon di negeri itu tanahnya subur, penduduknya ramah,  cuacanya bersahabat dan lain-lain yang baik. Istilah kerennya: gemah ripah loh jinawi. Itu sebabnya barangkali ia pindah ke negeri tersebut. 

Ia beli sebuah rumah mungil, untuk dirinya sendiri. Serupa dengan rumahnya yang mungil, ia bangun pagar yang mungil pula. Tetangganya terheran-heran melihat pagar semungil itu. Mereka belum pernah melihat pagar semungil itu. Karena itu setiap kali ada yang lewat rumah si orang asing ini, tak pernah ada yang lewat begitu saja tanpa peduli. Selalu ada yang berhenti, entah untuk mengomentari, entah untuk sekedar menunjuk, entah untuk mentertawakan, entah apapun.

Si orang asing itu heran melihat laku para tetangganya. Masakan hanya karena pagar, mereka jadi bertingkah aneh seperti itu? 

Suatu pagi, saat ia sedang sarapan di dekat jendela - ia memang selalu sarapan di dekat jendela - ia melihat pemandangan yang mengejutkan sekaligus menakjubkan. Pagar rumahnya lenyap! Astaganaga. Bergegas ia keluar dari rumah untuk memeriksa. Ia tertegun melihat bahwa si pencuri - kalau memang ada orang gila yang mencuri pagar - telah dengan teliti untuk tidak meninggalkan jejak maupun bekas. Tetangga-tetangga yang kebetulan lewat di depan rumahnya dan mendengarkan cerita tentang lenyapnya pagar si orang asing itu menyarankan untuk lapor polisi saja. Namun, si orang asing memutuskan untuk tidak lapor siapa-siapa, karena sebetulnya pagar itu tidak ia buat dari bahan yang istimewa sehingga dapat dijual lagi dengan harga mahal. Pagarnya tidak terbuat dari besi, yang barangkali jika dijual, si pencuri bisa mendapatkan uang untuk makan seminggu dua minggu. Pagarnya itu terbuat dari kayu dan kayunya pun ia kumpulkan dari bekas bangunan yang hampir ambruk. Hanya orang gila yang mau beli.

Sebab itu, esoknya ia bangun kembali pagarnya. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Dan masih dengan tinggi yang sama. Dan pagar yang baru ini masih mendapatkan reaksi yang sama dari para tetangganya. Reaksi heran bin tak mengerti. Si orang asing tidak peduli. Rumah itu toh rumahnya sendiri. Pagar itu pagarnya sendiri. Ia yang bikin. Ia yang mendirikan. Memangnya para tetangga itu menyumbang apa sampai-sampai ia harus peduli dengan reaksi mereka?  

Beberapa hari kemudian, peristiwa pagi itu terulang kembali. Saat ia sedang duduk untuk sarapan, dilihatnya bahwa pagarnya sudah kembali lenyap. Dan lagi-lagi seperti sebelumnya, lenyapnya juga tak berbekas. Tak ada tanda-tanda pagar itu dicuri dengan paksa. Pagar itu seperti hilang begitu saja. Orang asing itu mulai bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada salah satu dari para tetangganya yang ingin usil dan mengerjain ia. Beberapa tetangga yang mengusulkan untuk lapor polisi kini mulai mengusulkan untuk minta bantuan orang pintar. Orang pintar disini adalah orang yang pintar menemukan barang-barang hilang dengan cara yang aneh. Bukan pintar karena di sekolah ia selalu juara atau pintar karena umur dua puluhan sudah mendapatkan gelar PhD. 

Tapi, lagi-lagi si orang asing memutuskan untuk membangun kembali pagarnya seperti semula. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Dan masih dengan tinggi yang sama. Meskipun untuk itu, ia mendapatkan tambahan reaksi dari para tetangganya. Selain aneh, ia mulai mendapatkan tambahan label 'gila'. Yang sopan biasanya cukup mengatakan: 'kurang waras'. Tapi yang terang-terangan juga tak kalah banyak. Sehingga, tak lama ia juga mulai terbiasa dibilang 'laki-laki aneh yang gila'. Sudah aneh, gila pula. Biar saja. Ia masih bisa hidup meski dibilang aneh lagi gila. Yang penting ia tahu bahwa ia tidak gila betulan.

Hingga di pagi hari yang lain, peristiwa tersebut lagi-lagi terulang. Pagarnya lenyap. Lagi. Untuk yang ketiga kalinya. Dan yang ketiga kalinya itu berhasil bikin laki-laki ini jengkel. Apa salahnya sehingga ia harus selalu kehilangan pagar? Pagar yang tak berharga pula! Pagar yang cuma terbuat dari bahan bekas pula! Pagar yang saking pendeknya, sebenarnya bisa membuat si pencuri berpikir ulang untuk mencuri isi rumahnya saja ketimbang mencuri pagarnya yang jelek itu. 

Ditanyainya para tetangga satu persatu. Pernahkah ada diantara mereka yang pernah mengalami peristiwa aneh seperti yang ia alami? Dan satu persatu pula para tetangganya menggeleng. Tak ada satu pun dari mereka yang pernah kehilangan pagar. Maka, ia memutuskan untuk mengamati pagar-pagar rumah para tetangganya. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Diamatinya dengan takjub, bahwa baru ia sadari, para tetangganya rupanya orang-orang kaya, sebab mereka membangun pagar dengan bahan-bahan yang mahal dan pagar itu berdiri tegak menjulang tinggi, sehingga hampir mustahil ada orang yang melompat masuk tanpa ketahuan si empunya rumah. Ada pula pagar yang dilengkapi dengan aliran listrik, sehingga bagi yang nekad masuk ke rumah tanpa diundang, akan terkena sengatan listrik yang tak main-main. Ada juga pagar yang meskipun sudah dibangun tinggi dengan ujung-ujung runcing diatasnya, masih juga dijaga anjing berwajah menyeramkan. Si orang asing ini tertegun-tegun bin terheran-heran melihat pagar-pagar rumah tetangganya. Hingga di ujung jalan, ada rumah dengan pagar yang tinggi, kuat dan selalu terkunci. Beberapa inci dari pagar yang itu, ada pagar lain yang lebih tinggi, lebih kuat dan juga terkunci. Ia makin terheran-heran. Di balik pagar itu ada rumah yang besar, mewah namun kelihatan kesepian. Salah satu tetangganya bilang, rumah itu milik salah satu orang terkaya di kota itu. Ia cuma mengangguk-angguk.

Lantas ujung matanya menemukan sesuatu di kotak sampah rumah besar yang kesepian itu. Dilihatnya sepotong kayu yang ia kenal. Sepotong kayu dengan bahan yang sama yang ia pakai untuk membangun pagar rumahnya. Dikoreknya lebih dalam kotak sampah itu, dan ia menemukan potongan-potongan kayu lainnya. Makin terheran-heranlah ia. Masakan orang yang paling kaya di kota ini yang mencuri pagar rumahnya yang murahan itu?

Tak lama sebuah mobil mewah berhenti di dekatnya. Si supir menyuruhnya masuk. Entah bagaimana ia menurut saja. Ia merasa ini ada hubungannya dengan pagar-pagarnya yang lenyap. 

Di dalam mobil itu ada seorang tua. Laki-laki dengan tongkat di tangan, yang memandanganya sedemikian rupa, namun lantas tersenyum sedih. 

Dengan wajah sayu, laki-laki tua itu minta maaf padanya. Ia mengaku pada si orang asing bahwa ia yang mencuri pagar-pagar rumahnya. Mengapa, tanya orang asing itu. 

Dan beginilah jawabnya kepada orang asing itu: "Kucuri pagar rumahmu karena aku cemburu. Aku cemburu karena kamu masih punya rasa percaya pada orang-orang yang hidup di sekelilingmu. Kamu percaya meski pagar rumahmu pendek, orang takkan datang untuk mengganggumu atau mengobrak-abrik isi rumahmu buat mencari barang berharga untuk dicuri. Coba lihat aku. Lihat para tetanggamu. Aku cemburu sekaligus marah karena tak terima masih ada orang sepertimu yang masih punya rasa percaya. Aku? Aku tak percaya pada orang lain. Aku bahkan tak percaya pada istri dan anak-anakku sendiri. Aku tak percaya pada pegawai-pegawaiku. Mereka kelihatannya saja setia padaku, tapi mereka sebenarnya setia pada uangku. Asalkan aku masih punya lembaran-lembaran uang untuk disumpalkan ke mulut mereka, mereka takkan menyentuhku. Aku tak percaya pada mereka. Tak percaya pada siapapun di dunia ini. Karena itulah kubangun pagarku tinggi-tinggi, kubuat dua kali lipat, supaya aku tetap merasa aman."

Mendengar serentetan curahan hati laki-laki tua pencuri pagar rumahnya yang baru saja ia kenal, tiba-tiba saja orang asing itu merasa menjadi manusia yang paling beruntung dan paling bahagia di muka bumi ini. Dan itu semua karena ia memiliki sesuatu yang sederhana dan barangkali tak ia sadari ia miliki sebelumnya, yaitu: rasa percaya. Kali ini diamatinya satu persatu rumah-rumah yang ia lewati melalui jendela mobil mewah milik laki-laki tua itu. Makin banyak rumah yang ia lewati, makin prihatinlah ia. Laki-laki tua tadi benar, wabah penyakit rasa percaya itu sudah menjangkit sedemikian rupa di negeri ini - setidaknya di kota tempat ia tinggal ini. Pagar-pagar yang menjulang tinggi. Orang-orang yang bergegas masuk ke rumah tanpa menyapa kanan kiri. Anak kecil yang jatuh dan tak ada yang menolong, karena mereka takut anak kecil itu hanya pura-pura jatuh dan pada akhirnya yang berniat menolong malah jadi buntung sebab barang berharganya dicuri. Ia bahkan jadi teringat liputan di sebuah stasiun televisi yang memperlihatkan para polisi dan petugas keamanan repot mengosongkan jalan demi keamanan presiden dan rombongan yang akan lewat. Apa jadinya jika presiden tak lagi percaya pada rakyatnya?

Maka dengan sendu ia putuskan untuk turun dari mobil mewah itu. Barangkali tempat ini bukan tempat yang tepat untuk orang sepertinya. Ia tak bisa hidup terus-menerus dengan rasa curiga. Ia tak bisa begitu saja membunuh rasa percaya yang ia miliki. Sama seperti pagar rumahnya yang dicuri, seperti itulah yang ia rasakan saat ini: rasa percaya yang sedikit berkurang. Dan ia tak suka rasa percayanya dicuri orang yang baru ia kenal. Ia masih ingin membangun pagarnya pendek-pendek, dengan bahan yang tak mahal dan tetap tak punya rasa curiga terhadap orang-orang yang lewat depan rumahnya.

Pagi berikutnya, para tetangga menemukan rumah orang asing itu kosong. Pagar yang baru sudah dibangun. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Masih dengan tinggi yang sama. Hanya kali ini ada papan yang bertuliskan demikian:

"Masuklah hai kamu yang kelaparan, yang kehausan, yang ingin berteduh dari cuaca tak bersahabat. Tak perlu mengetuk, masuk saja dan percayalah semuanya tersedia untuk kamu yang membutuhkan."

Sayangnya, hingga bertahun-tahun kemudian, rumah itu tetap kosong. Tak ada yang mengetuk, tak ada yang masuk. Ada yang bilang itu rumah hantu. Ada yang bilang itu jebakan teroris. Ada juga yang tak percaya semuanya tersedia untuk yang membutuhkan. Yang pasti, pagarnya tak lagi ada yang mencuri. Sampai suatu ketika papan itu akhirnya dicabut pemerintah setempat dan diganti dengan papan bertuliskan: "DISITA. MILIK NEGARA."

Saturday, 10 August 2013

Gambar diambil dari sini


Friday, August 09, 2013

tindik


Mengunjungi kawan yang baru bersalin itu terkadang menjadi dilema tersendiri untukku. Di satu sisi, aku ikut gembira, seorang lagi bayi molek lahir dan ada sepasang suami istri yang bahagia menyambut si bayi. Harapan dan jiwa baru untuk peradaban manusia. Di sisi lain, aku malah berpikir yang tidak-tidak, seperti bumi yang makin penuh dan sesak. Terutama apabila bayi itu lahir di pulau Jawa. Kebebasan memang cuma mitos, karena seandainya manusia memang makhluk bebas, maka sedari dini ia bisa menentukan ingin lahir ke bumi ini atau tidak.

Dilema yang lebih dalam lagi kurasakan apabila persalinan itu mengandung anak perempuan yang lahir. Tiba-tiba saja - entah bagaimana - aku bisa merasa kasihan pada bayi perempuan yang baru lahir. Apalagi bayi perempuan yang belum juga seminggu menghirup polusi udara itu sudah dilubangi kedua telinganya untuk digantungi sesuatu yang bernama anting-anting. Seolah-olah sebagai pertanda bagi si orang tua bahwa bayi mereka resmi menyandang jenis kelamin perempuan. Vagina sebagai penanda saja tak cukup, sebab vagina tidak diperuntukkan untuk dilihat khalayak umum. Padahal dunia perlu tahu bayi ini berjenis kelamin perempuan.

Tindik pada telinga bayi perempuan sejak lahir bagiku seperti tuntutan yang diputuskan di ruang pengadilan tanpa pembelaan. Bayangkan. Semenjak kecil, perempuan sudah dituntut untuk mengenakan anting-anting. Sesuatu yang tak diberikan pada para bayi laki-laki. Bagaimana jika kelak bayi-bayi perempuan itu seperti diriku yang menyesali kedua lubang di telingaku yang sudah bertahun-tahun tak kugantungi sesuatu? Dan juga bertanya-tanya sepertiku, mengapa untuk telingaku sendiri, aku sudah kehilangan hak untuk tidak melubanginya?

Jadi beginilah aku berpikir. Disini, di negeri tempat aku tinggal ini, dimana tindik begitu penting untuk dilakukan pada seorang bayi perempuan, seumpama hutan belantara bagi para perempuan. Kau takkan pernah merasa aman dan harus selalu waspada. Tindik adalah simbol, bahwa menjadi perempuan di negeri ini sama dengan diserbu oleh banyak kata 'seharusnya'. Perempuan seharusnya pakai rok. Perempuan seharusnya tidak duduk mengkangkang. Perempuan seharusnya berambut panjang. Anak perempuan seharusnya bermain boneka dan pada hari Kartini bersedia didandani seperti ondel-ondel, lengkap dengan gincu tebal, rambut palsu yang berat dan berjalan dengan terseok-seok karena sepatu sewaan yang tak nyaman. Perempuan seharusnya akrab dengan baju warna merah muda dan belanja di musim diskonan. Perempuan seharusnya kawin sebelum umur 30, sebab bisa diberi stempel 'tidak laku' jika lewat dari umur segitu. Perempuan seharusnya.... Dan tiba-tiba aku merasa tak rela. Tak rela membayangkan betapa panjang daftar 'seharusnya' yang akan kutulis apabila kupaksa untuk meneruskan.

Aku tak pernah suka kedua lubang di telingaku. Buatku, kedua lubang itu kesia-siaan belaka sebab aku nyaris tak pernah menggunakannya. Aku menerima dibilang makhluk aneh hanya karena aku bercerita bahwa saat umurku dua tahun, aku sudah berani bertengkar dengan ibuku perkara baju berenda yang hendak dipakaikan ke tubuhku. Oh betapa aku benci dengan baju berenda yang bisa bikin tubuhku gatal-gatal. Aku juga tak malu mengakui bahwa aku suka duduk mengkangkang tanpa bermaksud tidak sopan atau sengaja melawan aturan moral yang dibikin masyarakat untuk perempuan. Duduk mengkangkang saat berkendara bikin aku merasa aman dan duduk mengkangkang saat santai bikin aku nyaman. Bukankah cara duduk ini seperti selera makan? Jika aku suka sambel terasi, lantas apa itu dosa? Aku toh tidak merepotkan orang lain?

Diam-diam aku berharap, kelak banyak perempuan memahami bahwa sebenarnya mereka cuma punya satu aturan 'seharusnya'. Perempuan seharusnya punya hak untuk mendefinisikan sendiri hidup dan mimpi mereka, tanpa perlu diatur-atur negara dan masyarakat. Ya. Sesederhana itu.

Tapi mungkin ini hanya pikiran konyolku belaka. Barangkali juga berlebihan. Barangkali.

Friday, 9 August 2013
02:07 am

Gambar diambil dari sini