Friday, August 09, 2013

tindik


Mengunjungi kawan yang baru bersalin itu terkadang menjadi dilema tersendiri untukku. Di satu sisi, aku ikut gembira, seorang lagi bayi molek lahir dan ada sepasang suami istri yang bahagia menyambut si bayi. Harapan dan jiwa baru untuk peradaban manusia. Di sisi lain, aku malah berpikir yang tidak-tidak, seperti bumi yang makin penuh dan sesak. Terutama apabila bayi itu lahir di pulau Jawa. Kebebasan memang cuma mitos, karena seandainya manusia memang makhluk bebas, maka sedari dini ia bisa menentukan ingin lahir ke bumi ini atau tidak.

Dilema yang lebih dalam lagi kurasakan apabila persalinan itu mengandung anak perempuan yang lahir. Tiba-tiba saja - entah bagaimana - aku bisa merasa kasihan pada bayi perempuan yang baru lahir. Apalagi bayi perempuan yang belum juga seminggu menghirup polusi udara itu sudah dilubangi kedua telinganya untuk digantungi sesuatu yang bernama anting-anting. Seolah-olah sebagai pertanda bagi si orang tua bahwa bayi mereka resmi menyandang jenis kelamin perempuan. Vagina sebagai penanda saja tak cukup, sebab vagina tidak diperuntukkan untuk dilihat khalayak umum. Padahal dunia perlu tahu bayi ini berjenis kelamin perempuan.

Tindik pada telinga bayi perempuan sejak lahir bagiku seperti tuntutan yang diputuskan di ruang pengadilan tanpa pembelaan. Bayangkan. Semenjak kecil, perempuan sudah dituntut untuk mengenakan anting-anting. Sesuatu yang tak diberikan pada para bayi laki-laki. Bagaimana jika kelak bayi-bayi perempuan itu seperti diriku yang menyesali kedua lubang di telingaku yang sudah bertahun-tahun tak kugantungi sesuatu? Dan juga bertanya-tanya sepertiku, mengapa untuk telingaku sendiri, aku sudah kehilangan hak untuk tidak melubanginya?

Jadi beginilah aku berpikir. Disini, di negeri tempat aku tinggal ini, dimana tindik begitu penting untuk dilakukan pada seorang bayi perempuan, seumpama hutan belantara bagi para perempuan. Kau takkan pernah merasa aman dan harus selalu waspada. Tindik adalah simbol, bahwa menjadi perempuan di negeri ini sama dengan diserbu oleh banyak kata 'seharusnya'. Perempuan seharusnya pakai rok. Perempuan seharusnya tidak duduk mengkangkang. Perempuan seharusnya berambut panjang. Anak perempuan seharusnya bermain boneka dan pada hari Kartini bersedia didandani seperti ondel-ondel, lengkap dengan gincu tebal, rambut palsu yang berat dan berjalan dengan terseok-seok karena sepatu sewaan yang tak nyaman. Perempuan seharusnya akrab dengan baju warna merah muda dan belanja di musim diskonan. Perempuan seharusnya kawin sebelum umur 30, sebab bisa diberi stempel 'tidak laku' jika lewat dari umur segitu. Perempuan seharusnya.... Dan tiba-tiba aku merasa tak rela. Tak rela membayangkan betapa panjang daftar 'seharusnya' yang akan kutulis apabila kupaksa untuk meneruskan.

Aku tak pernah suka kedua lubang di telingaku. Buatku, kedua lubang itu kesia-siaan belaka sebab aku nyaris tak pernah menggunakannya. Aku menerima dibilang makhluk aneh hanya karena aku bercerita bahwa saat umurku dua tahun, aku sudah berani bertengkar dengan ibuku perkara baju berenda yang hendak dipakaikan ke tubuhku. Oh betapa aku benci dengan baju berenda yang bisa bikin tubuhku gatal-gatal. Aku juga tak malu mengakui bahwa aku suka duduk mengkangkang tanpa bermaksud tidak sopan atau sengaja melawan aturan moral yang dibikin masyarakat untuk perempuan. Duduk mengkangkang saat berkendara bikin aku merasa aman dan duduk mengkangkang saat santai bikin aku nyaman. Bukankah cara duduk ini seperti selera makan? Jika aku suka sambel terasi, lantas apa itu dosa? Aku toh tidak merepotkan orang lain?

Diam-diam aku berharap, kelak banyak perempuan memahami bahwa sebenarnya mereka cuma punya satu aturan 'seharusnya'. Perempuan seharusnya punya hak untuk mendefinisikan sendiri hidup dan mimpi mereka, tanpa perlu diatur-atur negara dan masyarakat. Ya. Sesederhana itu.

Tapi mungkin ini hanya pikiran konyolku belaka. Barangkali juga berlebihan. Barangkali.

Friday, 9 August 2013
02:07 am

Gambar diambil dari sini

0 komentar ajah: