Di sebuah mini market, seorang ibu muda marah-marah. Ia baru saja
membeli beberapa barang disitu, dan ketika ia membayar, penjaga kasir
memberinya kembalian permen dua biji. Padahal jika membaca struk yang ia
terima, ia seharusnya mendapatkan kembalian sebesar empat ratus rupiah. Ini
sudah kedua kalinya dalam minggu ini.
"Dua hari yang lalu saya kemari, saya juga dapat kembalian
permen. Kalau permen-permen yang saya dapatkan dari sini saya kumpulkan, saya
bila beli satu bungkus mie instan. Gimana? Bisa nggak saya beli satu bungkus
mie instan pakai permen yang kalian beri?" tanyanya sewot. Si kasir,
seorang trainee yang baru masuk hari itu hanya bisa menggelengkan kepala.
Wajahnya pucat, tak menyangka di hari pertama ia masuk kerja sudah kena semprot
pembeli.
"Ini bentuk lain dari korupsi!" kata si ibu muda itu
tadi. "Yang nilainya kecil macam begini saja kalian lakukan, apalagi kalau
ditawari yang besar! Saya laporin KPK baru tahu rasa!" Dan setelah puas
mengomeli si trainee tadi, ibu muda itu pulang ke rumah.
Di rumah, suaminya sedang membaca surat kabar sambil menggerutu.
"Negara ini sudah edan. Pejabat-pejabat yang digaji pakai uang pajak kita
itu isinya kok koruptor semua. Wakil rakyat mbahe
dewe! Ditawari Toyota Alphard satu biji plus duit bunyinya M langsung
takluk. Ora nduwe udel! Mereka nggak
takut karma apa? Disiksa setan di neraka? Mantan putri kecantikan ketemon korupsi! Menteri ketemon
korupsi! Petinggi partai besar korupsi! Sampai orang hukum tertinggi pun
korupsi! Edan! Bau uang sudah bikin mereka mabuk kepayang!"
Gerutuan sang suami disambut oleh sang istri, si ibu muda tadi
yang baru marah-marah di mini market perkara uang seribu seratus tujuh puluh
lima yang dikorupsi oleh pemilik mini market. Mereka berdua sepakat negara ini
isinya kebanyakan oportunis yang buta dengan kekuasaan dan semerbak bau uang
bergepok-gepok. Nilainya tak lagi ratusan, bahkan sudah M sampai T. Ratusan sih
untuk mereka di level lele! Level hiu kayak mereka kurang jika dapat ratusan
saja.
Dan pada akhirnya, mereka menyimpulkan: "Kasihan bukan
kepalang KPK itu. Tugas mereka banyak dan berat…." Mereka - suami istri itu –
lantas mendesah bersama-sama.
Sementara itu, trainee
bagian kasir di mini market tadi termenung-menung teringat si ibu yang
marah-marah padanya perkara kembalian sebesar uang empat ratus lima puluh
rupiah. Namun pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal
itu, dan mengantar anaknya yang kelas 1 SD ke sebuah mall untuk mengikuti lomba
mewarnai. Jika anaknya menang, lumayan ada hadiah uang tunai yang bisa ditabung
untuk membelikan anaknya tas baru.
"Tidak boleh dibantu orang tuanya ya," kata si petugas
sambil menyerahkan kertas gambar untuk diwarnai anaknya setelah ia membayar
uang pendaftaran.
Saat ia sedang menunggui anaknya mewarnai gambar dengan
seriusnya, ia melihat beberapa orang tua lain kasak kusuk sambil
menunjuk-nunjuk. Rupanya ada salah satu peserta lomba yang didampingi kedua
orang tuanya, dan orang tuanya ikut mewarnai kertas bergambar milik anaknya.
Beberapa sudah lapor pada petugas dan ia sendiri melihat petugas itu mencatat
sesuatu di kertas yang ia pegang, jadi ia berasumsi peserta itu akan
didiskualifikasi - atau paling tidak, tidak dinilai.
Tibalah mereka di akhir acara, yaitu pengumuman para pemenang
lomba mewarnai. Satu per satu MC menyebutkan berurutan pemenang dari juara
harapan tiga hingga juara satu. Saat nama pemenang juara satu disebut, para
orang tua yang tadi kasak kusuk kembali heboh. Rupanya pemenangnya justru
peserta yang orang tuanya ikut nimbrung mewarnai sehingga hasilnya memang jauh
lebih bagus, rapi dan bersih dibandingkan dengan peserta lainnya –
yang sebenarnya jika para panitia menggunakan akal sehat mereka, agak mustahil
hasil pewarnaan serapi dan sebersih itu dilakukan oleh anak kelas 1 SD.
Namun, tak ada yang lebih mengejutkan bagi si trainee itu, selain kenyataan bahwa ia
sudah pernah bertemu dengan sang ibu dari peserta juara 1. Itu ibu yang pernah marah-marah
padanya perkara uang empat ratus lima puluh rupiah dan menudingnya melakukan
korupsi. Punahlah sudah kesempatan untuk beli tas baru buat anaknya.
Saya? Saya yang mengamati kisah ini cuma bisa getun bin gumun. Atau niru bapak presiden deh: saya prihatin. Dan saya
sama sekali nggak berminat berempati menjadi ketua atau wakil ketua 1 atau wakil
ketua 2 atau posisi apapun di KPK. Kerjaannya terlalu berat untuk ikut dirasakan. It's a never ending job, kayak kerjaan nyuci piring dan nyuci baju. Lha wong generasi penerusnya saja sudah
diajarin seperti itu sejak kecil.
Lebih baik saya wara-wiri di media sosial aja deh, sambil tepok
jidat dan nulis di blog.
Negeri ini memang lucu.
Sunday, 2 February 2014
9.45 pm
Based on true story.
Gambar diambil dari sini.
2 komentar ajah:
*jempol*
Miris bacanya karena berdasarkan kisah nyata. Itu yang jadi juri mewarnai lebih suka jadi buta ya? Ngga habis pikir...
Post a Comment