Monday, May 18, 2015

ironi


“Kamu tahu mengapa aku butuh kafein?”

Tak ada hujan, tak ada angin, apalagi petir dan guntur. Tiba-tiba saja kawanku yang setengah sableng ini bertanya padaku. Padahal, sumprit, aku nggak kepengen tahu. Tapi aku kawan yang baik dan tidak sombong. Meski sableng, tetap kutanggapi pertanyaannya.

“Memangnya mengapa?” tanyaku.

“Sebab kafein selalu berhasil bikin aku kesurupan.”

Benar kan kalau kubilang kawanku ini sableng?

“Kenapa harus kesurupan?”

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa juga aku bertanya? Pasti ngocehnya bakal lebih nggak keruan!

“Karena hanya dengan kesurupan aku bisa menulis – menjabarkan aksara yang wira-wiri di otakku ini menjadi sebuah kisah. Seperti sekarang!”

“Sekarang kamu lagi butuh kafein?”

Ia mengangguk.

Sungguh rumit kawanku ini. Mau ngomong butuh kafein saja pakai bilang butuh kesurupan segala buat menulis.

“Kamu mau nulis apa sih memangnya?” tanyaku lagi mencoba bersabar.

“Banyak! Terlalu banyak sampai aku tak tahu harus mulai dari mana!”

Ia kemudian menyodorkan surat kabar hari ini padaku.

“Coba baca,” pintanya dengan nada memerintah.

“Ogah!” jawabku judes. Asal tahu saja, aku paling malas membaca koran, sebab itu berarti aku membiarkan orang-orang yang tak kukenal – mereka yang mengaku-aku berprofesi sebagai jurnalis – meracuni isi otakku dengan berita sepihak yang mereka tulis. Tulisan jurnalis bikin orang-orang kecanduan berasumsi. Padahal asumsi belum tentu benar! Dan Surga tahu betapa bencinya aku pada manusia-manusia yang suka berasumsi.

“Ayolah! Ini bukan soal politik yang kamu benci setengah mampus itu. Ini tentang nasionalisme!”

Nasionalisme? Nah, ini baru menarik. Sebab aku juga sedang mempertanyakan nasionalisme-ku sendri. Siapa tahu bisa membuat aku segera memutuskan kemana akan kubawa nasionalisme-ku ini.

Kubuka surat kabar itu, yang isinya foto-foto orang Indonesia yang tinggal di berbagai tempat di luar negeri dan usaha mereka untuk memperkenalkan budaya Indonesia di negeri orang. Mulai dari mengajari para bule maniak keju memasak makanan Indonesa yang penuh rempah itu sampai menarikan tari tradisional Indonesia di acara-acara kenegaraan pemerintah setempat. Misi mereka tak lain tak bukan menjadi jendela bagi orang-orang asing itu untuk mengintip dan mencicipi Indonesia tanpa perlu keluar dari negeri mereka.

Selesai membaca aku malah termenung-menung, sambil menatap satu-satu foto-foto dalam surat kabar tersebut.

“Bagaimana? Katakan padaku apa yang ada dalam batok kepalamu sekarang,” ucap kawanku sesaat setelah melihat aku termenung-menung selesai membaca surat kabar yang ia sodorkan padaku.

“Apa aku harus hidup di luar negeri dulu supaya aku bisa lebih bangga dengan negeriku sendiri? Dengan budayaku sendiri?” tanyaku perlahan-lahan, seolah setiap katanya meluncur keluar dari mulutku tanpa komando dari kepala.

“Pertanyaan-pertanyaan kece!” Kawanku makin bersemangat. “Apa lagi? Apa lagi?”

“Apa itu berarti budaya kita akan jatuh di tangan orang asing lagi? Seperti dulu?” Entah setan apa yang merasuki diriku sampai aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan goblok ini. Ah, aku kenal setannya. Ya kawanku ini. Tiada lain.

“Makin kece!” Kawanku bertepuk tangan keras sekali. “Persis seperti itu yang berseliweran dalam kepalaku!”

“Kalau begitu, aku sudah mulai sama sablengnya dengan kamu,” keluhku.

“Ironi. Itu kata yang paling tepat, bukan?” tanyanya tanpa peduli bunyi keluhanku.

“Nggak tahu!” Aku pura-pura kesal meski dalam hati aku setuju dengan yang ia katakan.

“Ini jelas ironi!” tandasnya tak terima dengan jawabanku. “Coba bayangkan, bagaimana tidak ironi namanya kalau orang asing lebih tertarik dan lebih tahu tentang budaya Indonesia ketimbang orang-orang Indonesianya sendiri?”

Kalau kawanku sudah mulai berapi-api begini, akan jauh lebih aman untukku jika kututup mulutku rapat-rapat.

“Coba sekarang aku tanya, apa kamu kenal anak-anak yang dikirim orang tuanya belajar gamelan, tari tradisional atau anak-anak yang masih main congklak dan menyanyikan lagu-lagu tradisional macam cublak-cublak suweng, apuse, ampar-ampar pisang? Ada tidak? Ayo jawab!”

“Nggak ada!” jawabku makin kesal. “Puas kamu?”

“Aku ada,” sahutnya, “tapi nggak banyak. Ibaratnya seujung kelingkingku ini. Apalagi kalau kamu tinggal di pulau Jawa, yang anak-anak mudanya justru kerasukan budaya dari luar. Makanya aku setuju dengan apa kata Sujiwo Tejo: budaya luar membuat anak-anak bangsa kesurupan menjelma orang asing di negeri sendiri.” Ia menoleh padaku, menatap mataku dalam-dalam. “Bukankah itu ironi? Seperti kita?”

Pelan-pelan aku mengangguk. Sebab aku melihat dengan kepalaku sendiri, anak-anak muda Indonesia yang begitu memuja seni dan budaya luar negeri tapi tak paham seni dan budaya negeri sendiri. Ketidakpahaman bukan sesuatu yang salah sampai ia berubah bentuk menjadi ketidakpedulian.

Sama ironinya saat aku melihat kami berdua. Kawan karib, saling seloroh, saling memaki, apa adanya, saling memahami meski kami berbeda, saling mencintai tapi tak bisa bersatu.

Hanya gara-gara namaku Sinta dan nama kawanku itu Rahwana.

Hidup di negeri ini memang ironi. Tapi entah mengapa, aku dan Rahwana tetap berkawan akrab dan mencintai negeri ini mati-matian. Cinta memang ironis.


Monday, 18 May 2015
12 : 09 am

PS : gambar diambil dari sini 

0 komentar ajah: