Wednesday, June 10, 2015

menangis

Hai.

Saya sedang ingin menangis. Ingin sekali. Tapi semakin kuat keinginan saya untuk menangis, semakin tidak ada satu tetes air mata pun yang keluar. Saya jadi bertanya-tanya pada Tuhan. Saya ingin ini, tidak boleh. Saya ingin itu, jalan buntu. Saya ingin begini, tidak bisa. Saya ingin begitu, tidak diijinkan. Kali ini, bahkan saya cuma ingin menangis, masa masih juga tidak boleh? Jadi, apa yang boleh?

Perkara menangis ini sebenarnya perkara mudah buat saya. Untuk setiap film yang pernah saya tonton, barangkali kecuali film-filmnya Dono Kasino Indro, minimal satu kali saya menangis. Berapa kali pun nonton Lion King, berapa kali itu pula saya menangisi kematian Mufasa. Lebih baik saya mendapatkan peran yang mengharuskan saya untuk menangis, daripada dapat peran yang mengharuskan saya ketawa terbahak-bahak. Akting menangis itu tidak terlalu sulit buat saya. Saya juga bisa meneteskan air mata kalau saya sangat marah dan saya harus menahan kemarahan saya.

Setelah saya ingat-ingat, saya menangis karena sedih mungkin cuma dua kali. Yang pertama saat mendengar tentang kematian papi saya, yang kedua tentang kematian mami saya. Yang sering, saya menangis karena harus menahan marah.

Sedih ya. Ternyata saya nggak bisa segampang itu mengeluarkan air mata. Lebih sedih lagi karena tahu, kalau semuanya ini berhubungan dengan yang namanya ego.

Iya. Ego.

Saya kayaknya terlalu sombong buat menangis karena sedih. Ralat. Saya memang terlalu sombong buat menangis karena sedih. Mungkin karena saya selalu bilang pada diri sendiri, kesedihan cuma untuk mereka yang lemah. Dan saya tak sudi dicap sebagai makhluk lemah.

Anjing.

Ego saya ternyata lebih keras kepala daripada saya. Sudah lama saya ingin usir dia jauh-jauh, tapi dia makin betah ngendon dalam diri saya. Sepertinya karena saya tidak pernah sungguh-sungguh mengusirnya. Seperti sekarang ini. Betapa pun ingin saya menangis karena sedih.

Mungkin nanti malam. Ego dan Tuhan akan membiarkan saya menangis sejadi-jadinya. Saat sunyinya malam datang. Saat hanya terdengar detak jarum jam.

Dan saat saya menjadi satu-satunya makhluk di dalam rumah saya yang belum tidur.

Mungkin.


Wednesday, 10 June 2015
6:26 pm 
Life has been so cruel to me recently.

#NulisRandom2015

PS : Gambar diambil dari sini 

Wednesday, June 03, 2015

bu tono dan tuntutan tetangga


Malam itu bu Tono termenung-menung. Wajahnya yang cantik kelihatan suntuk. Melihat istrinya tercinta melamun seperti itu, pak Tono menghampirinya dan mengelus-elus lengannya yang masih langsing. Bu Tono memang cantik dan badannya masih langsing. Kecantikan dan keelokannya menurun ke anaknya, si Tini.

“Ada apa, Mam kok malam-malam melamun begini?” tanya pak Tono.

“Nggak apa-apa.” Tapi wajahnya tetap kosong.

“Walah, kalau nggak apa-apa kok melamunnya sampai sebegini malam. Ayo cerita ke Papa biar lega hatimu. Kalau hati sudah lega kan, kita bisa….” Mata pak Tono tiba-tiba berbinar-binar.

Bu Tono mencubit perut suaminya yang genit. “Papa genit ah. Itu lho, Pap, tadi siang ibu-ibu tetangga ramai-ramai ke rumah kita.”

“Lho, kok tumben arisannya siang-siang? Biasanya kan malam hari?” tanya Pak Tono heran.

“Nah itu dia. Mereka memang kemari bukan karena mau arisan, Pap. Mereka kemari karena mau demo. Mau menuntut kita. Tepatnya mau menuntut Tini, anak kita.”

“Lho? Mau demo? Mau menuntut kita? Lha apa mereka pikir kita ini anggota DPR yang sampai sekarang nggak jelas juntrungannya itu? Lagian mau ngapain juga mereka menuntut Tini? Toh Tini nggak pernah mengganggu mereka?” Pak Tono tidak terima mendengar laporan istrinya. Apalagi ini perihal anak kesayangannya.

“Iya, Pa. Mereka datang kemari untuk menuntut kejelasan tentang Tini, anak kita itu.”

“Lho kurang jelas apa si Tini itu? Dia cantik. Berprestasi. Baik. Suka menolong. Cuma kurang bisa menabung aja si Tini itu. Bawaannya belanja sendal jepit terus kalau punya duit. Ya memang aneh sih si Tini, koleksi kok malah sendal jepit begitu. Memang kurang elegan. Tapi masa gara-gara itu si Tini didemo sama tetangga?”

“Bukan, Pa. Ini bukan perkara sendal jepit koleksinya Tini. Mereka menuntut kejelasan tentang pacarnya si Tini.”

Pak Tono melongo. “Pacarnya si Tini? Memangnya Tini sudah punya pacar, Ma? Kok kamu nggak cerita ke papa? Ganteng nggak pacarnya? Kuliah dimana? Orang tuanya kerja apa?”

Bu Tono mengibaskan tangannya menyuruh suaminya diam. “Ih, papa ini gimana sih. Tini itu belum punya pacar. Dia bilang masih mau fokus kuliah dulu.”

“Lho, tapi kok tetangga menuntut kejelasan tentang pacarnya Tini?”

“Ya itu dia yang bikin mama melamun sampai malam begini. Jadi, ibu-ibu itu tadi siang kemari. Mereka bilang mereka sering melihat Tini itu pergi dan pulang diantar oleh laki-laki. Kalau laki-lakinya sama sih mereka nggak masalah. Lha ini yang anterin dan yang jemput bisa beda. Dalam satu hari bisa ada dua atau tiga laki-laki yang mengantar dan menjemput Tini. Mereka menuntut penjelasan. Sebenarnya pacarnya Tini itu yang mana sih?”

“Lha, mama kenal nggak dengan semua laki-laki yang mengantar dan menjemput Tini itu?”

“Ya mama sih tahu. Dan menurut Tini, mereka cuma berteman. Lagipula yang antar dan jemput Tini juga nggak selalu laki-laki kok. Pernah juga teman perempuannya menjemput. Mama juga bingung kenapa mereka harus dapat penjelasan tentang yang mana sesungguhnya pacar Tini. Masa Tini disuruh bohong supaya mereka puas?”

“Apa mama sudah bilang kalau anak laki-laki yang menjemput dan mengantar Tini itu cuma teman-temannya saja?”

“Sudah, tapi mereka tetap tidak percaya. Mereka tetap menuntut kejelasan tentang pacar anak kita. Sebuah nama. Kalau perlu sekaligus alamat, nama orang tua anak laki-laki itu, kuliah dimana, nanti mau kerja sebagai apa dan….”

“Lho lho… itu kan harusnya hak papa untuk bertanya. Bukan mereka.” Pak Tono tidak terima mendengar cerita istrinya. “Terus apa yang mama jawab?”

“Mama tidak bisa menjawab. Dan mereka memberi waktu sampai besok untuk menjawab tuntutan mereka. Kalau memang Tini belum punya pacar, bagaimana Mama harus bertatap muka dengan ibu-ibu itu? Nanti siapa yang akan beli kue-kue bikinan kita kalau tuntutan mereka tidak bisa Mama jawab?”

Pak Tono berpikir, kemudian membisikkan sesuatu di telinga istrinya. Seketika mata sang istri berbinar seolah baru tiba-tiba menemukan kebenaran.

Esok paginya, bu Tono menemui ibu-ibu yang menagih jawaban atas tuntutan mereka tentang pacar Tini. Dijawabnya bahwa nama pacar Tini itu Tony. Lengkapnya Antony Sitanggang. Baru-baru saja pacarannya. Antony Sitanggang ini kuliah di jurusan Manajemen Pemasaran, jadi sudah pasti cerah masa depannya. Orang tuanya cukup terpandang, tapi tidak tinggal di kota ini. Ibu-ibu tadi mengangguk-angguk puas mendengar jawaban bu Tono. 

Bu Tono lega karena ia masih bisa ikut arisan bersama ibu-ibu tadi.

Tak sampai dua bulan, ibu-ibu tadi kembali demo di depan rumah bu Tono. Kali ini mereka menuntut penjelasan kapan Tini akan menikah dengan Tony.


Wednesday, 3 June 2015
10:59 pm

participating in #NulisRandom2015

PS: Thank you, MY for inspiring me to write this story

Foto diambil dari sini