Wednesday, October 21, 2015

kuku-kukuku

Kalau kau sungguh ingin tahu seberapa serius kujalani hidupku, lihatlah kuku-kukuku. Namun yang perlu kau ketahui sebelum melihat kuku-kukuku adalah semakin serius yang kuhadapi, semakin jelek pula kuku-kukuku. Terkadang bahkan sudah tak bisa lagi dibedakan mana kuku dan mana dagingnya, saking tipis kukus yang kumiliki. Pernah, aku menggigiti kukuku sedemikian rupa sehingga sisi kuku yang kugigiti itu bengkak dan harus kujalani operasi kecil-kecilan karena 

Jadi, sudah kau lihat kuku-kukuku? Kalau kau lihat mereka jelek, tahu kan seberapa serius kupandangi dan kujalani hidupku?

Aku selalu menggigiti kukuku setiap kali aku berpikir. Padahal kata Descartes: kau harus berpikir dulu supaya kau ada. Sebab itu untuk selalu ada, aku harus mengorbankan kuku-kukuku.

Baru-baru ini aku terpaksa menutup ujung jari tengahku dengan plester. Bukan apa-apa, tapi ini demi melindungi eksistensi kuku-kukuku supaya tetap pada tempatnya. Beberapa kali, apabila tak tahan, kubuka plesternya dan kugigiti kembali kukuku itu sampai tipis dan tinggal seperempat. Ada kenikmatan tersendiri atas nyeri yang datang akibat apa yang kulakukan itu.

Jorok? Barangkali. Tapi apa boleh buat. Seorang kenalan sudah membuatku gelisah. Dan buatku, gelisah sama dengan berpikir, yang berarti juga lagi-lagi mengorbankan kuku-kukuku yang sebenarnya sudah tak layak lagi disebut kuku.

Begini.

Beberapa waktu yang lalu, seseorang berucap begini dihadapanku: “Saya menghayati rumah adalah tempat kita bisa tampil apa adanya.”

Satu detik setelah aku mendengar kalimat ini, kuku-kukuku gatal tak terkira. Dan makin gencar kugigiti mereka. Aku gelisah sebab buatku ucapannya sungguh omong kosong. Dan omong kosong ini ia ucapkan di depan banyak orang yang mengangguk-angguk  aja seperti burung perkutut mendengarkannya. Iya, aku tidak sedang salah bicara. Buat aku, tampil apa adanya itu omong kosong. Di rumah. Di sekolah. Di kantor. Di tempat umum. Dimanapun. Omong kosong.

Tahu apa lagi yang omong kosong? Frasa “be yourself” atau “jadilah dirimu sendiri”. Itu frasa paling absurd yang pernah kudengar di muka bumi ini. Frasa terabsurd nomor dua jatuh pada “Behind every successful man, there is a great woman” alias “Dibalik kesuksesan para pria, ada wanita yang hebat”. Namun, lain kali sajalah kuceritakan alasan mengapa kubilang frasa ini kunobatkan menjadi frasa terabsurd nomor dua.

“Tapi, bukannya kalimat ‘jadilah dirimu sendiri’ itu bagus?” kilah kawanku. “Hidup terlalu singkat untuk jadi orang lain, Sis!”

Sumpah, aku benci dipanggil ‘sis’ sementara namaku sama sekali tidak mengandung suku kata itu. Mendekatinya pun tidak. Dan saat ini yang paling ingin kulakukan adalah memukul muka kawanku itu keras-keras dan menampar kedua pipinya. Sebab, mulutnya saja yang bilang “jadilah dirimu sendiri” tapi kalau aku berbusana sesuai dengan seleraku, mulutnya juga yang paling pertama celometan alias berceloteh dan mengomentari apa yang kupakai mulai dari ubun-ubun sampai jari kakiku. Ujung-ujungnya dia menyarankan gaya berbusana yang lebih menarik, lebih kekinian , lebih sopan. Menurut dia.

“Jadilah dirimu sendiri”? Omong kosong.

Seumur hidupku, aku tak pernah merasakan benar-benar jadi diri sendiri. Aku yakin kau juga. Seyakin aku pada eksistensi pelangi dan salib Yesus.

Aku tak heran kalau kau saat ini mulai bertanya-tanya: “Kok bisa?”

Coba pikir. Aku sudah. Kuku-kukuku buktinya. Dulu waktu aku kecil, seandainya aku bisa menjadi aku apa adanya, aku mungkin malas berangkat sekolah, malas mandi, malas tidur karena acara tivi makin malam makin menarik, juga malas belajar. Aku akan lebih memilih memakai jeans setiap hari ketimbang mengenakan rok berbunga-bunga yang selalu dibelikan ibuku. Tapi kenyataannya tidak. Tiap pagi, ibuku harus menyeret aku dari tempat tidurku untuk mandi supaya aku tidak terlambat masuk sekolah. Dan itu semua terjadi di dalam rumah.

Iya. Rumah. Yang dihayati oleh seseorang sebagai tempat kita semua tampil apa adanya.

“Tapi kelak nanti kalau kau kawin, tentu kau akan kawin dengan seseorang  yang menerimamu apa adanya bukan?” tukas kawanku lagi. Belum kapok juga dia.

“Kau mau kawin dengan seseorang yang menerimamu apa adanya?” tanyaku padanya.

“Pasti dong!” jawabnya tegas.

“Aku ogah,” balasku tak kalah tegasnya.

“Kenapa?”

Untunglah dia bertanya 'kenapa', dan bukannya 'siapa yang tanya'. Dan semoga setelah ini, ia tidak hidup dengan cara pandang lagu-lagu cinta jaman dulu. Tahu kan? George Benson. Billy Joel. Barry White. Ah, sudahlah.

“Kalau aku kawin supaya orang menerima aku apa adanya, aku nggak akan kemana-mana! Aku nggak akan jadi lebih baik! Aku perlu dituntut untuk mengubah sesuatu yang perlu kuubah! Kalau hanya begini-begini saja, ngapain aku kawin? Buang-buang energi saja!”

Dan kawanku pun diam.

Aku sendiri jadi ingat lagunya Tulus.

“Tapi,” kata kawanku lagi, “masa di rumah kita sendiri kelak kalau sudah kawin pun tidak bisa apa adanya?”

Tidak bisa, kawan. Seumur hidup kita tidak akan pernah bisa apa adanya. Dengan siapapun. Dimanapun. Yang kau kira apa adanya, seperti baju-baju yang kau pakai dan pasanganmu tidak protes akan apa yang kau pakai, bukan karena kau tampil apa adanya, tapi pasanganmu menghargai seleramu meskipun barangkali matanya sepet lihat kau pakai kaos berlubang dimana-mana di rumah. Kalau pasanganmu tidak protes dengan apa yang kau pakai meskipun ia tidak suka, bolehkah kukatakan padamu, kau mungkin sedang tampil apa adanya, pasanganmu tidak. Apakah itu adil? Kau tampil apa adanya sementara pasanganmu tidak?

Tidak bisa, kawan. Kalau kau tampil apa adanya di rumah, setiap saat kau ingin marah-marah dan melontarkan cacian pada pasanganmu, kau akan lakukan. Tapi kalau kau tidak lakukan, itu karena kau menghargai pasanganmu. Apa kau masih bisa apa adanya kalau kau orang yang sangat berantakan dan tak peduli barang-barangmu ada dimana sementara pasanganmu gerah jika ada satu baju saja berceceran di lantai? Kau harapkan dirimu apa adanya. Iya. Dengan pengorbanan pasanganmu.

Jadi, omong kosong kau bisa selalu tampil apa adanya di rumah. Apalagi setelah menikah. Yang ada, kau dan pasanganmu saling menyesuaikan.

Kawanku diam. Ia mulai memandang kuku-kukunya. Barangkali ia sedang berpikir. Entahlah.

Namun yang saat ini sungguh ingin kulakukan adalah melemparkan potongan-potongan kukuku pada kenalanku yang sudah menciptakan kegelisahan berhari-hari. Atas omongkosongnya tentang kebisaan selalu tampil apa adanya di rumah sendiri.

Kuku-kukuku, kisah kita belum selesai.

Kuambil plester lagi. Untuk menutup salah satu ujung kukuku. Sebelum darahnya kembali mengucur. Kali ini korbannya kuku jari manisku. Ukurannya tak kurang dari seperempat.




Surabaya, 20-21 Oktober 2015
10.05 pm – 09.56 am


Gambar diambil dari sini

1 komentar ajah:

TUNGKU_Makan & Minum said...

harapanya itu bisa nemu pertanyaan yang b
isa membuat kuku kuku itu abis. hekekekekekke....