Saturday, November 07, 2015

happiness is like a carpet


Are you happy because you are happy or you think you are supposed to be happy?

What is happiness?
Life is series of choices. So is happiness.
Happiness is a choice. She said.
Happiness is a thought. He said.
Happiness is a collection of certain memories.
Of your families. Of your friends. Of your exes.
Happiness is a glass of water when you really need one. 
Happiness is a few seconds of the ecstasy in bed with someone. 
Yes, I know, it’s also called orgasm. And germ.
Happiness is a clock. Tick tock tick tock.
He’s coming to your door, standing on the floor, his kiss you’re craving for.
Happiness is breathing at the breaking dawn, flirting with the falling dusk, making love with the big fat moon.
Happiness is tears of joy after watching a movie with a stranger beside you.
Happiness is a cup of coffee you brew for yourself, when rain stepping its feet on the ground, shaping a beautiful sound, healing your wound, with books you were born.
At the end, happiness is a price you have to pay, then, to spend, make you bend to mend.
For me, happiness is like a carpet. 
It helps you stay comfortable on the ground.
However, you have to clean it day by day, or from it, the dust will keep you away.
Happiness is like the carpet.
It is not a choice, it is not a thought. 
Happiness is like the carpet.
It is sewed to keep your feet safe and warm.
For you need to step a little farther.
A little farther. A little farther.
Happiness will guide you a little farther.
A little farther. A little farther.
The carpet is as far as you are walking on.
Happiness is not a choice. Happiness is not a thought.
Happiness is just there for you. For me. 

Are you happy because you are happy or you think you are supposed to be happy?


Surabaya, 6 November 2015
11:46 pm

[PROMPT : THE CARPET]  #NANOWRIMO

PS : Picture taken from here

Tuesday, November 03, 2015

dunia maya

Dunia maya adalah dunia yang mengerikan. Di dunia ini, kau belum tentu kau dan aku belum tentu aku. Aku yang kau kenal di dunia maya bisa berbeda dengan yang kau kenal di dunia nyata. Dan kau yang kukenal di dunia maya bisa berbeda dengan yang kukenal di dunia nyata. Tidakkah itu mengerikan?

Dunia maya adalah dunia penghakiman. Dimana aku menghakimi kau sebagai manusia terkeren sejagat raya dan kau menghakimi aku sebagai makhluk teraneh di seluruh muka bumi ini. Aku menghakimi tokoh-tokoh ternama berdasarkan judul dan isi sebuah artikel yang ditulis oleh orang yang bahkan tak kukenal. Tapi aku percaya. Atas nama ilmu jurnalisme. Kau? Kau menghakimi teman-temanmu melalui tulisan-tulisan singkat yang kau bagikan. Seolah-olah kalian saling mengenal satu dengan yang lain, padahal tidak sama sekali.

Dunia maya juga dunia perbandingan. Hei, kau tahu Steve Jobs yang menciptakan produk-produk Apple yang kau pakai itu ternyata tidak mengijinkan anak-anaknya menggunakan produk-produk yang ia ciptakan sendiri! Gawai-gawai yang keren dan kekinian itu? Yang sudah banyak diberikan pada anak-anakmu yang bahkan mengikat tali sepatu sendiri pun belum bisa. Lalu? Anak-anak Steve Jobs main apa? Main pasir! Main di kebun, halaman belakang rumah! Bersenang-senang di bawah sinar matahari! Dan tiba-tiba semua orang di negeri ini setuju. Bagikan. Bagikan. Bagikan. Sembari bicara setengah menasehati: tuh makanya anak-anak lu dikasi main pasir, main di kebun, senang-senang di bawah sinar matahari. Seperti anak-anaknya Steve Jobs, orang jenius itu. Aku sendiri bertanya-tanya. Dimana aku menemukan pasir terdekat buat anak-anak untuk bermain? Aku harus menempuh perjalanan minimal satu jam untuk mendapatkan pasir dengan pemandangan seadanya dan sampah-sampah yang mengganggu pandangan mata. Jika aku ingin menemukan pasir yang bersih berikut pemandangan indah, harus kulalui daratan dan lautan selama belasan jam. Merasakan mabuk darat dan mabuk laut sekaligus. Berbahagialah mereka, anak-anak pantai yang tiap hari punya hak istimewa untuk menikmati pasir dan tepi lautan dengan lengkungan setengah lingkaran fajar merah dan senja oranye tiap harinya. Kebun? Halaman belakang rumah? Mana ada kebun, atau halaman belakang rumah di kota yang sesak ini? Kebun hanya milik orang-orang kaya di daerah tertentu saja. Tentu bukan daerah tempat tinggal rakyat jelata sepertiku. Jadi mengapa kau harus repot-repot meniru Steve Jobs, kalau kau punya cara sendiri bermain dengan anak-anakmu – yang tidak mengandung produk-produk mahal yang ia ciptakan itu. Siapa Steve Jobs, sampai harus pula kau dan aku tiru caranya berrelasi dengan anak-anaknya? Tidak cukupkah kau dan aku gunakan saja produk ciptaannya? Sebab untuk itulah aku merogoh kocekku dan membayar dengan cukup mahal barang tersebut?

Hei, kau tahu tidak, Zuckerberg, pencipta Facebook yang ternama dan dianggap anak muda terkaya di seluruh dunia pun tak mengadakan pesta yang mewah! Hanya seratus orang dia undang! Kenapa kau harus buang uangmu untuk memberi makan ribuan orang di pest perkawinan yang mahal? Tak malu kau? Hah? Hah? Tapi, kenapa kau harus malu? Itu toh pestamu. Uangmu sendiri yang kau hambur-hamburkan. Kau tak harus merasa malu dan bersalah karena pesta perkawinanmu kau rayakan besar-besaran dan mewah-mewahan. Sebab itu hakmu. Seperti si Zuckerberg yang juga punya hak untuk bikin pesta perkawinannya sederhana dan eksklusif.
Dunia maya adalah dunia yang aneh. Sekaligus menghibur untukku. Sebab di sanalah aku bisa mengenakan topeng dan tetap bisa bersenang-senang. Mentertawakan apa saja yang lucu menurutku, tanpa harus kuanggap serius. Tanpa harus kupercayai sepenuh hatiku.

Hei. Tak perlu serius mengenalku di dunia maya, sebab aku tak terlalu nyata disana. Kemarilah. Duduk disampingku dan berbicaralah denganku sambil menatap mataku.

Aku lebih nyata disitu.



Surabaya, 3 November 2015
1.15 am


PS : Gambar diambil dari sini