Dunia maya adalah dunia yang mengerikan. Di dunia ini, kau
belum tentu kau dan aku belum tentu aku. Aku yang kau kenal di dunia maya bisa
berbeda dengan yang kau kenal di dunia nyata. Dan kau yang kukenal di dunia
maya bisa berbeda dengan yang kukenal di dunia nyata. Tidakkah itu mengerikan?
Dunia maya adalah dunia penghakiman. Dimana aku menghakimi
kau sebagai manusia terkeren sejagat raya dan kau menghakimi aku sebagai
makhluk teraneh di seluruh muka bumi ini. Aku menghakimi tokoh-tokoh ternama
berdasarkan judul dan isi sebuah artikel yang ditulis oleh orang yang bahkan
tak kukenal. Tapi aku percaya. Atas nama ilmu jurnalisme. Kau? Kau menghakimi
teman-temanmu melalui tulisan-tulisan singkat yang kau bagikan. Seolah-olah
kalian saling mengenal satu dengan yang lain, padahal tidak sama sekali.
Dunia maya juga dunia perbandingan. Hei, kau tahu Steve Jobs
yang menciptakan produk-produk Apple yang kau pakai itu ternyata tidak
mengijinkan anak-anaknya menggunakan produk-produk yang ia ciptakan sendiri!
Gawai-gawai yang keren dan kekinian itu? Yang sudah banyak diberikan pada
anak-anakmu yang bahkan mengikat tali sepatu sendiri pun belum bisa. Lalu?
Anak-anak Steve Jobs main apa? Main pasir! Main di kebun, halaman belakang
rumah! Bersenang-senang di bawah sinar matahari! Dan tiba-tiba semua orang di
negeri ini setuju. Bagikan. Bagikan. Bagikan. Sembari bicara setengah
menasehati: tuh makanya anak-anak lu dikasi main pasir, main di kebun,
senang-senang di bawah sinar matahari. Seperti anak-anaknya Steve Jobs, orang
jenius itu. Aku sendiri bertanya-tanya. Dimana aku menemukan pasir terdekat
buat anak-anak untuk bermain? Aku harus menempuh perjalanan minimal satu jam
untuk mendapatkan pasir dengan pemandangan seadanya dan sampah-sampah yang
mengganggu pandangan mata. Jika aku ingin menemukan pasir yang bersih berikut
pemandangan indah, harus kulalui daratan dan lautan selama belasan jam.
Merasakan mabuk darat dan mabuk laut sekaligus. Berbahagialah mereka, anak-anak
pantai yang tiap hari punya hak istimewa untuk menikmati pasir dan tepi lautan
dengan lengkungan setengah lingkaran fajar merah dan senja oranye tiap harinya.
Kebun? Halaman belakang rumah? Mana ada kebun, atau halaman belakang rumah di
kota yang sesak ini? Kebun hanya milik orang-orang kaya di daerah tertentu
saja. Tentu bukan daerah tempat tinggal rakyat jelata sepertiku. Jadi mengapa kau
harus repot-repot meniru Steve Jobs, kalau kau punya cara sendiri bermain
dengan anak-anakmu – yang tidak mengandung produk-produk mahal yang ia ciptakan
itu. Siapa Steve Jobs, sampai harus pula kau dan aku tiru caranya berrelasi
dengan anak-anaknya? Tidak cukupkah kau dan aku gunakan saja produk ciptaannya?
Sebab untuk itulah aku merogoh kocekku dan membayar dengan cukup mahal barang
tersebut?
Hei, kau tahu tidak, Zuckerberg, pencipta Facebook yang
ternama dan dianggap anak muda terkaya di seluruh dunia pun tak mengadakan
pesta yang mewah! Hanya seratus orang dia undang! Kenapa kau harus buang uangmu
untuk memberi makan ribuan orang di pest perkawinan yang mahal? Tak malu kau? Hah?
Hah? Tapi, kenapa kau harus malu? Itu toh pestamu. Uangmu sendiri yang kau
hambur-hamburkan. Kau tak harus merasa malu dan bersalah karena pesta
perkawinanmu kau rayakan besar-besaran dan mewah-mewahan. Sebab itu hakmu.
Seperti si Zuckerberg yang juga punya hak untuk bikin pesta perkawinannya
sederhana dan eksklusif.
Dunia maya adalah dunia yang aneh. Sekaligus menghibur
untukku. Sebab di sanalah aku bisa mengenakan topeng dan tetap bisa
bersenang-senang. Mentertawakan apa saja yang lucu menurutku, tanpa harus
kuanggap serius. Tanpa harus kupercayai sepenuh hatiku.
Hei. Tak perlu serius mengenalku di dunia maya, sebab aku
tak terlalu nyata disana. Kemarilah. Duduk disampingku dan berbicaralah
denganku sambil menatap mataku.
Aku lebih nyata disitu.
0 komentar ajah:
Post a Comment