Aku menyeruput kopi
pahit itu perlahan, sambil menahan rasa tidak enak di ujung lidahku. Belum lagi
butiran-butiran kopi yang belum mengendap di dasar cangkir, ikut nangkring
disitu. Kalau tidak sedang bersama Ayah, aku takkan mau minum kopi pahit
kesukaannya. Buatku, cappuccino, latte atau
sekedar kopi susu masih jauh lebih nikmat ketimbang secangkir kopi hitam di
tanganku ini.
"Ndak suka
kok maksa," gerutu Ayah melihatku meringis-ringis. "Memangnya Ayah
suka memaksa keinginan Ayah ya?"
Aku menggeleng perlahan.
Ayah memang jarang memaksa. Ibu yang lebih sering memaksa, karena itu aku lebih
punya banyak rahasia dengan Ayah ketimbang dengan Ibu. Sama seperti ketika aku
menyatakan keinginan kuliah di kota yang ratusan kilometer jauhnya
dari kampung halamanku ini. Sepuluh jam perjalanan darat, enam jam perjalanan
di atas rel dan tak ada penerbangan udara yang langsung dari kota kelahiranku
ini ke kota yang ingin kutuju.
Ibu membujuk-bujukku
supaya memilih untuk kuliah di kota yang lebih dekat, tapi ia lupa
kalau kekeraskepalaanku ini aku warisi darinya. Maka, Ayah turun tangan.
Biarkan saja, kata Ayah waktu itu. Biarpun perempuan, kata Ayah, aku tidak
manja seperti anak-anak perempuan lainnya. Bahkan menurutnya juga, aku ini
setengah laki-laki. Barangkali karena itu Ibu suka sekali memaksaku mengenakan
baju-baju berenda, agar setengahku yang laki-laki ini tidak kelihatan dan
supaya laki-laki yang sebenarnya tidak terlalu takut mendekatiku. Aku
sendiri cuma mencibir malas kalau Ibu sudah mulai bersabda tentang apa yang
seharusnya ada pada anak laki-laki dan apa yang seharusnya ada pada anak
perempuan.
"Masih mendengarkan
Backstreet Boys?" tanya Ayah.
Aku tergelak, karena
Ayah masih mengingat betapa aku dulu sangat tergila-gila pada grup boyband itu
sampai-sampai harus berebut tivi dengan adikku yang ingin nonton Ksatria Baja
Hitam. "Tidak, Ayah," jawabku.
"Boyzone? Westlife?
911? Hanson?" desaknya lagi.
Aku kembali terkekeh.
Mengingat masa-masa aku merengek padanya untuk dibelikan kaset-kaset grup band tersebut
meskipun Ibu melarang atas nama pemborosan. "Ayah, aku berhenti menyukai
Boyzone sejak masuk kuliah. 911 sudah bubar, cowok-cowok Hanson sudah menikah
dan Westlife...." Aku mendesah. "Berapa kali aku harus bilang pada
Ayah kalau aku tak pernah suka Westlife?"
"Tapi, Ayah melihat
CD itu di rumah," kilah Ayah tak mau kalah. "Siapa lagi kalau bukan
punyamu?"
Sambil menyembunyikan
senyum geli, aku tolah-toleh, seperti kebiasaan kami kalau hendak berbagi
rahasia, Ayah memberikan telinganya mendekat. "Nenek yang beli, Yah! Kata
Nenek, Shane yang penyanyi utamanya Weslife itu selain suaranya bagus, wajahnya
juga ganteng!" Kami terbahak-bahak bersama.
Kuseruput lagi kopi
hitamku, dan kulihat Ayah meneguk ludahnya - tanda bahwa ia kepengen tapi
berusaha menahan diri.
"Ayah mau?"
Kusodorkan kopiku.
Ayah menggeleng, sambil
tersenyum sedih. "Nanti Ibumu mengomel."
Aku menundukkan kepala –
menekuri beberapa butiran kopi yang masih mengambang di permukaan. “Maaf ya,
Ayah.”
“Untuk?”
“Aku tidak ada saat Ayah
di rumah sakit.”
Ayah mendengus. “Kamu
baru masuk kerja. Ayah mengerti.”
Hening sejenak, aku
masih saja tertunduk.
“Ayah….” “Kamu….”
Kami berpandangan. Mata
Ayah berkilat-kilat jenaka. Aku juga mulai tertawa.
“Ayah dulu.” “Kamu
dulu.”
Kami terkekeh bersama.
“Aku punya kabar gembira
untuk Ayah,” kataku akhirnya setelah Ayah memaksa aku ngomong duluan.
“Oya? Apa itu?”
“Para pria sekarang
sudah bisa pakai celana ketat diatas tumit, Yah! Berwarna-warni pula!”
Ayah mendengus. “Mana
mungkin!”
Aku berkilah tak mau
kalah karena pada kenyataannya para lelaki muda gaul yang sering kulihat di
Mall akhir-akhir ini memang seperti itu. Sangat mengingatkanku pada Ayah yang
pernah membalas protesku tentang apa yang boleh bagi perempuan dan apa yang
boleh bagi laki-laki.
“Jadi perempuan itu enak
juga lho.” Begitu kata Ayah pada waktu itu. Pada waktu aku sedang protes kenapa
adik laki-lakiku diijinkan membawa sepeda motor saat kuliah di luar kota,
sementara aku tidak.
“Apa enaknya?” tanyaku
ketus pada waktu itu.
“Perempuan bisa pakai
celana diatas tumit, ketat dan berwarna-warni. Coba kamu bayangkan kalau kami
para laki-laki ini mengenakan yang serupa? Apa kata dunia?”
Aku protes lagi, tidak
terima dengan pernyataan Ayah tentang keuntungan perempuan hanya berkisar
tentang busana dan cara berpakaian.
“Jadi kata dunia
akhir-akhir ini tentang laki-laki bercelana ketat diatas tumit dan
berwarna-warni itu apa?” tanya Ayah ingin tahu.
Aku tertawa lagi. “Ya
dunia nggak ngomong apa-apa. Dunia menerima mereka apa adanya. Be
yourself, kata mereka.”
“Jangan ngomong pakai
bahasa linggis. Kamu tahu Ayah susah ngertinya,” gerutu Ayah, seperti biasa
kalau aku mulai menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris untuk menjelaskan
tugas-tugas kantorku pada beliau.
“Artinya: jadi dirimu
sendiri. Gitu, Yah. Lagipula sekarang kan katanya zamannya demokrasi, Yah.
Sudah nggak ada lagi itu pemerintah yang terlalu paranoid sama orang-orang
tertentu.”
“Masa? Apa buktinya?”
“Ya sekarang banyak
kritik bisa dilayangkan ke pemerintah tanpa perlu khawatir leher mereka digorok
dan hilang tiba-tiba. Padahal kadang-kadang kritiknya kayak ditulis tanpa mikir
dulu. Tanpa bukti-bukti yang akurat. Tanpa data-data pula. Parahnya dipercaya
lagi sama orang-orang.”
Ayah termenung-menung.
“Apakah itu jadi lebih baik?”
“Baiknya ya makin banyak
yang bisa mengekspresikan pendapat dan pemikiran mereka, Ayah.”
“Walaupun pendapat dan
pemikiran mereka sembrono dan terdengar bodoh?” tanya Ayah lagi.
Aku terdiam dan
mengingat-ingat kapan terakhir kali kami ngobrol tentang politik. Sepertinya
sudah lama sekali.
“Tapi sekarang aspirasi
perempuan juga mulai banyak ditampung, Ayah. Perempuan sekarang pekerjaannya
nggak melulu urusan dapur dan rumah tangga saja!” kilahku.
“Iya, seperti kamu kan? Ndak bisa
masak, ndak bisa menjahit, lebih sering pakai celana….”
“Memangnya salah ya
perempuan nggak bisa masak, nggak bisa menjahit dan lebih sering pakai celana?”
“Bagaimana dengan
Andi?” tanya Ayah akhirnya, mengalihkan pembicaraan mendengar aku terus
membantah. “Dia sering bikin kamu marah-marah tidak? Atau malah bikin kamu
nangis?” Pertanyaan terakhir diajukan dengan nada agak tajam.
Kali ini aku yang
mendengus. “Ayah sudah menanyakan ini – kira-kira err.. seratus kali?”
“Ck. Baru dua kali.”
“Seratus.”
“Dua kali!”
“Dua ratus!”
Ayah ingin menjawabku
kembali namun tidak jadi.
Aku meringis, lalu balik
bertanya: “Memangnya Ayah nggak pernah bikin Ibu menangis? Nggak pernah bikin
Ibu marah-marah?”
“Makin dewasa kok
mulutmu makin pinter membantah segala omongan Ayah,” gerutu Ayah lagi. “Makin
mirip Ibumu juga.”
“Ayah juga tanya yang
aneh-aneh. Dari dulu kalau soal Andi, kenapa sih Ayah selalu suka tanya yang
aneh-aneh? Ehm…, ralat, nggak cuma Andi sih, waktu aku masih sama Domi, Ayah
juga tingkahnya aneh-aneh. Terus….”
“Ah itu cuma perasaanmu
saja,” gerutu Ayah. “Ayah memang ndak ngerti, kenapa kamu mau
sama laki-laki yang ndak suka dengerin musik yang kamu
dengerin. Katamu, Andi bahkan ndak tahu Backstreet Boys itu
siapa. Itu kan keterlaluan! Lha seumur Ayah saja tahu kok kalau Nick
Carter yang paling banyak fans-nya diantara mereka berlima!”
“Ayah tahu itu juga dari
aku.” Aku terkekeh.
“Selamat sore, Non.”
Sapaan itu datangnya dari seorang bapak yang barangkali lebih tua sedikit dari
Ayah. Gigi depannya tanggal satu, sisanya kuning kehitaman, kulitnya legam.
“Tumben sendirian, Non. Pacarnya mana?”
“Iya,” sahut Ayah
seperti mengingat sesuatu. “Mana Andi?”
Aku nyengir lagi. “Pacar
saya lagi ada perlu, Pak Di. Nanti saya yang jemput sekalian jalan pulang.”
Yang dipanggil Pak Di
mengangguk-angguk. “Ini tiap minggu pasti saya bersihin lho, Non! Ora
tau absen! Ora
ngapusi!
“
“Iya, Pak Di. Matur
nuwun sanget.”
Tak lama bapak itu pergi
sambil tersenyum-senyum penuh arti.
“Dia bohong. Mana ada
tiap minggu dibersihin. Yang ada dia duduk-duduk aja kerjaannya sambil ngerokok,”
gerutu Ayah lagi. “Dan…Ayah baru tahu sekarang kamu bahkan nyetir mobil
sendiri. Iya? Dulu Ayah yang selalu jemput Ibumu, bukan sebaliknya! Laki-laki ndak boleh
manja…!”
“Perempuan juga nggak
boleh manja, Ayah,” potongku. “Perempuan juga harus mandiri. Dan aku senang
Andi tidak melarangku nyetir mobil sendiri. Naik sepeda motor sendiri….”
“Tidak bisa! Bahaya! Kamu
selalu sembrono kalau di jalan! Berapa kali kamu hampir nabrak tukang becak,
tukang parkir, sampai tukang bakso juga kamu tabrak…!”
“Ayah, itu kan waktu aku
masih SMP. Sekarang aku sudah dewasa. Lagipula kalau nantinya Andi sudah nggak
bisa… ehm, maksudku kalau Andi lagi sibuk kan aku nggak perlu nunggu Andi untuk
bisa pergi kemana-mana.”
Ayah terdiam. “Maksudmu
kalau nantinya Andi sudah ndak bisa anterin kamu kemana-mana
ya? Seperti Ayah sekarang ini? Ndak bisa antar Ibu. Ndak bisa
antar kamu. Ndak bisa melihatmu mengucapkan sumpah di depan
altar….”
Air mataku mulai menetes
sambil memain-mainkan pinggiran cangkir berisi kopi Toraja Mamali yang dari
tadi kuminum – kopi terakhir yang kubelikan sebagai oleh-oleh untuk Ayah. “Aku selalu rindu dikhawatirkan Ayah.”
Kali ini Ayah diam saja.
“Minggu depan, Ayah.
Akan kuucapkan sumpah itu minggu depan. Dan aku yakin Ayah bisa melihatku maju
ke depan altar dari tempat Ayah sekarang.”
Ayah masih diam.
Air mataku mulai
menetes. “Aku juga yakin, Andi kuat seperti Ayah. Sabar seperti Ayah. Melindungi
keluarganya seperti Ayah….”
“Say….”
Aku menoleh.
Andi, laki-laki yang kupilih untuk menjadi tua bersama mulai minggu depan, membuyarkan percakapanku dengan Ayah. Ia meletakkan tangannya di atas bahuku.
“Sudah selesai?”
tanyanya.
Aku melirik kopi hitam
itu yang cuma mampu kuhabiskan setengahnya. “Sudah. Kok kamu disini? Nggak tunggu aku
jemput?”
“Om Benny memaksa
mengantarku. Katanya sekalian keluar dan lewat.”
Aku mengangguk. Kuusap
tanah berumput yang pinggirannya sudah ditutup dengan bebatuan.
“Aku pulang dulu, Ayah.”
Ayah masih diam saja.
Aku meletakkan secangkir
kopi yang sedari tadi kuminum perlahan-lahan sambil ngobrol dengan Ayah di
depan batu bertuliskan namanya. Bersama dengan enam cangkir lainnya. Kubaca
sekali lagi tulisan disitu sebelum beranjak pergi.
R I P
INDRA SUSANTO
1958 – 2009
Rasanya baru kemarin ia
memelukku, mengkhawatirkanku, mengomeliku sambil minum kopi – dan bukannya tujuh tahun yang lalu.
Direvisi dan dimodifikasi pada 9 Agustus 2016
oleh: Jessie M.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.