Sunday, May 22, 2016

apa kabar?


"Halo." Kamu menyapaku di tengah keramaian.

"Halo juga." Dan kusebut namamu. Kita pernah satu kelas selama empat tahun. Karena itu aku masih ingat wajah dan namamu. Ini istimewa, karena sebenarnya aku kurang baik mengingat nama. Jadi, kalau aku masih mengingat namamu, maka itu pertanda baik. 

“Kamu apa kabar?” tanyaku.

Seketika itu wajahmu lesu. Dan aku jadi merasa bersalah karena bertanya. Lalu kamu mengajakku minum teh di sebuah kedai di mall tempat kita bertemu. Aku mengiyakan. Kapan lagi bisa mengobrol dengan kawan lama? Aku toh memang sungguh-sungguh ingin tahu kabarmu.

Lantas kamu bercerita. Cerita yang serupa dengan keluhan. Tentang anak pertamamu yang bikin susah. Bikin kamu sering dipanggil guru. Anak pertamamu yang malas. Yang sulit diatur. Yang tak pernah menurut. Tak punya ambisi. Padahal sebagai anak laki-laki harusnya ia lebih bisa diandalkan. Tapi apa daya, disuruh ini tak mau. Disuruh itu tak mau. Sampai kamu menyerah. Kamu biarkan anak sulungmu melakukan apa yang ia mau.

Kabar anak sulungmu: checked. Aku mengangguk-angguk. Sabar.

“Kalau anak keduaku beda,” lanjutmu lagi.

Oh, ceritamu belum selesai rupanya.

Menurutmu, anak keduamu yang perempuan itu pintar. Ia juara di kelasnya. Dan meskipun perempuan, ia selalu berambisi jadi yang terbaik. Membuatku mengerutkan kening, seolah-olah aneh adanya jika perempuan punya ambisi untuk jadi yang terbaik. Masih menurutmu, anak perempuanmu tak perlu kamu suruh akan belajar sampai ia bisa mendapatkan nilai yang terbaik.

“Mirip papanya,” katamu sambil terkekeh. Aku tak paham mengapa kamu terkekeh.

Kabar anak keduamu: checked.

Dan kamu masih menyerocos. Rupanya masih harus kupertahankan persediaan kesabaranku.

“Papanya anak-anak,” katamu, “suamiku itu, sering pergi.” Kali ini nadamu kembali seperti saat kamu bercerita tentang anak pertamamu. Kamu bilang suamimu sering harus ke luar kota. Menemui klien-kliennya yang kaya. Mungkin karena ia pintar dan punya ambisi, klien-klien jadi percaya padanya. Makanya perusahaannya bisa berkembang pesat.

Ah, ternyata kamu hanya ingin memamerkan suamimu dalam bentuk keluhan.

Kabar suamimu: checked.

Namun demikian, masih belum kudapatkan jawaban dari pertanyaanku padamu. Pertanyaanku yang hanya terdiri dari tiga kata tadi.

“Lalu, kamu apa kabar?” tanyaku sekali lagi. Kutambahkan satu kata di depannya. Biar terdengar lebih jelas di kupingmu.

Mendengar pertanyaanku lagi, entah bagaimana kamu lebih ceria. Kamu bilang kamu sedang mulai bisnis kecil-kecilan. Sebuah online shop yang menjual busana-busana kekinian untuk wanita modern. Selain itu, kamu juga berjualan produk kesehatan. Baru kamu mulai juga karena diajak teman. Bisnis ini menjanjikan, katamu dengan lebih semangat. Sebab gara-gara bisnis ini temanmu bisa sering berlibur ke luar negeri. Hitung-hitung membantu menambah penghasilan suami sambil jaga anak-anak di rumah.

Aku manggut-manggut, sementara persediaan kesabaranku mulai menipis. Dan kutanya padamu sekali lagi: “Kalau kamu sendiri, apa kabar?” Itu terjadi tepat sebelum anak-anakku datang memanggilku dari kejauhan. 

“Baik,” jawabmu akhirnya. Dan matamu melihat kedua anak perempuanku. 

“Ini anak-anakmu?” tanyamu. Akhirnya. Sebuah pertanyaan keluar dari mulutmu untukku.

Aku mengangguk dan kusuruh anak-anakku bersalaman denganmu.

“Anak-anakmu cewek semua ya?” Pertanyaan keduamu muncul. Retorik. “Kurang satu lagi.” Kamu menambahkan. Sebab menurutmu, kurang lengkap kebahagiaan kami tanpa kehadiran anak cowok. 

Kali ini aku yang mengeluh. Dalam hati. Persediaan kesabaran itu langsung habis. Butuh kopi bercangkir-cangkir, Haruki Murakami yang berduet dengan Banda Neira atau Payung Teduh dan gerimis semalaman untuk mengisinya kembali penuh dengan cepat. 

Aku berdiri dan tersenyum padamu. Senyum yang palsu, aku tahu. Berusaha pamit sesopan mungkin. Kamu terkejut karena aku tiba-tiba pamit. 

Aku pun tak tahan untuk tak bertanya padamu mengapa aku tak bisa tahu kabarmu. Kita sudah lama tak bertemu dan aku hanya ingin tahu kabarmu. Bukan kabar anak-anakmu, bisnismu, apalagi suamimu yang tak kukenal sama sekali. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Itu saja. Apakah itu sulit?

Kamu tergagap dan kemudian menjawab: “Baik. Kabarku baik.”

Kutunggu beberapa detik setelah jawabanmu itu. Berpikir bahwa ada kelanjutan setelah jawaban singkat itu. Nihil. 

Aku pun melangkah meninggalkanmu. Barangkali kabar hidupmu sebelum pertemuan tak sengaja kita ini memang sudah terangkum sempurna dalam kata ‘baik’. Atau mungkin buatmu sendiri, kabarmu tak penting, sehingga kamu tak perlu berpanjang-panjang mengisahkan kabarmu padaku. 

Tak lama kamu ikut menyusul langkahku dan menanyakan nomor teleponku. Kamu bilang kamu ingin menghubungiku lagi kapan-kapan. Siapa tahu aku bisa join bisnismu yang menjanjikan itu.

Aku hanya tersenyum. Yang lagi-lagi palsu. Sepalsu nomor telepon yang kusebut untukmu. 

Dan seandainya kamu menanyakan kabarku hari ini, aku akan menjawab kalau kabarku jadi jauh dari baik. Terima kasih untukmu. 

Tak pernah kukira, perkawanan tak lagi dapat sesederhana “apa kabar?”


Surabaya, 22 Mei 2016

Terinspirasi dari diskusi sore dengan seorang kawan di pinggiran lapangan hijau.

Gambar diambil dari sini.

2 komentar ajah:

filando said...

ini sebabnya saya selalu senang berkunjung. saya selalu suka dengan post yang terinspirasi dari "kecelakaan lidah" seseorang ketika berbincang dengan Anda. rasanya seperti "siapa lagi nih, yang lidahnya (atau otaknya) kepleset sampai jadi bahan tulisan?"

ini yang selalu membuat saya penasaran dan kadang ingin "mencelakakan lidah" saya ketika berbincang dengan Anda. hanya ingin membaca sebuah cerita tentang karakter sialan yang sebetulnya adalah saya sendiri. pasti keren.

~ jessie ~ said...

Try me. :)