Monday, November 28, 2005

upacara kematian

Ambulans. Bendera putih dengan tanda palang merah. Mayat terbujur. Kerumunan orang. Peti mati.

Semua itu yang aku lihat setelah aku bersenang-senang dengan teman-teman gerejaku pada suatu sarasehan pemuda. Tentu saja aku shock. Meskipun mayat itu, ketika ia masih hidup pernah jadi orang yang tak kusukai.

Aku berbicara tentang tante kostku. Ia akhirnya pergi. Meninggalkan keluarganya. Dan mengapa aku musti menulis tentang orang yang tidak terlalu meninggalkan jejak yang cukup jelas dalam jalan hidup seorang jessie?

Kuikuti tadi upacara tutup peti-nya. Harus segera ditutup, atau rumah akan semakin banjir air mata. Ditambah lagi, ia memang harus segera dikubur atau dikremasi. Penyakitnya bisa bikin tubuhnya cepat bau. Dan bau orang mati, meskipun ia adalah orang yang kau sayangi, kau tentu tak berharap hidungmu terus mengendusnya kan?

Upacara yang panjang dan melelahkan. Lebih dari sekedar mengikuti upacara bendera. Belum lagi kerumunan orang-orang yang entahlah, aku tak tahu apa tujuan mereka ikut dalam upacara yang panjang dan membosankan ini. Betul-betul ikut berdukacita? Menemani keluarga yang berduka? Atau hanya menontoni mereka menangis? Daripada menangis karena lihat sinetron di rumah, yang pemain-pemainnya tidak mereka kenal sama sekali? Hanya ketika barang-barang tante kostku yang sudah terbujur kaku di dalam peti itu dimasukkan, dan seseorang membenahi tubuhnya sementara keluarganya menangisi kepergiannya, aku malah berpikir. Aku tertarik mengamati ekspresi sebagian ibu-ibu yang hadir. Dengungan doa terdengar dari mulut mereka. Juga banjir lagu simpati. Tapi hanya mulut mereka yang bernyanyi. Mata mereka merajalela kemana-mana. Rasa ingin tahu yang tinggi mendorong mereka memanjang-manjangkan leher demi melihat apa yang dilakukan petugas dan keluarganya itu dengan sang mayat. Supaya mereka punya sesuatu untuk diceritakan kepada orang-orang yang akan mereka temui sekembalinya mereka dari upacara tersebut.

Aku sendiri hanya tersenyum maklum. Mau bagaimana lagi? Mungkin itu yang dibilang tuntutan sosial. Galilah cerita dan berita sebanyak-banyaknya. Semakin menarik, semakin aneh, semakin didengar pula berita itu. Tidak peduli lagi dengan kebenarannya. Dan gusarlah aku. Yang kemudian memilih untuk menyingkir daripada bikin dosa lagi karena sudah berpikir yang bukan-bukan.

Atau mungkin juga mereka ingin tahu seperti apa warna kulit orang yang sudah mati dan pendapat mereka bisa jadi sama denganku. Tak pernah aku melihat kulit sepucat itu. Dan tahulah aku, bahwa secantik apapun dirimu, selangsat apapun kulitmu, ketika kau mati dan terbujur kaku di dalam peti, kulitmu sama sekali takkan bercahaya dan dirimu jadi tak menarik lagi.

Gonggongan anjing tante kost di dalam malahan lebih mengusikku ketimbang kerumunan orang-orang yang tidak jelas tujuan kedatangannya itu. Anjing itu terus mengonggong sebelum peti ditutup. Seperti menangis. Seolah menuntut penjelasan mengapa orang yang biasa memberi mereka makan, berbicara pada mereka, memelihara mereka, harus terkurung dalam sebuah kotak kayu yang terkunci. Kupikir, anjing itu lebih tulus menyatakan kepedihan hatinya ketimbang ibu-ibu yang sibuk bernyanyi dan berdoa sambil memanjangkan leher mereka ingin tahu seperti apa mayat tante kost-ku itu. Ah, well….

Tapi, tak adil rasanya kalau aku berpikiran negatif tentang mereka. Aku sadar itu. Karena aku toh tidak betul-betul kenal mereka dan mungkin mereka juga tak sadar melakukannya.

Tante, jangan pedulikan kerumunan orang-orang itu. Anggaplah itu sekelumit kepedulian yang memang patut kau terima atas hubungan sosialmu dengan mereka. Jangan juga pedulikan kami, anak-anak kost yang hanya bisa mengikuti upacara saat kau mati, tapi ketika kau hidup, tidak banyak yang kami lakukan untukmu. Hanya suka marah-marah saja. Maafkan kami. Seringkali sulit sekali bagi kami untuk memahami jalan pikiran orang setua tante. Jangan juga terlalu pedulikan anak-anak tante, karena mereka akan terus menjalani hidup, dengan atau tanpa tante. Dan tante sudah menjalankan tugas tante sebagai ibu. Karena mereka punya kehidupan sendiri yang tak mungkin bisa tante ikuti sepanjang usia.

Selamat jalan, tante.


Sunday, 27 November 2005
09.48 pm

ps: Seharusnya malam ini aku mandi. Bau ukup itu menusuk sekali. Terus mampir ke hidung meskipun aku sudah menukar pakaianku. Hanya saja, tubuhku terlalu lelah untuk itu.



Sunday, November 13, 2005

kemenangan

Wahai orang-orang Indonesia, mungkin bisa kutebak sedikit reaksi kalian bila membaca judul tulisanku kali ini. Hm. Mungkin kau sedang berpikir bahwa aku ini… yah katakanlah, sedikit congkak? Haha. Mungkin. Itu mungkin saja. Lalu? Memangnya kenapa? Kalau aku punya sesuatu, memangnya aku tak boleh merasa sedikit berbangga? Dan kalian semua tahu, bahwa di kalangan masyarakat Indonesia, kata ‘bangga’ itu bersanding tipis dengan kata ‘congkak’ atau ‘sombong’. Tapi tenanglah, aku tidak akan buang-buang tenaga dan pikiranku hanya untuk membahas perbedaan dari dua kata itu.

Nah, pertanyaannya sekarang: mengapa tulisanku ini kuberi judul ‘kemenangan’? Kali ini, biarkanlah aku bercerita sedikit. Kau tentu masih ingat aku pernah menulis tentang tante kost-ku dan pembantunya. Kalau kau baca sekilas, maka kau akan mendapatkan kesan bahwa aku tidak menyukai baik tante kost-ku maupun pembantunya yang itu. Yah, well, aku tidak menyalahkanmu. Pernah dalam beberapa waktu aku tidak menyukai keduanya. Tapi entah kenapa, Yang Di Atas beranggapan aku tak perlu punya perasaan seperti itu. Setelah beberapa waktu berlalu, lambat laun, aku lebih tepat dibilang bersikap apatis terhadap mereka berdua. Tidak peduli. Sampai kira-kira bulan lalu, tante kost-ku itu sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula aku masih beranggapan bahwa penyakit yang menyerang tante kost-ku itu bukan termasuk golongan penyakit berat karena kulihat selama ini tante kost-ku itu sehat-sehat saja, masih bisa menagihku untuk membayar uang kost. Tapi setelah beberapa hari dan sayap rumahnya tampak sepi karena tidak terlihat ia berjalan mondar-mandir dan anak-anaknya bersuara, ternyata ia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi. Penyakit berat rupanya, pikirku. Entah bagaimana, ada dorongan dalam diriku untuk menengoknya di rumah sakit. Setengah hidup aku berusaha berpikir mengapa aku bisa dengan tiba-tiba mempunyai inisiatif untuk menunjukkan pada tante kostku itu bahwa aku peduli. Dan jadilah aku kesana bersama salah satu temanku menengok tante kost yang tergeletak tak berdaya namun masih bisa mengoceh sana-sini meski habis dioperasi. Setelah itu aku berpikir bahwa ia hanya butuh istirahat cukup. Biasanya orang yang tak pernah sakit berat dan masuk rumah sakit, sekalinya harus sakit memang harus minggat ke dokter dan divonis rawat inap di rumah sakit. Jadi yah, bisa kautebak, setelah ia akhirnya bisa pulang alias rawat jalan, aku hanya berpikir bahwa ia sudah sembuh. Beberapa hari kemudian, tepatnya minggu lalu, tak dinyana di suatu hari minggu kesunyian di sayap rumahnya itu menyergapku. Muncul perasaan tak enak dalam hati dan entahlah, aku tiba-tiba saja menanyakan kabarnya pada pembantu kost-ku yang tak kusukai itu. Ia bercerita panjang lebar tentang tante kost yang ternyata harus masuk rumah sakit lagi karena pendarahan yang dideritanya tatkala dirawat di rumah. Dan untuk diketahui, baru sekali itulah aku mendengarkannya panjang lebar bercerita. Tak sebersitpun rasa tidak suka dan benci membungkus diri. Sejak hari itu, tiap kali aku bertemu dengannya, aku selalu menanyakan kabar yang sama. Tante kost yang di rumah sakit. Dan tiap kali aku bertanya, aku harus mengakui, bahwa ternyata ia, pembantu kost-ku itu masih punya hati sebagai manusia. Paling tidak, ia ikut peduli dengan keadaan tante kost. Ia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari cuci baju anak-anak kost dan keluarga tante kost sampai menguras semua bak mandi yang ada. Kupikir, tak adil baginya kalau aku masih tetap berpikir bahwa ia itu salah satu manusia yang tak punya hati.

Dua hari yang lalu, ketika sekali lagi kutanyakan kabar tante kost, aku memutuskan untuk menengok ke rumah sakit. Kutanya padanya, pembantu kostku itu, kalau-kalau hari sabtu ia juga mau ke rumah sakit. Ia bilang ia memang mau ke rumah sakit jam sembilan pagi. Kutanya lagi, dia kesana naik apa. Dia jawab naik bis. Dan entah bagaimana, mulutku ini rupanya diperintah oleh hatiku dan bukan otakku untuk mengajaknya pergi ke rumah sakit bersama denganku naik motor. Bayangkan!! Perjalanan setengah jam bermotor harus bersama-sama dengan dia, orang yang pernah kubenci karena sudah ngomong yang tidak-tidak di belakangku, yang sering mengganggu tidur nyenyakku di pagi hari karena ia sudah mengoceh dengan volume maximal, yang sering bersikap kasar pada anak-anak kost. Aku pasti sudah gila kan? Ketika kuceritakan pada teman-teman gerejaku, mereka menepuk punggungku, tersenyum senang dan berkata bahwa aku sudah menang. Tak sadar dengan apa yang mereka katakan, aku berpikir. Menang? Aku? Kenapa? Semalaman aku berpikir dan akhirnya kudapatkan bahwa seperti inilah rasanya kalau kau berhasil menghapus rasa bencimu, rasa tidak sukamu pada seseorang. Ada rasa lega, bercampur senang dan mendapatkan sesuatu yang asyik yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yah. Aku sudah menang melawan rasa benciku padanya. Pun dengan tante kost. Aku sudah melupakan pertengkaran-pertengkaranku dengannya, mengenyahkan kenangan-kenangan buruk dengannya selama enam tahun hidup seatap dan mengusir banyak hal yang membuatku tidak menyukainya. Yang tertinggal hanyalah rasa kasihan dan rasa sayang. Sungguh! Aku tidak bohong. Apalagi setelah permintaan maafnya padaku tadi pagi ketika aku menjenguknya di rumah sakit. Ia mungkin mengira sudah tak punya banyak waktu lagi. Saat ini aku hanya bisa berdoa, memohon pada Dad in Heaven sesuatu yang baik untuknya dan keluarganya. Apapun itu.

Hei, percayalah padaku. Mengasyikkan sekali perasaan yang kau miliki setelah kau memaafkan orang-orang yang tak kau sukai atau kau benci dan kemudian bersahabat dengan mereka. Well, tak mudah, kau tahu itu. Tapi begitu kau berhasil menaklukkan nafsu membencimu itu, tak ada yang bisa menggantikannya. Rasanya… hmmm… so yummy!!!

Saturday, 12 November 2005
10:31 pm

Wednesday, November 09, 2005

tuhan menjitakku

Bulan November sudah hampir menyentuh tengahnya. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Masa lajangku tinggal beberapa minggu. Tapi entah mengapa aku justru menikmatinya. Maksudku, setelah liburan yang agak membosankan lebaran kemarin. Enam hari musti di kost-kostan, sendirian karena teman-teman lain pada minggat ke kampung halaman masing-masing, menikmati liburan bersama keluarga. Sesuatu yang juga kurindukan tapi tak bisa kulakukan karena harus duduk manis bersama calon-calon pasangan suami istri lainnya dalam suatu acara bertitel bina pra nikah dalam satu hari di tengah-tengah liburan itu.

Meskipun terlihat membosankan, setelah kupikir-pikir, liburanku tidak semembosankan itu. Maksudku, kalau waktu itu aku tidak merasa sendiri di kost, aku tidak akan cabut dari situ dan menginap di rumah tanteku. Yang berarti tidak pernah mengenal lebih dekat kedua keponakan dari sepupuku yang di Surabaya. Mengenal keduanya sama seperti mengamati sesuatu yang menarik. Dua gadis kecil kakak beradik. Sama-sama manis. Yang satu begitu lincah, banyak bicara, dan rame. Satu lagi begitu pendiam, misterius, dan hanya mengamati orang ketika sedang berbicara. Hanya saja, yang lincah malam itu sedang rewel. Merindukan mamanya yang tak kunjung datang. Cara apapun ternyata tidak dapat membuatnya berhenti menangis dan berteriak-teriak. Padahal jarum jam pendek hampir menunjuk angka sembilan, yang berarti sudah waktunya gadis kecil seperti mereka untuk tidur. Adiknya, hanya diam saja melihat kakaknya menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai. Seolah-olah sudah terbiasa dan menikmatinya selagi bisa. Malam itu juga aku belajar bahwa menjadi seorang ibu tidak semudah yang kubayangkan. Ketika kau hamil dan punya anak, kau mungkin hampir-hampir tak punya waktu untuk dirimu sendiri. Atau kalau kau mau tetap memiliki waktu untuk dirimu sendiri, kau harus merelakan anak-anakmu kehilangan dirimu sepanjang hari dan mungkin ketika mereka dewasa dan kau sudah tua, mereka akan memperlakukanmu persis seperti apa yang sudah kau lakukan semasa mereka kecil.

Haha. Tapi jangan pikir aku stres karena keponakan-keponakanku itu. Aku bahkan menikmati waktu-waktuku bersama dengan mereka. Membacakan cerita yang kukarang sendiri untuk salah satu keponakanku sebelum tidur dan yang lain ditangani oleh neneknya. Tak kuduga, si bungsu mendengarkan ceritaku sampai akhir dengan mata terbelalak. Senang sekali melihat ekspresi wajahnya ketika mendengarkan ceritaku. Aku berharap, ketika aku menjadi seorang mama nanti, aku tetap punya waktu setiap malam menemani anakku sebelum tidur dan menceritakan banyak cerita buatnya. Tapi, hei, aku tak menyangka aku bisa punya perasaan ingin memiliki anak waktu membacakan cerita karanganku sendiri pada keponakanku itu. Sudahlah. Aku sendiri tak pernah membayangkan diriku dengan perut membuncit dan akhirnya menggendong bayi mungil yang akan diamat-amati oleh keluarga dan teman-teman sambil menebak-nebak mirip siapa bayi itu. Ah, well….

Hari berikutnya kubiarkan diriku berkelana bersama kawanku. Bahkan sampai menginap di rumahnya. Ohya! Semasa liburan ini, aku juga ternyata harus menengok bekas pengasuh San yang tergeletak sakit di rumah sakit. Tapi yah… karena aku sendiri tidak terlalu punya ikatan emosional yang dekat dengannya, maka kedatanganku tak lebih tak kurang adalah sebagai pengganti San. Jadi biarkanlah aku melanjutkan cerita petualanganku bersama kawanku. Namanya Nita. Dan ketika aku menginap di rumahnya, kami sama-sama belajar tentang pria, wanita dan keluarga dalam film A Story of Us. Two thumbs up for that movie. Begitu real, begitu nyata. Tidak dibuat-buat dan aku menganjurkan film ini untuk ditonton para pasangan (calon) suami istri, baik yang akan menikah, baru saja menikah ataupun sudah menikah bertahun-tahun. Sungguh. Ada satu kalimat yang menggelitik hatiku. Michelle Pfeiffer bilang, perkawinan itu layak untuk diperjuangkan, karena ketika kita menikah dan membangun keluarga, kita sedang menulis sejarah dan sejarah tidak dibangun dalam waktu sehari. Kalimat itu sedikit menghapus ketakutanku soal perkawinan dan keluarga. Banyak hal yang harus dikorbankan untuk membangun perkawinan dan keluarga, tapi akan banyak pula yang akan didapat. Harus memaksa San untuk menonton film ini, haha. Sekarang ia sedang berkutat dengan test akhirnya. Semoga ia bisa mengerjakan test-testnya dengan baik.

Baiklah. Aku harus mengakui satu hal disini. Selama liburan, dan bahkan berhari-hari sebelum itu, aku agak meninggalkan saat teduh. Entahlah. Mungkin merasa tugasku sebagai ketua komisi pemuda hampir selesai dan kerajinanku itu menjadi kendor. Jangan meniruku. Sungguh. Aku tahu merupakan kesalahan besar aku tidak membangun persekutuan yang intim dengan Dad in Heaven ketika aku merasa tidak memiliki tanggungan apa-apa. Akibatnya, karena rasa sayang-Nya yang terlalu besar padaku, maka dengan keras Dad memukulku untuk segera kembali padanya. Entah bagaimana datangnya, tiba-tiba timbul masalah yang harus segera diselesaikan. Dan masalah ini betul-betul memaksaku untuk kembali ke pelukan Dad setelah lama bermain-main tanpa ingat Dia. Aku tahu mungkin Ia sakit hati, tapi yah. Aku mengaku salah. Banyak cara yang Ia lakukan untuk menyeretku kembali padaNya. Dan sampailah aku pada hari ini. Sudah kukatakan, jika Tuhan mau mengatakan sesuatu padamu, Ia bisa mengatakannya dengan cara apapun. Dan kali ini, Ia justru bekerja lewat mulutku sendiri. Sungguh malu aku. Betapa nakalnya aku, tapi betapa sayangnya Ia padaku. Betul-betul aku bersyukur masalah ini ada untukku. Seolah-olah kepala ini dijitak oleh tangan Dad dengan sayang. Karena rupanya hanya dengan masalah-lah, aku menjaga persekutuan intimku dengan Dad. Tapi kupikir, akan tiba waktunya, Ia tak perlu menjejaliku dengan masalah bertumpuk-tumpuk gara-gara aku menjauh karena aku sendiri yang akan terus membangun persahabatan dan cinta itu pada-Nya. Sulit memang. Karena aku masih hidup dalam daging.

Saat ini aku hanya berharap tidak akan menyia-nyiakan masa lajangku yang tinggal beberapa minggu ini. Sungguh-sungguh berharap demikian.

Wednesday, 9 November 2005
10:22 pm

“Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.”
- Ibrani 10:39 -