Tuesday, April 12, 2022

bahagia itu (tidak) sederhana

Kata orang bahagia itu sederhana. Tapi yang luput dikatakan oleh mereka adalah standard kesederhanaan itu berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut yang satu, bisa chilled sambil Netflix-an saat hujan dibilang bahagia yang sederhana. Tapi berapa banyak yang menganggap itu bukan sesuatu yang sederhana? Orang-orang yang belum bisa memperbaiki atap rumahnya atau orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir padahal hujannya baru sebentar nggak akan bisa bilang versi yang itu adalah bahagia yang sederhana. Ada juga tukang gambar yang dibelikan pen oleh pasangannya untuk menggambar bilang: “Bahagia tuh sesederhana ini.” Bagaimana dengan pasangan yang suka memberi bunga setelah dia melakukan kekerasan? Bagaimana dengan pasangan yang cari uang untuk sehari-harinya saja sulit karenanya sulit juga memberikan barang-barang tertier untuk pasangannya? Bagaimana dengan… ah saya bisa panjang kali lebar menyebutkan ini. Ada juga yang suka naik gunung, kemudian ketika sampai di puncak, saat ia melihat matahari terbit dari timur dan udara dingin menerpa wajahnya, ia unggah foto cantik matahari terbit itu sembari menulis “Ah, bahagia itu sesederhana melihat matahari terbit dari timur” di takarir media sosialnya. Padahal tidak ada yang sederhana dari mendaki gunung. Tas punggung yang berat, kaki yang lelah , udara yang dingin, makanan yang harus dihemat. Sama sekali tidak ada sederhananya. Diakui saja.

Menurut saya, nggak ada yang sederhana dengan kebahagiaan. Karena kalau bahagia sesederhana itu, manusia nggak akan pernah terus menerus mencari kebahagiaan. Kalau bahagia sesederhana itu, ketika musibah menyerang, mereka nggak akan sibuk mencari alasan di balik musibah itu terjadi. Mereka nggak akan sibuk untuk mengenyahkan kesedihan dan kemarahan mereka yang sebenarnya ada dalam diri mereka. Mereka akan lebih sibuk bagaimana menjadi bahagia kembali bahkan saat mereka sebenernya sedang bersedih. 

Bahagia nggak pernah sederhana. Ada usaha yang nggak selalu nampak di garis waktu media sosial. Ada pengorbanan yang nggak serta merta dipamerkan. Ada hal-hal yang dilakukan barangkali dengan susah payah demi kebahagiaan yang katanya sederhana itu.

Tapi tak mengapa. Kita semua memang butuh kebahagiaan karena itu berarti kita belum berhenti berusaha dan berjuang. Dan saya percaya, usaha dan perjuangan tidak pernah sederhana.


Surabaya, 7 Agustus 2021

Gambar diambil dari sini.

Sunday, February 06, 2022

ketika yesus ngopi di rumah saya


Pernah suatu hari Yesus berkunjung ke rumah. Berkunjung saja. Saya kira Dia berkunjung karena mau menasehati saya yang sudah tidak pernah datang ke gereja. Tidak pernah pula ibadah online lewat Youtube atau Zoom seperti teman-teman saya lain. Saya kira Dia bakal mengacungkan telunjuknya ke saya sambIl bilang: “Hai, kamu, domba yang hilang, pulanglah dan kembalilah ke gereja!” Saya kira begitu. Tapi ternyata tidak.

Mas gondrong ini malah keliling-keliling rumah saya sambil melihat koleksi buku-buku saya di rak. Dia tanya-tanya kenapa saya bisa membaca buku Harry Potter berkali-kali sementara menyelesaikan buku The Casual Vacancy tidak berhasil padahal penulisnya sama. Kemudian Dia melihat bungkusan-bungkusan kopi saya hasil membeli dan diberi dan bertanya ini itu tentang kopi itu sama antusiasnya dengan ketika Dia menanyakan soal buku-buku saya.

Kemudian gerimis mulai datang dan saya mulai panik. Saya khawatir gerimisnya akan segera menjadi hujan deras sementara saya ingat saya belum sempat membetulkan atap rumah. Saya sibuk. Selama pandemi ini saya sibuk merawat mereka yang dinyatakan positif bervirus dan harus tinggal di rumah sakit. Saya mengutuk virus ini tapi saya juga mengutuk orang-orang yang abai dengan kesehatan mereka sendiri seperti tidak mengenakan masker, kumpul-kumpul nggak penting sambal cupika cupiki, ketawa-ketawa, tapi ketika mereka kena dan harus dirawat di RS, saya dan teman-teman saya di RS juga yang repot. Iya saya sesibuk itu sehingga saya lupa merawat rumah saya sendiri. Barangkali lupa juga bagaimana merawat diri sendiri.

Dan benarlah, tak lama hujan deras dan saya mulai mengomel dalam hati. Saya meninggalkan Yesus yang memutuskan membaca 1984-nya George Orwell sambil minum kopi yang saya bikin sebelumnya. Di beberapa tempat di rumah mulai terdengar tetesan air hujan masuk. Saya sibuk mondar-mandir mengambil ember atau apa pun yang bisa menampung tetesan-tetesan air itu sambil berharap-harap cemas supaya hujan tidak akan bertambah deras lagi. Apa daya, harapan tinggallah harapan. Hujan makin deras. Di ruang depan, air hujan merembes lewat dinding. Saya mulai mengeluarkan handuk-handuk untuk saya taruh di lantai agar air tidak banyak menggenang di lantai. Saya intip di ruang baca saya, Yesus masih santai membaca sambil menyeruput kopinya. Ada ketenangan di wajahnya yang tidak saya pahami dan bikin saya terganggu. Apa Dia tidak tahu kalau saya butuh bantuan? Kok Dia enak-enak baca sambil ngopi sementara saya kerepotan begini? Tapi saya cuma mengomel dalam hati saja karena saya enggan meminta tolong dan Dia adalah tamu kehormatan buat saya.

Hujan yang makin deras makin merepotkan saya, sementara genangan air mulai terlihat di sana sini. Barangkali karena kesal dan capek, saya masuk ke ruang baca dengan keadaan berantakan sambil setengah berteriak pada Yesus yang sedang duduk santai sambil membaca dan ngopi itu: “Mas Yesus, apa nggak lihat saya repot biar rumah nggak banjir? Bantu saya dong! Kalau rumah ini kebanjiran, Mas juga yang kena!”

Setelah semburan tidak sopan saya itu, saya menutup mulut saya sendiri dan menyesalinya. Kurang ajar sekali saya sama Tamu Kehormatan saya itu. Udah nggak pernah ke gereja, nyemprot Yang Empunya gereja lagi! Eh tapi ternyata Yesus langsung meletakkan bukunya dan menggulung lengan bajunya sambil berkata: “Lha kamu nggak bilang kalau butuh bantuan. Nggak percaya sama Saya atau nggak yakin Saya bersedia bantu kamu?”

Kemudian setelah menegak habis kopi bikinan saya, sambil bersiul-siul Dia mulai membersihkan genangan-genangan air yang sudah mulai muncul di ruang tengah. Di luar sana, hujan masih mengucur dengan deras, tapi melihatNya ikut membersihkan rumah saya yang tidak saya rawat dengan baik ini sambil bersiul-siul seperti itu, saya tidak sepanik dan sekhawatir tadi.

“Kopi kamu enak,” kataNya sambil memeras handuk yang Ia pakai di atas ember untuk membersihkan genangan tadi. “Gayo ya?”

 

Ditulis tahun 2021 menjelang serangan Delta
Diunggah tahun 2022 saat serangan Omicron dimulai

Sunday, April 05, 2020

apa kabarmu hari ini?


Male Hand Reaching Out photos, royalty-free images, graphics ... 
Beberapa minggu yang lalu saya mungkin siap dengan segala kemungkinan. Kemungkinan kerja di rumah. Kemungkinan karantina wilayah maupun pusat. Kemungkinan tidak bisa keluar rumah untuk sementara waktu, entah sampai kapan. Tapi ternyata tidak juga. Ada banyak rasa yang muncul setelah beberapa minggu di rumah saja.

Rasa tidak berguna karena merasa tidak banyak melakukan apa-apa. Dan tiba-tiba seperti terdaftar menjadi anggota kaum rebahan.

Rasa sedih karena hampir setiap hari mendengar berita duka dan orang sakit. Lingkarannya pun makin sempit. Kalau dulu seperti jauh di negeri China sana, sekarang saya tahu siapa yang meninggal karena terpapar virus tersebut. Saya kenal dengan orang yang sedang menderita karenanya. Dan istrinya terus menerus meminta pada kami, teman-temannya untuk mendoakan suaminya.

Rasa kecewa dan frustasi karena hampir setiap hari pula saya membaca segala aksi yang harusnya segera dilakukan oleh sistem dan pemerintahan tidak dilakukan. Di mana nyambungnya membebaskan napi yang terlibat korupsi dengan menyelesaikan wabah di negeri yang mereka pimpin?

Rasa marah dan gemas karena juga hampir setiap hari masih saja ada orang-orang yang menyebarkan berita-berita hoaks yang tidak penting dan bikin panik. Punya kuota untuk menyebarkan berita yang belum tentu benar ke mana-mana tapi tidak punya waktu untuk mencari tahu dulu kebenarannya? Tolong otaknya dipakai. Jangan semuanya diserahin ke Tuhan.

Rasa bersalah karena banyak orang yang terus menerus mengatakan bahwa kita harus terus bersyukur dan selalu berpikir positif sementara saya sulit melakukannya. Kalau saya masih bisa makan, pikirkan orang di luar sana yang tidak bisa makan gara-gara ini. Harus bersyukur. Kalau saya masih punya atap dan dinding di mana saya bisa berlindung di dalamnya dari panas, hujan dan orang-orang pembawa virus, bersyukurlah. Banyak orang di luar sana tidak punya rumah, atau bahkan punya rumah tapi harus tinggal dengan orang-orang beracun alias toxic (ya, saya bicara tentang kamu wahai para pelaku KDRT baik fisik maupun verbal!), bersyukurlah. Bersyukur, bersyukur, bersyukur. Dan ketika saya memaksa untuk bersyukur dan mencoba berpikir positif, mencari-cari sedikit hal-hal baik di antara banyak hal-hal buruk ternyata melelahkan. Ini belum ditambah dengan tudingan-tudingan saya sebagai salah satu bagian dari privileged people community atau komunitas orang-orang yang memiliki hak istimewa, yang bahkan mengunggah atau memamerkan hasil masakan sendiri saja bisa merasa berdosa dan tidak sensitif. Dan merasakan lelah pun menghasilkan rasa bersalah.

Lalu saya mencoba berhenti. Berhenti dari hiruk pikuk rasa yang dalam beberapa minggu terakhir ini memenuhi isi kepala saya. Berhenti sedih, berhenti kecewa dan frustasi, berhenti marah dan gemas, berhenti merasa bersalah dan berhenti lelah. Tapi kemudian saya ingat, manusia tidak didisain untuk untuk tidak bisa merasa. Dan merasa sama pentingnya dengan berpikir (yes, Descartes, I’m talking to you) agar saya, kamu, kita tetap ada.

Saya tidak pandai berbicara di depan orang banyak. Saya tahu talenta saya tidak di situ jadi jangan paksa-paksa saya untuk percaya bahwa saya bisa kalau saya mau belajar karena saya tahu saya jauh lebih baik jika menulis. Barangkali karena itulah tulisan ini ada: senukil campuran rasa yang mencoba saya tutupi dan saya hindari beberapa waktu terakhir ini. Pada akhirnya saya pelan-pelan menyadari, saya tidak sendirian, dan semua sedang berusaha untuk tidak gila dengan caranya masing-masing. Semua sedang berusaha berjuang dengan caranya masing-masing. And it’s okay. Membicarakannya, menuliskannya, menceritakannya, berbagi rasa. Dan kita akan saling menemukan, karena kita tidak sendirian menanggung ini semua.

Apa kabarmu hari ini? Rasakan saja. Saya, kamu, kita tidak perlu merasa bersalah karena itu. Sebab bersyukur bukan sebuah keharusan, tapi sebuah rasa tanpa paksaan.

Aku, kamu, kita tidak sendirian.


Surabaya, 5 April 2020
di tengah gempuran virus COVID-19

Gambar diambil dari sini.