Monday, March 05, 2007

rokok, keringat dan dasi

Warung ramai pengunjung itulah kemana kakiku melangkah. Warung ini salah satu tempat favoritku di Surabaya. Terpampang besar-besar pada kain yang merupakan bagian dari warung tersebut: MIE MAKASAR. Mie-nya kenyal, dagingnya enak, kuahnya gurih dan yang lebih penting: tidak memakai vetsin. Tapi tiap kali aku kesitu, aku selalu mengomel tentang hal yang sama. Bukan. Bukan tentang makanannya, tapi pengunjungnya yang kadang-kadang seenaknya mengeluarkan sebatang dua batang rokok sebelum dan sesudah makan, kemudian menikmati tiap hisapannya tanpa memikirkan orang lain yang mungkin terganggu dengan asap yang berkepul-kepul dari mulut dan hidung mereka.

Malam itu, aku duduk menanti pesananku. Asap rokok menghampiri cuping hidungku. Membuat keningku berkerut, mulutku mencerucut dan siap mengomel. Di samping meja tempatku duduk, ada tiga orang lelaki yang baru saja selesai makan. Salah satu dari mereka itulah yang menghasilkan asap rokok yang mengganggu. Entah mengapa tatkala aku mengamati mereka bertiga, aku menyadari sesuatu. Lelaki perokok. Lelaki berkeringat. Dan lelaki berdasi. Tiga elemen yang tidak lepas dari salah satu jenis makhluk yang hidup di bumi ini bernama pria.

Beberapa minggu kemudian....

ROKOK
Rokok adalah masa lalu ayahku. Tumbuh bersama lima saudara laki-lakinya membuat masa mudanya diisi dengan batangan-batangan bernikotin itu. Badannya kurus. Rambutnya keriting. Kulitnya gosong. Menyebabkan ia sering dikira orang Jawa, padahal ia Cina tulen. Lebih tulen daripada aku yang bermata sipit dan berkulit kuning seperti layaknya orang Cina lainnya.

Waktu aku kecil dulu, aku kadang-kadang suka mengamati ayahku yang asyik menghisap rokok. Tertarik dengan kepulan-kepulan asap yang keluar dari hidung dan mulutnya. Walaupun aku tidak pernah tahan berlama-lama dekat dengannya kalau ia sedang menikmati gulungan tembakau itu. Bagi ayahku, rokok bukan sekedar transformasi dirinya menjadi lelaki yang lebih jantan, tetapi lebih kepada kebiasaan dan hobi yang ditularkan oleh saudara-saudara lelakinya. Suatu ketika ia pernah berjanji untuk mengurangi jatah merokoknya, tapi pernah kutemukan di pojokan mobil, sebungkus rokok yang isinya sudah berkurang beberapa batang. Menandakan bahwa kadang-kadang ia masih mencuri kesempatan untuk merokok tanpa orang lain (terutama istrinya) tahu.

Ia berhenti merokok ketika aku berusia sekitar empat tahun. Kesehatannya sempat terganggu dan oleh dokter, ia dianjurkan berhenti merokok. Ketakutan akan penyakit berat yang harus diderita kalau ia terus merokok rupanya lebih besar daripada keinginannya menghisap batangan nikotin itu. Berangsur-angsur ia betul-betul berhenti merokok. Rumah menjadi bebas asap rokok. Aku tak lagi bisa mengamati kepulan-kepulan asap dari cuping hidung dan mulut ayahku dan tak lagi menemukan bungkusan rokok baik yang utuh maupun yang sudah berkurang isinya.

KERINGAT
Keputusan ayah berhenti merokok membuat tubuhnya tak lagi seperti tulang dibungkus kulit. Ia jadi lebih gemuk. Tulang pipinya yang dulu menonjol sudah tak begitu kelihatan lagi. Wajahnya membundar dan ia mulai membiarkan kumisnya melebat dengan sendirinya. Mungkin kumis itu sebagai ganti obsesinya terhadap rokok karena ia tidak pernah mau mencukurnya habis tiap kali aku atau adikku memintanya.

Aku tidak ingat sejak kapan ayahku suka berkeringat. Yang kuingat, sejak ia berhenti merokok, dan tubuhnya semakin berisi yang dilanjutkan dengan perut sedikit menggelembung, ia jadi lebih sering berkeringat. Ia berkeringat saat bekerja. Ayahku bekerja memproduksi besi-besi yang dipesan khusus oleh pabrik-pabrik. Aku tidak terlalu mengerti urusan pekerjaannya. Yang jelas pekerjaan semacam itu membuat ia menjadi orang lapangan yang sering berkeliling dari satu pabrik ke pabrik lainnya menawarkan besi-besi buatannya. Ia berkeringat saat makan. Baik itu makan makanan pedas, makanan berkuah, makanan tak pedas. Baik itu di rumah, di warung, maupun di restoran ber-AC. Pokoknya saat ia sedang makan, ia selalu berkeringat. Ia juga berkeringat ketika ia memimpin jemaat gereja menyanyi tiap Minggu.

Waktu pun berlalu. Kesibukanku di Surabaya menjauhkanku dari ayah. Aku tak lagi sering mengamatinya beraktifitas. Mengamatinya berkeringat. Dan tiap kali aku pulang untuk bersua dengannya, ia semakin kelihatan tua, lelah, kurus dan pipi yang dulu kencang agak menggembung kini menggembus. Sorot matanya sayu dan badannya semakin membungkuk, tak lagi gagah seperti dulu. Hanya kumisnya yang tidak berubah. Kalau dulu ia hanya berkeringat saat bekerja, makan dan menyanyi, kini ia selalu berkeringat walaupun hanya berdiri beberapa menit saja. Itu masih ditambah dengan nafas yang kadang-kadang tersengal-sengal. Beberapa kali kutanya apakah ia baik-baik saja, ia selalu mengatakan tidak apa-apa. Hanya sesekali sesak nafas saja. Belakangan aku tahu penyakit jantungnya itu yang menyebabkan ia sesekali menderita sesak nafas dan terlihat ngoyo tiap kali beraktifitas. Pekerjaannya yang mulai sepi order mungkin juga salah satu penyebab lain.

DASI
Kalau aku sering melihat ayah teman-temanku yang pergi bekerja mengenakan dasi tiap hari, aku hanya melihat ayahku mengenakan dasi di saat-saat penting saja. Momen-momen penting itu termasuk pernikahan saudara dekat, wisudaku, dan pernikahanku. Kemeja batik adalah favoritnya. Dan dasi bukanlah barang yang sedianya ia koleksi atau beli untuk dipakai. Yang ia miliki hanya beberapa dasi untuk dipakai jika dibutuhkan.

Kini momen penting itu bertambah. Terakhir kali aku melihat ayahku memakai dasi adalah empat hari yang lalu. Bukan karena pernikahan salah satu saudara dekat, wisuda adikku ataupun pernikahan adikku. Ia mengenakan dasi lengkap dengan jasnya di hari dimana ia terbujur kaku di dalam peti mati sehari setelah ia menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit kota kelahiranku, Pekalongan.

Sama sekali aku tak menyangka secepat itu ia pergi. Ia bahkan tidak menungguku memamerkan cucunya yang pertama dan membiarkan ia mencari sebentuk dua bentuk kemiripan cucunya dengan dirinya. Tak ada lagi keringat yang menandakan ia masih terus memperjuangkan hidupnya. Dan kupikir, ayahku justru terlihat lebih gagah dan tampan saat ia berkeringat. Bukan saat ia merokok. Bukan saat ia mengenakan dasi.


Rokok, keringat dan dasi. Tiga elemen yang mewakili pria. Apapun arti dibalik tiga benda itu buat orang lain, ayahku sempurna sebagai seorang pria, yang berarti memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Dan biarlah tiga benda ini tetap membuatku mengenang ayahku, seperti apapun ia.


Minggu, 4 Maret 2007
7:15 pm

dedicated to: my dad… in heaven