Tuesday, November 24, 2009

inilah sebabnya...

Jadi inilah sebabnya saya jarang nge-blog....


Sibuk..sibuk..sibuk... Menjelang pementasan hampir tiap hari ke tempat latihan. Banyak sekali yang terjadi. Bete. Senang-senang. Tegang. Stress. Beberapa hari menjelang hari H juga tiba-tiba banyak masalah, sampai kepengen menangis dan keluar kata-kata:
I know God will not give me anything I can't handle. I just wish He didn't trust me so much. Tapi bener, ini baru tiga hari setelah pementasan, dan sudah saya rasakan kangen latihan. Dulu mulai latihan bulan Juni hanya sekali seminggu, hari Kamis. Kemudian jadi dua kali seminggu: Senin dan Kamis. Kemudian jadi tiga kali seminggu: Senin, Selasa dan Kamis. Puncaknya adalah seminggu sebelum hari H, adaaaaaa aja kegiatan. Mulai dari latihan, persekutuan dan pertemuan dengan panitia. Sekarang rasanya senang sekali sudah selesai. Senang sekaligus sedih *memang manusia nggak pernah puas hehehe* karena kumpul-kumpul dengan teman-teman freak waktu latihan udah nggak ada lagi. Nggak tahu kapan bakal ada acara kayak gini lagi, tapi kayaknya sih... SOON. ;D

Tuesday, 24 November 2009
1:56 pm

PS: to all the actors and actresses, we're all in this together! God be with us!
PPS: Btw, itu pementasan dengan judul NYANYIAN ANGSA. =)

Thursday, November 19, 2009

pernikahan=ribet?

Gara-gara chattingan dengan Kristina yang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pesta pernikahan, saya jadi kepengen nulis lagi tentang persiapan pernikahan. Dia bilang stress bukan main mempersiapkan pernikahan karenanya menikah cukup sekali seumur hidup! Amen aja ya, Kris. Amen untuk menikah sekali seumur hidup maksudnya, hehehe.

Di Indonesia, persiapan pernikahan=ribet. Betul! Ribet bukan main! Apalagi kalau sudah bersangkutan dengan adat-istiadat ini dan itu. Dulu saya kepengen sekali pesta outdoor, ga banyak tamu (hanya keluarga dan sahabat-sahabat saja) dan pakai gaun pengantin putih selutut (enggak kayak si Carrie di Sex and The City sih, tapi paling enggak yang nggak ribet pake kurungan ayam di bawah gaun!). Tapi kenyataannya, ketika mempersiapkan itu dengan budget terbatas, dan saya dapet paketan dari bridal (gaunnya aja second hand), saya nggak menemukan gaun yang saya ingini (karena yang disediain dalam paket itu juga terbatas). Sampai saya cukup stress waktu itu dan menggerutu: "Siapa sih yang nemuin gaun pengantin ribet begini? Bikin perkara aja!" Karena itu waktu hubby nawarin foto outdoor saya bilang: ENGGAK, TERIMA KASIH. Saya nggak bisa ngebayangin pake gaun seribet itu dan jalan diluar disuruh bergaya ini dan itu pada photo session. Saya pake foto indoor karena itu juga sudah sepaket dengan yang saya pilih. Kalau enggak, mungkin saya juga malas foto indoor juga, dan pasti akan menimbulkan keresahan diantara keluarga, karena rupanya foto pre-wedding itu wajib hukumnya. Untuk keindahan. Kalau Kristina, foto untuk penunjuk jalan bagi para tamu supaya nggak tersesat ke pesta pernikahan lain.

Itu baru soal foto pre-wedding. Belum foto-foto untuk ditayangkan di LCD (biasanya foto mempelai berdua dari kecil), foto liputan, tempat pernikahan (standing or table?), hotel tempat pertemuan kedua mempelai, bridal (gaun dan tuksedo mempelai, make up mempelai perempuan, orang tua perempuan dan bridesmaid), bunga-bunga (I hate flowers, waktu saya tanya, bisa pake daun ga, petugas bridalnya cuma bengong), sovenir, undangan, mobil, kamar untuk foto-foto sebelum pertemuan kedua mempelai, entertainment-nya (full music, atau tarian atau mengundang bintang tamu plus MC terkenal dari ibukota?), untuk holy matrimony harus menghubungi romo (untuk katholik), pendeta (untuk kristen), saya enggak tahu untuk saudara yang muslim apa istilahnya imam? Belum lagi surat-surat yang mesti diurus. Saya harus pulang ke Pekalongan untuk mengurus surat n1-n3. Asli ribet! Dan itu harus disiapkan berbulan-bulan sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Berbulan-bulan untuk satu acara tak lebih dari dua puluh empat jam. Tidak heran karena intensitas stress yang tinggi menyebabkan banyak pula pasangan yang putus menjelang hari pernikahan mereka. Betul. Tidak heran.

Ini sedikit berbeda dengan persiapan pernikahan di Amerika yang pernah saya dengar dari teman saya. Prinsip mereka kalau ada yang gampang kenapa harus ribet! Makanya ada juga drive-thru khusus untuk mereka yang ingin menikah super kilat, enggak perlu tetek-bengek segala macam itu! Bahkan beberapa gereja pun memberlakukan kemudahan bagi pasangan yang ingin menikah. Mereka tak lagi harus mengucapkan vow (ikrar), tapi hanya promise (janji) saja. Itu pun terjadi karena barangkali orang-orang disana malas untuk menikah, living together saja sudah nyaman kok! Mengapa harus menikah? Kalaupun pernikahan mereka masih menggunakan gereja, itu pun kebanyakan, saya dengar, karena ada pengaruh dari dongeng-dongeng live happily ever after, gedung gereja disana kan bagus-bagus. -source from Only in America written by Vincent A.-

Tapi kenyataannya saya tinggal di Indonesia, bukan di Amerika, jadi pada waktu itu saya terseret arus keribetan yang saya sebenarnya juga ogah. Kalau dipikir-pikir (dan ini bikin saya cukup sakit hati), kita yang di Indonesia ini sedikit dipermainkan oleh budaya konsumtif yang sering disodor-sodorkan di bawah hidung kita. Pergilah ke wedding expo dan kalian akan tahu maksud saya. Kita akan merasa bahwa tiba-tiba selembar undangan dengan harga lima belas ribu perak dengan desain yang cantik tiba-tiba menjadi penting. Bayangkan jika yang diundang 700 orang, maka kita harus merogoh kocek kita sejumlah IDR 10.500.000 hanya untuk undangan saja! Padahal kemana akhirnya undangan itu berakhir di tangan yang diundang? Kadang-kadang bahkan berakhir di tempat sampah. Lima belas ribu pun melayang. Buat saya lima belas ribu bisa jadi mie ayam tiga mangkuk jika beli di kantin kantor. Pergilah ke wedding expo, dan jika kita tiba-tiba merasa bahwa gaun pengantin first hand dan dibuat khusus atas permintaan kita menjadi begitu penting, tak peduli harganya, maka kita juga sudah terseret oleh poros keribetan yang mahal itu. Karena gaun itu toh hanya bisa dipakai sekali pada waktu pernikahan itu saja, tidak mungkin dipakai untuk pesta pernikahan sahabat dimana kita hadir sebagai tamu. Enggak, saya enggak sirik karena gaun saya second hand dan undangan saya murah meriah karena didesain oleh sepupu sendiri dan dicetak oleh saudara sendiri. Budget saya memang terbatas tapi saya bangga karena biaya pesta pernikahan kami sebagian besar menggunakan hasil keringat kami sendiri (terutama hasil keringat hubby yang bekerja tiap malam bikin roti di toko bakery di sebuah suburb di Victoria, Oz, luv you babe!). Bukan. Bukan juga saya iri dengan mereka yang pesta pernikahan mewah mereka dibiayain oleh orang tua, bukan! Berbahagialah mereka karena tidak perlu pusing dengan biaya! Dan karena itulah, ketika hari H, untuk menghormati keluarga, kami masih mau juga mengikuti kemauan mereka yang menurut kami memang sebaiknya dilakukan. Tapi ketika tukang potret langsung menyuruh saya dan hubby untuk membalikkan badan ketika pertemuan pertama kami di hari H (yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan adat China pasti tahu maksud saya), maka saya bilang dengan tegas: Maaf, pak, kita punya cara lain! Enak aja, cami (calon suami) datang kita malah disuruh membelakangi, kalau yang datang orang lain gimana? Bisa salah orang dong?

Intinya sih sebenernya bukan soal keribetan persiapan pesta pernikahan yang enggak lebih dari dua puluh empat jam itu. Tapi kehidupan setelah itu. Jatuh bangunnya. Suka dukanya. Naik turunnya. Karena pernikahan bukanlah seperti dongeng Cinderella, live happily ever after kemudian the end. Kehidupan yang sesungguhnya justru baru dimulai. Saya enggak bilang gampang, karena pada kenyataannya tidak demikian. Berapa kali kami bertengkar hebat dan merasa barangkali pisah adalah hal yang terbaik? Berapa kali kami saling berdiam diri karena saling menyalahkan? Banyak kali. Enggak gampang. Dan I hate to say kalau kadang-kadang saya merasa hidup lajang jauuuuhhhhh lebih mudah daripada hidup berkeluarga.

Saya pernah mendapat kalimat bagus dari teman saya yang baru menikah: "Attack the issue, not the person." Yang sering banget memang dilupakan. Saya cenderung menyalahkan hubby kalau ada masalah, padahal lebih baik kongkalikong sama hubby untuk nyelesain masalah tersebut.

Balik ke persiapan pernikahan di Indonesia yang ribet raya ini, yang penting adalah seribet apapun persiapannya, memang harus lebih siap menghadapi yang lebih ribet setelah sehari menjadi raja dan ratu di atas singgasana. Dan yang lebih ribet itu nggak cuma berbulan-bulan, tapi seumur hidup.

Thursday, 19 November 2009
3:24 pm

PS: Untuk my friends, Kristina dan Lydia yang lagi siap-siap untuk jadi istri, a very good luck for you two!