Thursday, June 24, 2010

ayah, seekor anak kucing dan manusia-manusia sok tahu

Seekor anak kucing mati di pinggir jalan. Entah sepeda motor atau kendaraan roda empat menyerempetnya tanpa ampun sehingga ia tergeletak begitu saja dengan usus memburai. Setiap orang yang lewat mengernyitkan hidungnya jijik. Ada juga yang langsung lari menghindari mayat binatang malang itu. Sampai seorang perempuan muda lewat dan mendekatinya.
Ia menatap anak kucing itu lama-lama, seperti tidak peduli dengan bau yang sudah menyengat menghampiri cuping hidungnya. Kemudian ia menangis. Mulanya hanya satu-dua tetes lewat diatas pipinya, tapi kemudian ia sesenggukan. Orang-orang mulai heran melihat seorang perempuan muda berdiri dekat anak kucing yang mati sambil menangis. Mereka mengira anak kucing ini peliharaan perempuan muda itu.

Tapi mereka salah.

Anak kucing dan perempuan muda tadi tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah jika tidak ada hubungan maka tidak ada urusan dengan emosi? Belum tentu. Perempuan muda tadi contohnya. Ia masih disitu. Menangis sesenggukan sambil terus menatap si anak kucing - tidak peduli dengan orang-orang yang lewat. Dan ketika menit demi menit berlalu dan perempuan itu masih saja disitu, orang-orang mulai berpikir dia tidak waras karena menangisi anak kucing yang mati di pinggir jalan. Toh masih banyak anak kucing lainnya. Yang butuh tempat perlindungan dan makanan. Yang tidak berwarna cokelat kotor seperti yang mati tadi.

Namun itu toh yang hanya berhasil dilihat oleh mata manusia. Dalam hati perempuan muda itu, siapa yang tahu?

Perempuan itu tidak menangisi si anak kucing yang mati. Ia hanya teringat masa lalu. Ketika anak kucingnya terserempet mobil ayahnya hingga mati dan lehernya hampir terputus. Ia ingat betapa sedihnya hatinya melihat anak kucingnya mati. Itu terjadi ketika ia masih duduk di bangku SMP. Suram sekali hari itu.

Tapi lagi-lagi, ia sesenggukan bukan hanya karena teringat anak kucingnya yang mati bertahun-tahun yang lalu. Ia sesenggukan karena mengingat masa-masa yang sudah lalu itu. Ia teringat pergi ke pantai dengan ayahnya. Ia teringat membuat panik ayahnya saat belajar mengendarai sepeda motor.
Ia teringat benda-benda yang dibelikan ayah tanpa sepengetahuan ibunya. Ia teringat dibelikan soto ayam belakang gereja oleh ayahnya sepulang sekolah atau nasi gudeg malam-malam selepas pulang dari kursus. Ia teringat kumis ayahnya selalu menggoda dan menggelitik pipinya. Ia teringat ayahnya. 

Dan karena ia teringat ayahnya itu pula ia sesenggukan. Hari-hari dimana ia tidak mengerti kenapa ayahnya selalu ingin tahu tentang teman-teman lelakinya? Kenapa ayahnya terobsesi memelihara kumis? Kenapa kulit ayahnya hitam padahal saudara-saudaranya tidak? Kenapa ayahnya tahu cerita-cerita dan skandal yang terjadi sampai sudut kota? Kenapa ayahnya tidak pernah terus terang jika ia punya masalah? Dan kenapa ayahnya meninggalkannya sebelum melihat cucunya?

Perempuan itu rindu ayahnya. Sesenggukan di jalan di depan anak kucing yang mati bukan berarti ia menangisi anak kucing itu. Ia hanya tiba-tiba rindu. Dan rindu selain datang tanpa memberitahu, tidak bisa diredam, apalagi diabaikan atau ditunda.

Karena itu lah, ketika ia puas sesenggukan, ia langkahkan kakinya ringan dan mengerti bahwa akan selalu ada manusia-manusia sok tahu, yang walaupun tidak betul-betul tahu apa yang ada dalam pikirannya tapi merasa tahu sambil mulutnya menggumam: “Orang gila.”

Thursday, 24 June 2010
11:01 am

Catatan hari ayah yang terlambat beberapa hari.

PS: Gambal diambil dari sini

Monday, June 21, 2010

ruangan yang berdenyut


Ada sebuah ruangan yang berdenyut. Jika si empunya ruangan sedang merasa senang, maka denyutnya berirama riang. Sebaliknya jika si empunya ruangan sedang merasa sedih, denyutnya pun ikut berirama sendu. 

Di dalam ruangan tersebut ada jiwa-jiwa yang hidup – ikut berdenyut meski terkadang tak seirama dengan denyut ruangannya. Jiwa-jiwa itu bisa hidup karena si empunya rumah masih memberikan cinta kepada mereka.

Suatu hari denyutnya berhenti. Denyut yang berhenti menyebabkan iramanya pun tak lagi bergerak. Angin musim dingin menusuk masuk dalam ruangan tersebut. Mengalirkan rasa yang tak terbayangkan sehingga semuanya ikut membeku. 

Jiwa-jiwa yang hidup itu.. tak lagi hidup. Mereka tak bergerak. Mereka beku. Menanti sesuatu yang tak kunjung datang. Sesuatu yang menghangatkan supaya mereka tak lagi kaku. Supaya mereka kembali dapat bergerak berirama satu dengan yang lain. 

Si empunya ruangan adalah seorang perempuan. Masih muda. Perempuan muda yang baru sebentar menyandang status sebagai seorang ibu. Semasa kecil dalam pengertiannya seorang ibu adalah sosok yang hebat – sosok yang membanggakan. Dimengertinya pula bahwa ibu adalah panggilan terindah di dunia. Selepas lajang, menikah dengan lelaki yang dicintainya, rencana tinggal rencana. Rencana untuk tidak secepat itu menyandang status sebagai seorang ibu, karena rupanya Tuhan tidak setuju dan siapa pula yang dapat menghindari jika mauNya demikian? 

Dan begitulah. Perempuan itu menjadi seorang ibu. Cerita klasik dan mudah ditebak. Tetapi menjadi seorang ibu ternyata tidaklah mudah. Seorang ibu lebih banyak disalahmengerti, oleh suaminya, oleh anaknya, oleh keluarganya dan juga.. oleh kawan-kawannya.

“Waktu! Berhentilah sejenak!” teriaknya. “Sejenak saja! Supaya dalam sejenak itu aku dapat membagi waktuku dengan kawan-kawan, dengan sahabat-sahabat!”

Tapi tidak. Waktu tidak peduli. Ia terus berjalan biarpun manusia-manusia seperti perempuan tadi berteriak-teriak supaya dia berhenti. Dan semuanya jadi serba salah.

Pernah ia habiskan waktu bersama kawan-kawannya, menikmati kembali seperti momentum-momentum dulu ketika lajang. Tapi ketika ia pulang ke rumah, didapatinya anaknya lebih dekat dengan pengasuhnya. Tak lagi memilih bersama dengannya. Tak lagi merasa kehilangan saat ia pergi. Hatinya hancur.

Setengah mati ia berusaha untuk dekat kembali pada anaknya. Dan tentu saja dia harus membayar dengan sesuatu. Dia kehilangan kawan-kawannya, karena kawan-kawannya beranggapan ia tak lagi dapat diganggu dan diajak bersenang-senang. Hatinya hancur.

Ia mencoba bernegosiasi dengan waktu. Dan tatkala ia berhasil memperdaya waktu dan memiliki momentum-momentum dengan anak dan kawan-kawannya, ia lantas menyadari satu hal. Ia masih memiliki seorang suami. Dan seorang suami membutuhkan waktu dan energi tersendiri. Suaminya baik, ia mencoba mengerti apa yang dialami istrinya. Tetapi suami tetaplah suami yang membutuhkan waktu dan bercangkir-cangkir teh panas untuk bercakap-cakap layaknya sepasang kekasih sejati. Dan hatinya lagi-lagi.. hancur.

Ada yang salah. Dan setiap langkah yang menjadikannya salah membuat angin musim dingin dalam ruangan perempuan itu semakin kencang bertiup. Menyebabkan musim dingin lebih lama dari biasanya. Jika lebih lama lagi, kebekuan itu akan retak, pecah dan hancur. 

Perempuan itu tidak ingin membuat ruangan berisi jiwa-jiwa yang ia cintai hancur. Ia ingin ruangan itu kembali berdenyut. Seirama. Seperti senandung musim semi. Dimana kehangatan sibuk mondar-mandir menyebarkan rona kebahagiaan. 

Semuanya berawal dari diri. 

Perempuan itu menengadahkan kepalanya ke langit. Memohon hujan air hangat. 

Mulanya gerimis, lalu badai.

Ia tidak minta badai. Ia hanya minta hujan air hangat. Ia meraung-raung – minta supaya langit menghentikan amukannya. Tapi langit seperti tuli.

Badai berhenti setelah beberapa waktu. Di atas langit ada secercah cahaya dan selarik pelangi. Ruangannya kembali berdenyut, pelan-pelan. Pelan-pelan. Pelan-pelan. Waktu seolah mempermainkan talinya, memperpanjang tiap momentum. Hingga satu per satu kebekuan mulai mencair. Pelan-pelan. Tapi mencair. 

Dan ruangan itu kembali berdenyut. Meski belum seirama.

Butuh sebuah pengertian yang teramat besar untuk menjadikannya kembali seirama.

Pelan-pelan. Perempuan itu tersenyum menengadah ke langit. Perempuan itu tersenyum memandang suaminya. Memandang anaknya. Memandang kawan-kawannya. Memandang hidupnya. 

Denyut kehidupan terkadang hanya perlu dirasakan, dimengerti dan dilakukan. Nikmatilah setiap detiknya, karena ia takkan terulang dan denyutnya akan berhenti selamanya. Dan ketika denyut itu berhenti selamanya, sekeras apapun perempuan itu memohon, ia tetap akan berhenti.

Karena itu.. mengertilah.


Monday, 21 June 2010

4:22 pm

PS: Gambar diambil dari sini