Monday, February 21, 2011

kursi

Kursi itu sudah ada di tempat itu sejak ia belum hadir. Dan tentu saja, layaknya kursi yang dapat dibanggakan, kursi itu sudah ada yang menduduki. Yang menduduki adalah orang yang ia hormati dan ia kagumi. Dan ia pikir, tak ada orang lain yang lebih pantas daripada orang itu yang duduk di kursi itu.

Menduduki kursi itu tak pernah sekalipun ada dalam ruang keinginannya. Titik.

Suatu hari orang yang ia hormati itu memanggilnya. Orang itu masih duduk di kursi itu dengan anggun. Elegan. Memang tidak ada yang pantas duduk di kursi itu selain orang itu. Karenanya ia heran, sebab ia dipanggil untuk diberitahu bahwa sudah tiba waktunya ia menduduki kursi itu. Menggantikan orang itu.

Ia terpana. Tertegun. Tergugu. Terheran-heran. Dan sekali lagi mempertanyakan sesuatu pada Tuhan yang sering diulanginya tiap kali ia tak mengerti kemana waktu membawanya pergi. Kenapa sering sekali ia mendapatkan sesuatu yang tidak ia inginkan? Sebaliknya, kenapa sulit betul mendapatkan sesuatu yang benar-benar ia inginkan? Kenapa? Dan jawabannya hingga saat ini belum didapatkannya. Barangkali sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan, mengapa bumi yang mengitari matahari dan bukan sebaliknya? Mengapa cicak sering menempel di dinding? Mengapa Doraemon berwarna biru? Atau mengapa orang jahat seperti Hitler lebih sulit mati daripada orang baik?

Orang yang ia hormati itu bilang sudah waktunya kursi itu berpindah tangan. Sudah waktunya diduduki oleh orang lain. Sudah waktunya. Dan tidak ada orang lain yang lebih tepat daripada ia, kata orang yang ia hormati itu. Ia membisu. Tak sekalipun dalam benaknya ada keinginan untuk menggantikan orang itu duduk di kursi itu. Ia sendiri tidak mau. Ia takut. Takut akan ikatan yang tidak ia inginkan dengan kursi itu tetapi ikatannya akan lebih kuat sehingga ia tak berani berkata bahwa tiba lagi waktunya kursi itu berpindah tangan. Sudah banyak ia dengar cerita-cerita tentang manusia-manusia yang mau melakukan apa saja hanya supaya kursi yang sudah telanjur mereka duduki tetap menjadi miliknya. Dan cara-cara yang mereka lakukan kadang-kadang di luar akal sehat. Cinta mereka terhadap kursi itu lantas menjadi obsesi yang dilumuri oleh ambisi. Percayalah, obsesi dan ambisi merupakan kombinasi terburuk yang pernah ada di dunia ini.

Ia tidak mau. Dan ia sudah sekali mengatakan tidak pada orang yang ia hormati itu. Namun orang yang ia hormati itu hanya tersenyum dan memberikan tenggang waktu buatnya untuk berpikir. Sambil berucap bahwa ia akan mengerti mengapa kursi itu harus didudukinya.

Maka ia berpikir. Berpikir yang kadang-kadang melanglangbuana sehingga berubah menjadi melamun. Bertanya betul-betul pada hatinya apakah memang ia layak menduduki kursi itu? Apakah ia pantas menduduki kursi itu? Apakah ia harus menduduki kursi itu? Apakah ia bisa menduduki kursi itu? Hatinya bilang tidak. Ia tidak layak. Ia tidak pantas. Ia tidak harus. Dan ia tidak bisa. Tapi seorang bijak pernah berkata padanya, jangan pernah mengikuti kata hatimu, karena terkadang kata hati dapat menjerumuskanmu. Masih kata orang bijak itu, pimpinlah hatimu dengan iman yang kau pegang, niscaya kau tahu apa yang harus kau lakukan.

Dibimbingnya hatinya untuk menerima bahwa ia layak, pantas, harus dan bisa menduduki kursi itu. Dibimbingnya hatinya sambil menangis. Karena sesungguhnya ia tidak ingin.

Beberapa waktu kemudian, resmi lah ia menduduki kursi itu. Awalnya ia merasa kursi itu menolaknya. Tidak mau ia duduki. Kursi itu tiba-tiba melempar ia sehingga ia harus menaklukkan kursi itu supaya mau ia duduki. Lambat laun kursi itu mulai menerima. Benda itu tak lagi menyakitinya. Namun meskipun ia sudah mulai bersahabat dengan kursi itu, ada manusia-manusia lain yang nyinyir, mencibir dan menganggap bahwa adalah kesalahan besar kursi itu didudukinya. Ia tak bergeming. Biarkan mereka menggonggong, katanya, mereka tak mengerti bahwa membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan untuk menduduki kursi itu. Tak seorang pun mengerti. Atau mungkin beberapa orang mengerti tapi lebih banyak lagi yang tak mengerti. Sehingga butuh waktu juga bagi mereka untuk menerimanya duduk di kursi itu.

Persahabatannya dengan kursi itu kian akrab, tapi apa yang dikhawatirkannya terjadi. Ia semakin terikat dengan kursi itu. Kursi itu tidak mau dilepas biarpun ia hanya pergi ke toilet. Biarpun ia hanya jalan-jalan ke mall. Atau sekedar mengambil uang di ATM terdekat. Atau makan malam di warung kumuh. Kursi itu menempel kemana pun ia pergi. Sampai-sampai ada yang menyarankan padanya untuk menyesuaikan busananya dengan kursi yang selalu menempel itu. Tak pantas jika membawa kursi itu kemana-mana tetapi busananya tidak cocok dengan kursi yang mewah itu. Begitu yang pernah ia dengar. Selain busana, jangan lupa berdandan, karena busana yang sesuai dengan kursi itu layak untuk dikombinasikan dengan dandanan yang serasi. Ia pun semakin frustasi. Kursi itu sedikit demi sedikit menggerogotinya. Sedikit-sedikit kursi itu mengambil bagian dari dirinya, membuang dan menggantinya dengan yang baru. Setengah sadar ia tahu bahwa ada beberapa bagian pada dirinya bukan lagi dirinya yang sesungguhnya. Ia sudah berubah. Tak lagi seperti yang dulu. Anehnya, meskipun ia nyaris tak mengenali dirinya, orang-orang terlihat senang melihat perubahan yang ada pada dirinya. Dan ia makin frustasi.

Hingga suatu hari, ketika kursi itu hendak mengambil bagian lain lagi untuk diganti dengan yang baru, ia dengan tegas menolak. Sudah cukup bagian-bagian dalam dirinya yang diambil dan diganti dengan yang baru. Persis seperti onderdil motor. Dan ia masih ingin menikmati hidup sebagai dirinya apa adanya. Ia tidak mau dikuasai oleh sebuah kursi. Tapi ia juga tak mau menyalahkan kursi itu atas apa yang diubahnya pada beberapa bagian dari dirinya. Tidak. Lagipula ia sudah menganggap perubahan-perubahan itu menjadi dirinya sendiri, karena ia sadar terkadang perubahan itu sejatinya ada.

Dan sejak ia lebih tegas pada kursi itu, pelan-pelan kursi itu tak lagi seperti anjing yang hidup di celana tuannya. Pelan-pelan ia lepaskan kursi itu di waktu-waktu tertentu. Mula-mula kursi itu berontak waktu dilepas. Tapi sebagaimana kata hati yang seharusnya dipimpin, kursi itu pun akhirnya patuh apa katanya. Pada saat itu lah ia dapat tersenyum. Biar saja orang lain membiarkan gaya hidupnya dikuasai oleh kursi mereka. Biar saja orang lain menyesuaikan apa yang ada pada dirinya dengan kursi mereka. Biar saja. Ia tak mau.

Karena hidup terlalu singkat untuk disetir oleh sebuah kursi.

Saturday, 18 February 2011
before the evening fell

PS: gambar diambil dari sini

Thursday, February 17, 2011

hadiah

Hadiah itu kuterima dengan hati senang. Biarpun aku tak tahu isinya apa. Biarpun aku tak tahu aku akan suka atau tidak isi hadiah itu. Menerima hadiah, biarpun dibungkus dengan koran bekas pun hatiku tetap senang. Apalagi jika jumlah yang diterima lebih dari satu. Dan senangnya akan bertambah seiring jumlah hadiah yang diterima.

Aku hanya bingung. Hari ini toh bukan hari ulang tahunku. Bukan juga hari Valentine. Juga bukan hari jadiku dengan kekasihku. Lantas kenapa sahabatku ini memberiku hadiah?

"Selamat hari biasa-biasa saja!" Begitu ujarnya. Bikin aku semakin mengerutkan kening dan penasaran dengan isi bungkusan berpita di tangannya itu.

"Kalau memang hari ini hari biasa-biasa saja, untuk apa kau beri aku kado?" tanyaku heran.

Ia hanya terbahak sesaat tapi kuluman senyumnya tetap misterius. Menandakan bahwa ia senang betul membuatku penasaran setengah mampus. "Menurutmu?" Ia malah balik bertanya.

Otakku kembali kupaksa bekerja keras. Apakah ini hadiah ulang tahunku yang terlambat? Tapi tidak. Di ulang tahunku yang terakhir ia memberiku hadiah yang tak terduga indahnya.

Waktu itu bahkan sempat kubilang padanya, pada sahabatku itu. "Kenapa orang-orang memaksa memberiku gaun dan sepatu yang mahal jika aku tidak memerlukannya? Pernahkah mereka berpikir bahwa hanya membutuhkan satu buku cerita yang barangkali harganya 3 kali lipat lebih murah daripada hadiah-hadiah mahal itu untuk membuatku senang di hari ulang tahunku?"

"Pernahkah kau katakan pada mereka bahwa kau lebih menginginkan buku daripada barang-barang mahal itu?" sahutnya

Aku menggeleng. Aku tak mau bilang padanya bahwa menurutku hadiah yang diminta tak lagi merupakan hadiah tapi sebuah pemberian. Ada nilai yang jauh lebih istimewa pada sebuah hadiah dibandingkan dengan sebuah pemberian hasil meminta.

"Sebuah hadiah yang sejati," kataku, "harus mengandung setidaknya dua unsur, yaitu kejut dan cinta. Jika dua unsur itu dibungkus bersama dengan hadiahnya, niscaya hadiah itu menjadi istimewa."

"Tidak perlu mahal?" tanya sahabatku lagi.

Aku menggeleng dengan cepat dan pasti. "Tidak," jawabku, seolah gelengan kepala yang kuat saja tak cukup. "Kejut dan cinta. Itu saja sudah cukup."

Dan sahabatku hanya membisu. Bisu yang misterius. Entah ia paham atau tidak apa yang sudah kuocehkan waktu itu.

"Jadi ini hadiah di hari biasa-biasa saja?" tanyaku lagi.

Sahabatku itu mengangguk.

"Apa isinya?"

Sahabatku tertawa lagi. "Dimana unsur kejutnya kalau kautanyakan isinya, sobat?"

Aku ikut tertawa. "Baiklah, satu unsur terpenuhi. Bagaimana dengan cinta?"

Kali ini sahabatku mengatupkan geraham, seolah pertanyaanku seperti pisau yang telah menusuk hatinya dan tusukannya begitu menyakitkan. "You broke my heart."

"I'm sorry," kataku sambil tersenyum.

Ia tersenyum melihat senyumku. Ia selalu begitu. "Jika bukan karena cinta, aku tidak akan memberimu hadiah di hari biasa macam begini."

Aku tertawa lepas. Sahabatku memang luar biasa. "Oke, jadi dua unsur terpenuhi. Boleh kubuka sekarang?"

Hanya sudut matanya yang bergerak, membahasakan ijin yang kuperoleh untuk membuka hadiahnya di hari yang biasa-biasa ini.

Mataku terbelalak lebar, terpana menatap hadiahnya.

"Aku tidak pernah meminta barang ini," kataku.

"Aku tahu."

"Aku juga tidak pernah cerita apa-apa tentang ini."

"Memang tidak."

"Aku tidak pernah minta hadiah di hari yang biasa-biasa saja. Hadiah seharusnya diberikan di hari yang istimewa."

Sahabatku memandangku lama. "Memang. Tapi menurutku memberikan hadiah adalah hak. Jadi aku punya hak untuk memberimu hadiah di hari yang biasa-biasa saja seperti hari ini. Negara melindungiku untuk melakukan ini."

Aku mengejapkan mataku tak percaya. Dari segala analogi, hipotesis maupun definisi yang mungkin ada di dunia ini tentang ini, tak sekalipun lewat di otakku bahwa memberikan hadiah adalah sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara.

"Jadi aku juga berhak menolak hadiah ini?" tanyaku polos.

Ia mengangguk. "Tentu saja. Pertanyaannya hanya dua. Satu, apakah kau akan melakukannya? Dua, jika kau melakukannya, apa yang membuatmu melakukannya?"

"Karena aku tidak mau kau repot-repot memberikanku hadiah di hari biasa-biasa saja seperti hari ini?"

Ia mendengus. "Untuk apa jadi manusia kalau tidak mau repot-repot? Hidup manusia ini diciptakan untuk saling merepotkan, Sobat. Bisa kau bayangkan jika seluruh manusia di bumi ini tidak mau saling merepotkan? Bisa? Aku tidak."

Aku hanya dapat menatapnya lekat-lekat. Dan sekali lagi kusadari betapa sayang aku dengan sahabatku. Beberapa detik kemudian kupeluk ia. Erat.

Dan ditengah-tengah pelukan kami, ada hadiah.

Sepasang kaus kaki.

Karena ia melihat lubang besar di kaus kaki yang selalu kupakai.

Thursday, 17 February 2011
12:07 am

Wednesday, February 16, 2011

sebuah rumah

Rumah itu dibuatnya dalam keadaan kosong. Ia yang mendesainnya sendiri meskipun desain awalnya sederhana. Desain awal yang disodorkan oleh yang empunya tanah.

Ketika rumah itu jadi, ia tidak punya kesulitan untuk berpikir apa-apa saja yang ada di dalamnya. Pelan-pelan ia isi rumah itu. Ia isi dengan apa saja yang ia sukai. Ia pikir itu toh rumahnya sendiri. Bikinannya sendiri. Jika memang miliknya sendiri, kenapa ia harus memikirkan apa kata orang? Dengan hati tapi tidak hati-hati, ia mulai mengisi rumah itu. Setiap jengkal dan inci yang ada di dalamnya menggambarkan apa yang ada pada dirinya. Tiap kali imajinasinya berhasil mencaplok ide, ia isi kembali rumah itu. Pelan-pelan. Pelan-pelan. Namun pasti. Dan ia betul-betul tidak peduli. Rumah itu miliknya, karena itu harus betul-betul menggambarkan dirinya.

Suatu hari seseorang mampir. Orang itu masuk ke rumahnya dengan sopan. Berkeliling dan kemudian keluar tanpa komentar. Esoknya ada orang lain lagi yang mampir, dan pergi dalam diam. Demikian juga esoknya, dan esoknya dan esoknya. Semuanya datang dan pergi, tapi masih dalam diam. Ia masih juga tidak peduli. Itu toh rumahnya sendiri. Ia tidak butuh komentar dan pendapat orang-orang itu untuk mengisi rumahnya. Dan ia meneruskan saja pekerjaan mengisi rumahnya dengan telaten.

Ia tahu rumah itu tidak akan pernah penuh. Selagi idenya terus muncul dan ia mampu meluangkan waktu untuk mengisi rumahnya dengan ide itu, rumah itu akan terus diperbarui. Diisi. Hingga suatu saat. Seseorang datang. Orang ini tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan sepotong opini tentang rumahnya kepadanya. Orang lain lagi mampir, melihat ini dan itu, terdiam dan ikut merasakan apa yang ia rasakan pada waktu mengisi rumahnya. Lagi-lagi ditinggalkannya sepenggal komentar positif tentang rumahnya kepadanya. Ada rasa lain yang meraba hatinya. Ada rasa…dihargai. Ada rasa senang. Terharu. Dan bergejolak. Ada semangat untuk terus mengisi rumah itu dan mulai membuka pintu lebar-lebar mengundang orang-orang untuk masuk.

Lama-lama ia belajar, bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak orang lain yang membangun dan mengisi rumahnya dari isi kepala mereka masing-masing. Ia belajar untuk tidak egois. Maka jika ada kesempatan, ia luangkan waktu untuk mampir ke rumah tetangga-tetangga sebelah rumahnya. Mula-mula yang terdekat dan yang memang sudah ia kenal, atau yang pernah mampir ke rumahnya dulu. Masih jarang ia berikan komentar dan pendapatnya tentang rumah-rumah tetangganya. Hatinya masih enggan untuk berbicara tentang rumah orang lain, karena ia berpikir siapa ia yang layak bicara ini itu tentang rumah orang lain. Karena itu, masih banyak yang belum mengenalnya. Ia masih anonim.

Namun lantas pelan-pelan ia tahu bahwa manusia memang tidak pernah bisa hidup sendiri. Senikmat-nikmatnya manusia dengan kesendiriannya, ia tetap butuh orang lain. Dan jika membutuhkan orang lain, ia juga harus mau melakukan sesuatu untuk orang lain. Ia mulai pergi ke rumah-rumah yang cukup jauh dan meninggalkan pesan. Di rumah-rumah terdekat yang lebih ia kenal, ia lebih berani memberikan pendapat tentang isi rumah tersebut. Jika menurutnya tidak menarik, maka ia akan diam saja, mengatupkan bibir dan pergi tanpa sepatah kata pun. Kadang-kadang jika yang dilihatnya menarik pun, ia tetap tak berkata apa-apa, hanya karena yang lain sudah mengatakan apa yang ingin ia katakan, sehingga tak lagi istimewa jika ia mengucapkan hal serupa dengan yang lain.

Di beberapa waktu, jika ia baru saja mampir ke rumah orang lain, ia jadi punya ide untuk mengisi rumahnya kembali. Menghiasnya dengan inspirasi yang baru saja didapat. Oleh karena itu ia berpikir, mungkin memang harus begitu adanya. Manusia satu dengan manusia lainnya harus saling menginspirasi untuk terus jadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Minggu menjadi bulan, rumahnya semakin ramai dikunjungi orang. Walaupun tentu saja masih kalah ramai dari rumah-rumah tertentu. Orang-orang yang berkunjung ke rumahnya rata-rata meninggalkan komentar yang positif. Jika ia terlalu sibuk, kadang-kadang ada yang memberikan semangat padanya untuk terus mengisi rumahnya dengan ide-idenya. Pelan-pelan juga ia mengisi dan menghias rumahnya berdasarkan apa yang kira-kira disukai oleh para pengunjung. Ia mulai berpikir keras bagaimana cara menyenangkan tamu-tamunya. Bagaimana membuat semakin banyak orang yang berkunjung ke rumahnya. Ia tak lagi peduli bahkan jika isinya mulai tak lagi menggambarkan tentang dirinya.

Suatu hari ia seperti terbangun dari tidur yang panjang, nyenyak dan bermimpi indah. Ia melihat ada beberapa hiasan dan sepetak ruangan di rumahnya dengan asing. Seolah-olah bukan ia yang waktu itu mengisi dan menghias ruangan tersebut. Ia bertanya-tanya, mengapa semuanya itu bisa ada disitu? Siapa yang meletakannya disitu? Tidak ada yang memegang kunci rumahnya selain ia.

Berkelilinglah ia sampai ke penjuru rumah sambil diburu rasa penasaran tentang benda-benda dan ruangan asing di rumahnya sendiri. Dan ia tertegun, karena ia menemukan bahwa ia sendiri yang meletakkan benda-benda asing dan menghias ruangan itu. Selama beberapa waktu lamanya ia terdiam. Otaknya mampet. Imajinasinya stop. Dan hatinya kehilangan gairah.

Ia tidak mengenali rumahnya sendiri.

Setidaknya sebagian kecil rumahnya sendiri. Dan itu masalah.

Ia mulai mencoba mengisinya lagi dengan benda-benda yang menggambarkan dirinya. Menghiasnya dengan apa kata hatinya, bukan apa kata orang lain. Dan semakin frustasi karena kadang-kadang ia masih mendengar komentar tamu-tamunya yang mengatakan tanpa transparan kalau mereka lebih suka sepetak ruangan penuh benda asing tersebut.

Mulailah ia menyendiri. Mencoba kembali menikmati kesendiriannya. Merenungkan untuk apa sesungguhnya rumah itu dulu ia buat dan ia isi dengan sepenuh hati. Ketika ia mulai kembali menikmati kesendiriannya, ia mulai jarang berkunjung ke rumah-rumah tetangga, rumah teman-temannya yang walaupun jauh dulu rajin dikunjunginya. Ia berpikir, ia tidak mau mengunjungi rumah teman-temannya itu hanya supaya mereka mau berkunjung balik ke rumahnya. Itu bentuk lain dari keegoisannya. Ia mau jika ada orang-orang yang bertamu ke rumahnya, itu karena mereka menyukai apa yang ada dalam rumah itu, yang artinya apa yang menggambarkan dirinya.

Rumah itu ia bangun agar dunia tahu ia ada.

Dan benda-benda asing itu membuat ia ragu-ragu. Benarkah yang dikenal dunia adalah ia apa adanya? Atau sebuah citra yang ia bentuk?

Barangkali itu sebabnya saat ini rumahnya seperti rumah hantu. Diam, membisu dan tak berpendapat. Kembali menjadi anonim. Sehingga hampir dapat dipastikan dunia mungkin kembali melupakan bahwa ia ada.

Suatu saat. Mungkin. Mungkin, rumahnya akan ia hias kembali. Ia isi kembali.

Dengan apa adanya ia.

Untuk kali ini. Mungkin. Mungkin ia hanya ingin menikmati kesendiriannya.

Mungkin.
Wednesday, 16 February 2011
5:29 pm

PS: gambar diambil dari sini

Monday, February 14, 2011

hari yang baik untuk mati

Hari ini, jika bisa diwakili oleh sebuah warna, barangkali warna yang paling tepat adalah hitam keabu-abuan. Hari dimana sebuah pikiran mampir di benaknya bahwa mati barangkali lebih baik daripada hidup.

Banyak orang takut mati. Sebagian besar mengakuinya, namun sisanya bilang bukan kematiannya yang ditakuti tapi bagaimana cara mereka mati. Ia berpikir, kematian seperti gentayangan menakuti semua orang karena orang-orang itu tidak tahu ada apa dibalik kematian itu? Kemana jiwa mereka pergi? Masih bisakah mereka melihat orang-orang yang mereka cintai? Mereka kenal? Masih bisakah mereka membenci orang-orang yang mereka benci waktu mereka hidup? Atau masih bisakah mereka menyeruput minuman favorit masing-masing?

Hari ini, ia tidak peduli. Hari ini, menurutnya, hari yang baik untuk mati. Seorang teman pernah berandai-andai bahwa ada hari yang indah untuk mati. Dimana cuaca demikian bagus. Udara demikian segar. Segala sesuatu berjalan dengan baik. Orang-orang yang dicintainya ada disitu semua. Tapi jika semuanya begitu indah, ia berkilah pada temannya, mengapa harus mati? Hari ini, dimana segala sesuatu tidak ada yang beres, adalah hari yang baik untuk mati. Umpama sebuah ruangan, maka yang biasa tersusun rapi di ruangan tersebut, terjungkir kesana-kemari. Tempat tidur yang biasanya berada di dekat dinding, ada di tengah-tengah ruangan, merusak estetika interior. Kunci mobil yang harusnya ada diatas rak supaya mudah dijangkau ada di bawah kolong sofa, entah siapa yang iseng menaruhnya disitu. Buku-buku yang tersusun rapi menurut abjad, tiba-tiba tercecer hingga ke ujung-ujung ruangan.

Seperti itulah.

Belum keluar dari rumah saja ia merasakan yang tidak biasa. Pengamen yang biasanya tidak boleh masuk dalam kompleks rumahnya tiba-tiba ada di depan rumahnya menyanyikan sesuatu yang tak jelas dan tentu saja mengganggu telinganya. Dan ketika diusir, pengamen itu malah mengoceh dengan kata-kata kasar. Dalam perjalanan menuju ke tempat kerjanya, seharusnya menjadi sesuatu yang biasa jika ada kendaraan umum yang mendadak berhenti tanpa tahu aturan sehingga ia juga harus mendadak mengerem mobilnya. Ada orang-orang bodoh yang memarkir di pinggir jalan sempit, menyebabkan kemacetan konyol yang selalu bikin ia jengkel. Ada tukang koran di perempatan lalu lintas yang memaksa untuk membeli korannya walaupun ia tidak ingin. Dan semuanya tiba-tiba bikin ia capek. Ia lelah dituntut untuk selalu mengerti keadaan mereka. Kasihan supir kendaraan umum itu, jangan diomeli. Mereka masih bekerja di bawah sinar terik matahari, deras berpeluh sementara mungkin kau sudah duduk di ruangan ber-pendingin. Begitu kata seorang teman jika ia mulai mengomel tentang kendaraan umum yang sepertinya bebas dari peraturan lalu lintas jalan raya. Ia capek untuk terus-menerus mengerti bahwa tukang koran itu hanya sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya barangkali, dan pekerjaan yang ia lakukan jauh lebih menyenangkan daripada tukang koran brengsek itu. Ia capek untuk harus selalu mengerti apa yang sekiranya salah di matanya, tapi sepertinya tidak ada yang melakukan hal yang serupa terhadapnya. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin menjadi makhluk egois. Yang tidak perlu memikirkan orang lain.

Di kantor, mendadak semuanya salah. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya, ia membenci hari kerjanya. Tapi hari ini, ia begitu rindu akhir pekan. Akhir pekan yang tidak akan berakhir. Tanpa peduli lagi bahwa sesuatu yang abadi hanya milik Yang Abadi dan jika ia memiliki sesuatu yang tidak memiliki akhir maka cepat atau lambat ia akan bosan.

Hidup menjadi sesuatu yang tak lagi menarik. Petualangan yang ada di dalamnya sudah tak lagi seru. Hari ini, hari yang baik untuk mati.

Karena itu, ia keluar kantor, membawa mobilnya kencang-kencang. Entah kemana. Ia ingin lepas. Ingin bebas dari penat yang mengganggu. Dan jika kematian adalah jawabnya, ia tidak keberatan untuk itu.

Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia ada di bandara. Toh tidak ada yang perlu dijemputnya hari ini. Ia juga tidak berencana pergi kemana-mana. Tapi disanalah ia, seolah-olah bandara adalah tempat sakral yang bisa mengembalikan akal sehatnya supaya bisa berpikir waras lagi padahal disanalah tempat perpisahan biasa terjadi.

Hari yang baik untuk mati.

Melangkahlah kakinya hendak membeli tiket. Kemana pun. Jam berapa pun. Berapa pun harganya. Dikeluarkannya dompetnya…

“Ayah!!”

Ia menoleh, cemberut karena terganggu dengan teriakan itu. Dan sedetik kemudian ia terpana melihat pemandangan itu. Seorang anak perempuan berkuncir dua lari mendapati ayahnya yang menangkapnya dan menggendongnya berputar-putar. Anak perempuan itu tertawa senang. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tidak peduli ada seorang perempuan yang berpendapat bahwa hari itu hari yang baik untuk mati. Tidak peduli.

Ia baru saja melihat cinta.

Sekonyong-konyong ia melihat cinta dimana-mana. Anak yang menjemput ayahnya. Suami yang menjemput istrinya. Anak laki-laki yang menjemput teman-temannya. Adik yang menjemput kakaknya. Supir yang menjemput bosnya. Paman yang menjemput keponakannya. Perempuan yang menjemput kekasihnya.

Jika ada perpisahan, maka ada pertemuan.

Jika ada hari yang baik untuk mati, barangkali hari ini bukan hari yang baik untuk mati.

Jika masih ada cinta, tiap hari bukan hari yang baik untuk mati dan berhenti hidup.

Jika memang lelah untuk selalu mengerti, tak apa lelah, istirahat, untuk kembali bersahabat dengan hidup yang selalu memberikan sesuatu yang baru.

Sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tidak selalu pada tempatnya. Sesuatu yang jungkir balik dan tidak pakai aturan.

Karena semuanya itu hidup dan hidup tidak mati. Waktu tidak akan berhenti hanya karena ia ingin mati. Semuanya akan tetap melanjutkan hidup walaupun ia tidak.

“Selamat hari Valentine!” sapa seorang petugas. “Penerbangan kemana?”

Ia lupa hari ini hampir seluruh manusia di dunia bercinta. Dengan apa dan siapa saja.

Lebih baik bercinta daripada mati, ia tersenyum dalam hati.

Setidaknya untuk hari ini.

Ia belum mau mati.

Dan warna hari ini berangsur-angsur berubah.

Tak lagi hitam keabu-abuan.


Surabaya, 14 February 2011

In the morning – on a busy intersection

Inspired by "Hari yang indah untuk mati"